Pada suatu hari saya naik bus dari Aston ke Universitas Birmingham Inggris.
Di samping saya duduk seorang bule yang agak kusut. Ia melirik buku teologi
yang sedang saya baca. Dan tiba-tiba: “Hai mike!” Ia menyapa dengan aksen khas
Birmingham sambil senyum. Kemudian ia bertanya: “Bisakah Tuhan menciptakan
sesuatu yang Ia tidak dapat mengangkatnya?”
Saya tahu konsekuensi jawabanya. Baik jawaban positif maupun negatif
hasilnya sama yaitu “Tuhan tidak berkuasa”. Ini pasti pertanyaan seorang
sekuler atau ateis, pikir saya.
Ia bertanya dan tidak perlu jawaban. Untuk tidak memberi jawaban panjang
kepadanya, saya melontarkan pertanyaan balik, “Could you tell me what do you
mean by God?” Benar saja, sebelum menjawab pertanyaan saya dia sudah turun dari
bus sambil meringis.
Pertanyaan apakah Tuhan bisa membuat lebih baik dari yang ada ini pernah
diajukan Peter Abelard. Dia sendiri bingung menjawabnya. Pertanyaan bule tadi
itu mungkin hasil adopsi dari Peter. Tapi, yang jelas bukan dari pikirannya
sendiri. Apa makna Tuhan baginya kabur. Bertanya tanpa ilmu akhirnya menjadi
seperti guyonan atau bahkan plesetan.
Di Barat, diskursus tentang Tuhan memang marak dan terkadang mirip guyonan.
Presedennya karena teologi bukan bagian dari ‘tsawabit’ (permanen) tapi
‘mutaghayyirat (berubah). Layaknya wacana ‘furu’ dalam Fiqih. Ijtihad tentang
Tuhan terbuka lebar untuk semua.
Siapa saja boleh bertanya apa saja. Akibatnya, para teolog-pun kewalahan.
Pertanyaan-pertanyaan rasional dan protes-protes teologis gagal dijawab. Teolog
kemudian digeser oleh doktrin “Sola Scriptura”. Kitab suci bisa dipahami tanpa
otoritas teolog.
Sosiolog, psikolog, sejarawan, filosof, saintis dan bahkan orang awam pun
berhak bicara tentang Tuhan. Hadits nabi SAW, “ (Idza wussida al-amru ila
ghayri ahlihi fan tadzir alsa’ah,” (Jika suatu perkara diberikan kepada yang
bukan ahlinya maka tunggulah waktu kehancurannya) terbukti. Katholik pun
terpolarisasi menjadi Protestan. Protestan menjadi Liberal dan al-sa’ah itu
barangkali lahirnya apa yang disebut dengan ‘modern atheism’.
Apa kata Michael Buckley dalam ‘At The Origin of Modern Atheism’ meneguhkan
sabda Nabi SAW. Ateisme murni di awal era modern timbul karena otoritas teolog
diambil alih oleh filosof dan saintis. Pemikir-pemikir yang ia juluki “Para
pembela iman Kristiani baru yang rasionalistis” seperti Lessius, Mersenne,
Descartes, Malebranche, Newton dan Clarke, itu justru melupakan realitas Yesus
Kristus.
Dalam hal ini Newton tidak mau disalahkan, Trinitas telah merusak agama
murni Yesus, katanya. Descartes hanya percaya Tuhan filsafat, bukan Tuhan
teolog. Lalu siapa yang bermasalah? Bisa kedua-duanya.
Ini membingungkan. Pernyataan eksplisit bahwa Yesus itu Tuhan memang absen
dari Bible. Ia dipahami hanya dari implikasi, sebab bahasa Bible itu susah, kata
Duane A. Priebe. Konsep Tuhan akhirnya harus dicari dengan hermeneutik dan
kritik terhadap teks Bible.
Akan tetapi, malangnya, kritik terhadap Bible (Biblical Criticism) bukan
tanpa konsekuensi. Biblical Criticism, kata Buckley, justru melahirkan ateisme
modern. Alasanya lugas dan logis. Ketika orang ragu akan teks Bible ia juga
ragu akan isinya, akan kebenaran hakikat Tuhan dan tentang kebenaran eksistensi
Tuhan itu sendiri. Hasil akhirnya adalah ateisme. Bukan hanya biblenya yang
problematik, tapi perangkat teologisnya tidak siap. Inilah masalah teologi.
Ateisme modern bukan mengkufuri Tuhan, tapi Tuhan para teolog agama-agama.
Yang problematik, kata Voltaire, bukan Tuhan tapi doktrin-doktrin tentang
Tuhan. Tuhan Yahudi dan Kristen, kata Newton, problematik karena itu ia ditolak
sains.
Bahkan bagi Hegel, Tuhan Yahudi itu tiran dan Tuhan Kristen itu barbar dan
lalim. Tuhan, akhirnya harus dibunuh. Nietzche pada tahun 1882 mendeklarasikan
bahwa Tuhan sudah mati. Tapi ia tidak sendiri. Bagi Feuerbach, Karl Marx,
Charles Darwin, Sigmund Freud, jika Tuhan belum mati, tugas manusia rasional
untuk membunuh-Nya. Tapi Voltaire (1694-1778) tidak setuju Tuhan dibunuh. Tuhan
harus ada, seandainya Tuhan tidak ada kita wajib menciptakannya. Hanya saja
Tuhan tidak boleh bertentangan dengan standar akal. Suatu guyonan yang
menggelitik.
Belakangan, Sartre (1905-1980) seorang filosof eksistensialis, mencoba
menetralisir, Tuhan bukan tidak hidup lagi atau tidak ada, Tuhan ada tapi tidak
bersama manusia. “Tuhan telah berbicara pada kita tapi kini ia diam”. Sartre
lalu menuai kritik dari Martin Buber (1878-1965) seorang teolog yahudi.
Anggapan Sartre itu hanyalah kilah seorang eksistensialis. Tuhan tidak diam,
kata Buber, tapi di zaman ini manusia memang jarang mendengar. Manusia terlalu
banyak bicara dan sangat sedikit merasa. Filasafat hanya bermain dengan ‘image’
dan metafora sehingga gagal mengenal Tuhan, katanya.
Itulah akibat memahami Tuhan tanpa pengetahuan agama, tulisnya geram.
Filosof berkomunikasi dengan Tuhan hanya dengan pikiran, tapi tanpa rasa
keimanan. Martin lalu menggambarkan “nasib” Tuhan di Barat memalui bukunya yang
berjudul “Eclipse of God”. Saat Blaise Pascal (1623-1662) ilmuwan muda brilian
dari Perancis meninggal, di balik jaketnya ditemukan tulisan “Tuhan Abraham,
Tuhan Ishak, Tuhan yakub, bukan Tuhan para filosof dan ilmuwan.” Kesimpulan
yang sangat cerdas. Inilah masalah bagi para filosof itu.
Begitulah, Barat akhirnya menjadi peradaban yang “maju” tanpa teks (kitab
suci, tanpa otoritas teolog, last but not least tanpa Tuhan. Barat adalah
peradaban yang meninggalkan Tuhan dari wacana keilmuan, wacana filsafat, wacana
peradaban bahkan dari kehidupan publik. Tuhan, kata Diderot, tidak bisa menjadi
pengalaman subyektif. Meskipun bisa, bagi Kant (1724-1804) juga tidak bisa
menjadikan Tuhan “ada”. Berpikir dan Beriman pada Tuhan hasilnya sama. Kant
gagal menemukan Tuhan. Kant mengaku sering ke gereja, tapi tidak masuk. Ia
seumur-umur hanya dua kali masuk gereja: waktu dibaptis dan saat menikah. Maka
dari itu Tuhan tidak bisa hadir dalam alam pikiran filsafatnya.
Muridnya, Herman Cohen pun berpikir sama. “Tuhan hanya sekedar ide,”
katanya. Tuhan hanya tampak dalam bentuk mitos yang tidak pernah wujud. Tapi
anehnya ia mengaku mencintai Tuhan. Lebih aneh lagi ia bilang,”Kalau saya
mencintai Tuhan, maka saya tidak memikirkan-Nya lagi.” Hatinya ke kanan
pikirannya ke kiri. Pikirannya tidak membimbing hatinya, dan cintanya tidak
melibatkan pikirannya.
Tuhan dalam perhelatan peradaban Barat memang problematik. Sejak awal era
modern, Francis Bacon (1561-1626) menggambarkan mindset manusia Barat begini:
‘Theology is known by faith but philosophy should depend only upon reason’.
Maknanya, teologi di Barat tidak masuk akal dan berfilsafat tidak bisa
melibatkan keimanan pada Tuhan.
Filsafat dan sains di Barat memang area non-teologis alias bebas Tuhan.
Tuhan tidak lagi berkaitan dengan ilmu, dunia empiris. Tuhan menjadi mitologi
dalam khayalan. Akhirnya Barat kini, dalam bahasa Nietzche, sedang “Menempuh
ketiadaan yang tanpa batas”.
Tapi anehnya, kita tiba-tiba mendengar mahasiswa Muslim “mengusir” Tuhan
dari kampusnya dan membuat plesetan tentang Allah dengan gaya filosof Barat.
Ini guyonan yang tidak lucu dan wacana intelektual yang ‘wagu’. Seperti santri
sarungan tapi kepalanya bertopi cowboy Alaska yang kedodoran. Tidak bisa sujud
tapi juga tidak bisa lari. Bagaikan parodi dalam drama kolosal yang berunsur
westerntaiment.
Konsep Tuhan dalam tradisi intelektual Islam tidak begitu. Konsep itu telah
sempurna sejak selesainya ‘tanzil’. Bagi seorang pluralis ini jelas ‘supremacy
claim’. Tapi faktanya ‘Kalam’ dan ‘falsafah’ tidak pernah lepas dari Tuhan.
Mutakallim dan filosof juga tidak mencari Tuhan baru, tapi sekedar menjelaskan.
Penjelasan al-Qur’an dan Hadits cukup untuk membangun peradaban.
Ketika Islam berhadapan dengan peradaban dunia saat itu, konsep Tuhan dan
teks al-Qur’an tidak bermasalah. Hermeneutika allegoris Plato maupun literal
Aristotle pun tidak diperlukan. Hujatan terhadap teks dan pelucutan otoritas
teolog juag tidak terjadi. Justru kekuatan konsep-konsepnya secara sistemik
membentuk suatu pandangan hidup (worldview).
Islam tidak ditinggalkan oleh peradaban yang dibangunnya sendiri. Itulah
sebabnya ia berkembang menjadi peradaban yang tangguh. Roger Garaudy yang juga
bule itu paham, Islam adalah pandangan terhadap Tuhan, terhadap alam dan
terhadap manusia yang membentuk sains, seni, individu dan masyarakat. Islam
membentuk dunia yang bersifat ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Jika
peradaban Islam dibangung dengan gaya-gaya Barat menghujat Tuhan, itu berarti
mencampur yang al-haq dengan yang al-batil alias sunt bona mixtra malis.
-Bab I buku Misykat, Karya DR. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusHhaa.. Eksis lagi.. Sepertinya lama sekali bertapa senior ini, untuk menghasilkan tulisan kece badai ini.. hhe. Mampir-mampirlah juga kemari senior http://husnaright.blogspot.com/2014/05/kemana-wajah-tuhanmu-menghadap.html :)
BalasHapusHahaaa, Copas itu mah, dari buku Misykat..:D
Hapus