Selasa, 24 Maret 2015

Buku: Islam dan Akal Merdeka



Alhamdulillah akhirnya dapat salahsatu bukunya Mohammad Natsir. Dari para tokoh Islam masa-masa lampau Indonesia -selain bukunya Buya Hamka- saya termasuk penikmat pemikiran-pemikiran Beliau akan Islam. Tulisan-tulisan Moh. Natsir betul-betul masih relevan untuk masa kini, sangat bergizi dan masih sangat kuat nuansa dakwahnya. Membaca tulisan-tulisannya yang mencerahkan masih ngasih energi kepada kita untuk makin mencintai dan mengamalkan agama sendiri, bukan malah berbalik menjadi antipati atau sinis macam kubu liberalis sebelah.  

Kukira wajar jika Moh. Natsir ada yang melabeli sebagai salah satu pembaharu Islam di Tanah Air. Seingatku di salahsatu buku Adian Husaini, bahwa beliaulah pencetus kurikulum Islam dalam dunia pendidikan kita. Bahwa ilmu agama dan ilmu dunia di sekolah gak boleh dipisah-pisah. (Kalo gak salah Adian Husaini nulisnya di buku ‘Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam’. Kalian cek lagi lah ya...hehee)

Padahal dulu kupikir-pikir, jaman dulu kala di Indonesia mana pulak ada tokoh yang begitu bagus dalam hal pemikiran dan pergerakan Islam. Ternyata memang saya yang keliru besar. Contoh kecil seperti Buya Hamka dan Moh. Natsir ini membungkam bulat-bulat ‘prasangka’ saya sebelumnya. Mereka merupakan ‘hadiah’ yang luar biasa bagi umat muslimin di Tanah Air. Masya Allah.

Buku “Islam dan Akal merdeka” ini belum kubaca memang. Kan baru aja dibeli. Hehehe. Jadi saya belum bisa kasih review perihal isi buku ini. Tapi saya gak sabar mau ‘pamer’ buku keren ini. Hehee, tapi Insya Allah nanti pengen nulis reviewnya atau minimal copas isinya kemari. Tapi secara umum, buku ini kayaknya berisi pemikiran-pemikiran Beliau tentang agama (dalam hal ini adalah Islam) dan negara. Apalagi dibawah judul besarnya ada sub-judul: “Kritik atas pemikiran Soekarno tentang “Islam Sontoloyo” dan seputar Pembaharuan pemikiran Islam”.

Padahal sebelumnya di buku Capita Selektanya, Natsir udah pernah “menjewer” si Soekarno. Yang saat itu Soekarno nganggap Turki itu demokratis pada masa pemerintahan Kemal Attaturk. Natsir malah berpendapat berbeda, bahwa Turki di bawah si Kemal Attaturk sebagai pemerintahan diktator. Masa pemerintahan Kemal, tidak ada kemerdekaan pers, kemerdekaan berpikir, dan kebebasan membentuk partai oposisi. Malah saat itu, Islam sangat dibatasi dan dicurigai. “Tidak ada kemerdekaan bagi Islam di tanah Turki merdeka ….” Kata Natsir lagi.

Wiiih, cakep, kan? Kan? Jadi gak sabaran awak pengen lihat gimana Natsir “peuteupat” si Soekarno dalam buku ini. Jadi sementara, sebagai pengantar, sini ku copaskan sepenggal isinya yang tertulis disampul belakang buku ini untuk kalian...:D

Menjaga kebersihan itu diperintah oleh Agama kita. Cara menjaga kebersihan itu diserahkan kepada kita, sesuai ilmu kesehatan dan dengan alat-alat hasil teknologi dalam masyarakat kita. Kalau kita dapat tahu bahwa jilatan anjing itu ada mengandung mikroba, maka akan kita buang mikroba itu dengans abun atau karbol, atau kita rebus dan kita bakar dengan spiritus sampai steril. Akan tetapi semua ini tidak menghilangkan bagian ‘ubudiyah dari masalah ini, yakni perintah mencuci dengan tanah. Demikian juga bila ada orang bisa melihat bahwa dalam shalat itu ada semacam gerak badan (sport). Dan kita sekarang sudah mendapat cara sport yang modern dan praktis. Kita boleh kerjakan sport itu, tapi apakah bisa shalat itu lantas ditukar saja dengan badminton, umpamanya? Tentu saja tidak bisa.(Mohammad Natsir)


Affif Herman, Bandung, 23 Maret 2015

Rabu, 18 Maret 2015

Di K.U.A




Oh itu dia si Munawwarah, sedang membuat dirinya duduk di kursi tunggu yang terbuat dari kayu yang tak kukenali jenis apa. Siapa peduli dengan jenis kayu itu. Yang penting dimana kursi tunggu itu berada. Iya, di ruang tunggu KUA Kecamatan Syiah Kuala. Ehem.

Dia itu yang berjilbab itu. Iya, yang berkaca mata itu. Iya, itu dia. Entah mengapa ia memakai kacamata kemana-mana. Entah. Mungkin ya, mungkin biar jelas pas ngeliat sayanya. Ehem. 

Dia udah duluan sampai. Di KUA yang bangunannya yang agak kasian ini. Entah siapa yang desain. Terlalu asal-asalan saja, terlalu banyak celah untuk dikritik. Belum lagi kukritisi hasil kerja tukangnya yang ‘subhanallah’. Lantai yang bergelombang, cat putih yang tak lagi putih, jendela dan kusen dari material kayu yang seadanya. Plafon yang mulai kotor oleh bekas tetesan hujan. Heuheuheu. Kek gini-lah kalo negara agak kurang menghargai lembaga pemersatu para kekasih dalam naungan NKRI ini. Tapi tak apalah, mungkin arsiteknya paham bahwa mereka yang kemari gak peduli sama desain bangunannya. Pikiran pengunjung kemari yang penting beres melegalkan urusan asmara mereka. Toh, kalo udah jatuh cinta konon apapun akan jadi indah. Termasuk KUA yang centang perenang ini.

Saya sendiri, setelah dari kampus langsung merapat ke KUA yang terletak pas di persimpangan jalan dan berdekatan dengan kantor kecamatan Syiah Kuala ini. Kira-kira mungkin berada dikoordinat  35,2°42′21″LU 139,76°42′54″BT. Hari ini adalah jadwal saya dan si doi mendaftar dan mengurus hal-hal yang diperlukan oleh negara agar kami boleh nantinya berboncengan berdua dalam gelombang asmara yang.... (Hahaha, sudahlah. Jangan di lanjutkan bagian ujungnya.)

Nah, pas sampai di KUA saya langsung masuk melalui pintu, lagi malas aja lewat jendela sebenarnya. Kulihat si Muna lagi duduk di  bangku kayu panjang yang tadi aku tak tau jenisnya itu. Dia menoleh ke pintu, iya, ke ehem...ke saya. #Sihiiiy...meong.  Tak ada kata sapaan yang khusus saat itu. Sayanya berusaha agar keliatan se-normal mungkin. Nutupin grogi, wak. Hihihi. 

“Udah dipanggil?” tanyaku sebagai basa basi, biar ketegangan agak reda, meski nyatanya nggak ngaruh. Nada nanyanya juga dibuat se-normal mungkin, dengan ekspresi sedatar mungkin. Seolah-olah ini adalah masalah yang biasa-biasa saja. Meski nyatanya didalam hati tentu saja gak biasa. “Dum-dam...du bi du bi da-dam...syalala...syalala...”. Hati bernyanyi, wak!.

“Katanya tunggu bentar” Si Muna juga menjawab seadanya, dengan suara datar juga. Apa dia ikut-ikut saya, ya? Tapi dalam hatinya siapa yang tau. Mudah-mudahan “dum-dam du bi du bi... dam-dam...syalala...syalala”  juga. Aamiin.

Beberapa saat kami menunggu di ruang tunggu yang saat itu agak sepi. Aku sok menyibukkan diri dengan membaca dengan sok serius beberapa informasi yang di tempel di dinding-dinding KUA. Karena kan gak mungkin awak duduk di bangku panjang itu bareng si Muna. Trus kalo duduk disitu aku mesti ngomong apa? Mesti gimana? Apa bilang gini; “Hai Muna, gimana nih kabarnyah? Udah makan pagih? Hapenya ada pulsah? Mau Abangda isiin pulsanyah? Kuliahnya gimanah? Lancar? Ada yang bisa abang bantuin? Bantu ngeprint atau apa gitu biar adinda Muna senang, mau?”

Gitu? Gitu pedekatenya? Hihihi. Bisa dilabrak si Muna abang kalian ini.

Tapi saat itu coba tengok, nyatanya kami mencoba sibuk masing-masing. Seolah-olah kami sedang tak ada urusan antara satu dengan yang lain. Saya sibuk sok-sok baca apapun yang di tempel di dinding KUA. Sampai ada yang mesti dibaca 2 kali, karena udah khatam sekali. Semua yang bisa dibaca di dinding KUA itu kubaca, tak ada yang luput. Koranpun masalahnya tak ada. Si doi pun entah ngapain itu di bangku itu. Kami macam intel yang lagi menjalankan misi untuk menangkap kepala KUA hidup-hidup. Sunyi senyap. Heuheuheu.

Setelah beberapa lama kami menunggu tanpa ngobrol. Lalu salah satu ibu-ibu petugas KUA memanggil kami untuk masuk ke ruangannya untuk ditanya ini itu mengenai administrasi yang mereka perlukan. Saya dan si cewek duduk di kursi yang disediakan, mau duduk di meja konon katanya gak sopan. Yaudah, kududuk di kursi yang telah disediakan. Kami berhadapan sama si ibu. Tak ada yang penting sebenarnya, si ibu petugas cuma nanya kelengkapan berkas-berkas, surat pengantar, foto 3x4, dan lain-lain. 

Lalu si ibu ini mencoba mencairkan suasana. Mungkin karena diliatnya kami berdua tak saling cakap-cakap. Jadi dia seolah-olah ingin menjadi pencair suasana.

“Udah berapa lama ‘kenalan’? Kenalannya di kampus?” tanya si ibu sambil senyum, melirik ke kami beberapa detik trus mata dan tangannya kembali sibuk membereskan dan memilah-milah berkas-berkas kami dengan sigap dan cekatan. Entah udah berapa pasangan yang telah beliau proses. Pertanyaan mengenai ‘lama kenalan’nya tadi membuat beberapa petugas KUA di ruangan tersebut ikut mengompori dengan tawa-tawa yang agak ‘meneror’.  Saya ya cuma senyum-senyum cantik. Tak kujawab bahwa kami baru saling tahu dalam beberapa hari saja. Bisa dikira nanti kami korban perjodohan sejak kecil oleh orang tua masing-masing, kayak di telenovela-telenovela. Makanya ‘tergereuheng-gereuheng’ saja kukira udah cukup. Biarlah debar-debar di hati yang menjawab. #Aseeeek...

“Heheee, gak lama, bu”
Gak enak juga menghiraukan si ibu petugas, akhirnya saya jawab juga dengan singkat sambil senyum sikit-sikit. Tapi tetep senyum banyak-banyak di hati. Auw...auw.

Saya gak liat si Muna gimana pulak ekspresinya, mungkin kalo saat itu kami udah halal secara hukum agama, mungkin saja dia mencubit pinggangku dengan genit. Mungkin, ya, mungkiiiin.

Oiya, ada adegan dimana si ibu petugas ini bangun dari mejanya, entah kemana dia pergi. Seolah-olah ada berkas yang tak lengkap di mejanya. Jadi si ibu ninggalin kami berdua di depan mejanya.  Kami berdua hanya melihat ke depan kekursinya yang kosong. Heuheuheu. Meski duduk bersebelahan saat itu kami tetap gak ngomong-ngomong, wak! Persis kayak di ruang tunggu sebelumnya, cuma masalahnya tadi kami agak berjauhan, spasi diantara kami tadi terbentang 4-5 meter. Lha, Sekarang spasinya cuma sejengkal-dua jengkal tangannya orang Kamboja. Dekat bener. Ini jarak terdekat yang terjadi diantara kami sebelum naik angkot, eh, naik pelaminan.

Si Muna kulirik pake ekor mataku yang paling ujung biar gak ketahuan...oh, dianya sibuk main hape. Kalo kutebak, mungkin dia lagi apdet status fesbuk yang bunyinya,” Lagi di KUA nich.”. Mungkin, ya, mungkiiiin. Tapi gak mungkin deh kayaknya. Hahaha. 

Situasi yang bikin salah tingkah ini berakhir setelah si ibu petugas KUA kembali datang. Alhamdulillah. Lalu dengan sedikit tanya-tanya ala kadarnya berkas-berkas itupun beres. Ya gitu, beres aja. Tak serumit menurunkan persamaan differensial orde-4. 

Lalu kami permisi sama si ibu. Trus 2 orang yang bakal pacaran ini masing-masing pamit. Iya, gitu aja. Tak ada saling pandang beberapa menit kayak di film-film telenovela Korea Utara. Belum ada gombal-gombalku keluar. Rayuan-rayuan gombalku masih terbungkus rapi di sela-sela debar-debar jantung, yang masih bisa disembunyiin pake jaket. Si Muna gak bakalan tau. Kami kembali sok sibuk ke aktifitas masing-masing.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Singkat cerita, tepatnya setelah ijab kabul di mesjid selesai. Kami pisah, masing-masing balik ke lokasinya, buat ganti kostum. Karena kostum di acara Akad nikah dan yang dipakai di pelaminan biasanya berbeda. Di sela-sela ganti kostum ini kuambil hapeku yang jago mengirimkan pesan singkat itu. Kuketik.

“Ada pegang hape?” Lalu ku pencet tombol send. Iya, ke si Muna laaah. Masak itu pun payah di jelasin lagi, wak?!

“Ada.” Balasan singkatnya tak lama masuk. Mungkin si doi lagi direpotkan oleh masang aksesoris ini itu di pakaian adatnya. Biasanya aksesoris cewek memang lebih ribet.

“Udah boleh nanya2 kabar? Hehehe” kuketik balasan. Send lagi.

“Hahaaa, udah laaah...” balasannya.

Yes! Hehehe, lalu tak kubalas lagi, kan nanti bentar lagi ketemuan di pelaminan. Itu SMS pembuka aja dulu. Biar apa? Biar senyum-senyum sendiri. Hahahaa.

                Alhamdulillah, itu kejadiannya udah 4 tahun yang lalu. Gak terasa aja udah pacaran 4 tahun. Hehehe. Udah, udah pasti ada kurang lebih, senang-susah atau khilaf-lupa diantara kami. Semoga hal tersebut semakin menguatkan, diberi Allah keberkahan. 

Kepada si kekasih, pacar, kawan hidupku itu semoga senantiasa dimudahkan Allah segala urusannya. Diberkahi Allah langkah hidupnya. Semoga Allah membalas dengan kebaikan yang jauh lebih baik atas usaha dan lelahnya. 

Terakhir, maunya kubilang ‘I love you’ tapi kamunya udah tau, jadinya gak surprise. Mau bilang ‘dangsin-eul salanghabnida’ nanti akunya dikira anak alay Korea. Mau bilang ‘Bi Chamd Khairtai’ kamunya malah gak ngerti bahwa itu bahasa Mongolia. Hihihiii. Tapi apapun bahasanya, tenang Na, selama ada  google translate maka aman. Artinya Insya Allah sama, bahkan tanpa pake google transllate pun kamu udah tau. Je te aime, Muna. :D

“Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakanmu”

#SapardiDJokoDamono


Affif Herman, Bandung, 15 Maret 2015.