Selasa, 27 September 2011

Wanita Jalang



Itulah pada tahun 101 Hijriah (diriwayat yang lain 106 H) waktunya. Waktu yang itu telah lama berlalu. Yang ketika itu penduduk Makkah Al-Mukarramah adalah mereka yang sedang dirudung sedih. Diladeni kedukaan. Akibat seorang tabiin yang zuhud yang lahir pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, Thawus bin Kaisan Alyamani, meninggal dunia. Telah beliau memiliki takdir akan hal ini. Takdir yang itu beliau telah sepakati ketika sebelum dirinya itu dihadirkan oleh Allah melalui orang tuanya ke muka bumi.

Dan hadir-lah beribu-ribu manusia mengantar tabiin tersebut. Semua adalah mereka yang merasa kehilangan. Kehilangan salah seorang manusia yang para ulama haditspun telah bersepakat atas kejujurannya, keadilannya, kezuhudannya, dan banyak ibadahnya. Salah seorang yang dia juga berguru kepada Abdullah bin Umar bin Khattab. Yang dia-nya juga sempat bertemu dengan lima puluh orang sahabat.

Namun, lihatlah itu disana, di sebuah rumah itu. Rumah yang di dalamnya adalah dia seorang wanita tua yang sedang begitu haru sedih dirinya akibat meninggalnya Thawus itu. Yang ternyata wanita tua ini telah menjadi salah seorang yang dia rupa-rupanya memiliki kenangan yang sangat berharga dengan tabiin tersebut. Maka berceritalah dia pada sekalian manusia yang ada di dekatnya saat itu, yang lebih tepat jika saya sebut itu sebagai teman-temannya.

“Dulu aku adalah wanita jalang, suka menggoda setiap laki-laki shaleh. Kecantikan dan rayuanku mampu memperdaya kebanyakan mereka. Suatu hari aku datang ke rumah Thawus dan kutawarkan diri ini. Dengan ramah ia menerimaku. Namun untuk memenuhi tawaranku, ia memohonku untuk datang ke rumahnya besok hari saja.”

“Keesokan harinya,” lanjut wanita tua itu bercerita, “Aku datang ke rumahnya dengan penuh harap. Kudapati Thawus telah bersiap-siap menunggu kehadiranku. Ia mengajakku berjalan-jalan ke luar rumah, aku pun mengikuti kemauannya. Setelah lama berjalan, tidak kusangka ternyata ia membawaku menuju ke dalam Masjid Al-haram.”

Sambil ia bikin wajahnya menengadah, si-wanita yang telah habis jatah mudanya itu menjadi dia yang kembali berkisah,” Ka’bah berada di hadapan kami, sementara orang-orang khusyuk beribadah. Tiba-tiba Thawus berkata kepadaku: telanjanglah dan berbaringlah!. ‘Disini, Thawus!’ jawabku tersentak.”

Wanita itu menceritakanlah dia, bahwa Thawus menjawab pertanyaan wanita di depannya itu dengan penuh ketenangan. ”Ya, bukankah Dzat Mahasuci yang melihat kita di tempat yang sepi juga melihat kita di tempat ini?”

Wanita itu menjadi dia yang berkata pada teman-temannya,”Aku malu, namun aku juga merasa bahwa jawaban itu bagaikan air sejuk yang memadamkan nafsu yang sedang bergejolak di hatiku, dan sejak itu aku mulai bertobat.”

Begitulah kisah ini. Saya menjadi dia yang mengutipnya dari salah satu buku kumpulan hikmah di harian Republika. Begitu ada banyak sekali tentu hikmah dari kisah yang itu ditulis oleh Arif Chasanul Muna dengan judul yang sebenarnya sama dengan itu di atas. Sehingga terbukalah fakta bahwa ecek-eceknya saya telah mencontek judul di atas, padahal memang iya.

Dan terlihatlah itu contoh bagaimana manusia yang dicintai oleh beribu-ribu manusia karena keshalihannya. Sehingga selalu menjadi terlihat berduka pula rasanya se-isi bumi jika manusia-manusia seperti ini telah selesai masanya di bumi. Subhanallah.

Terlihat itu juga bahwa bagaimana hidayah akan bisa dihampiri oleh siapa saja yang dikehendaki Allah. Wanita jalang itu dia menjadi contoh kepada kita yang kini masih berjalan di atas bumi. Agar menjadilah kita ini janganlah sombong, besar kepala akibat merasa diri telah seakan kekal memiliki hidayah. Sehingga itu membikin mudah diri kita ini dalam menghakimi orang lain. Jadi tinggi hati juga sehingga memandang sebelah mata-lah itu si-fulan-fulanah yang barangkali belum baik ibadahnya menurut pandangan kita. Ya, padahal itu cuma akibat pandangan kita yang jelas lemah begini, namun kita menjadi dia yang besar kepala ketika menilai orang lain.

Kalau Arif Chasanul Muna membikin dirinya mengambil hikmah dari kisah itu adalah sikap 'ihsan'. Bahwa Allah SWT selalu memperhatikan tingkah laku dan aktifitas kita selama di bumi. Dimana saja. Pasti itu, tidak ada yang terlupa setiap detiknya.

Ya Allah, membaca hikmah dari Arif ini membikin saya itu merinding. Karena akibat mengingat diri yang masih jauh sekali dari kata sanggup mengamali konsep 'ihsan' itu. Malah saya adalah dia yang sering lupa untuk sadar bahwa selalu ada Allah yang terus melihat saya ketika di bumi. Baik ketika itu sedang ramai-ramai, meski itu ketika sepi sendiri. Aiih, sungguh saya adalah dia yang sekarang menjadi malu rasanya menulis ini. Huff, saya sekian-kan saja ya…



Affif Herman, 25 September 2011
Lagi di Jantho, lagi bikin diri ngobrol sama istri.

1 komentar: