Selasa, 20 Desember 2011

Boysband Lokal euuy..



Lalu saya menjadi yang terheran-heran lagi. Beberapa ABG yang kembali berperangai untuk sengaja menggilai sekte boysband di dunia permusikan. Kelompok penjual tampang yang seolah-olah mengaku penyanyi professional itu. Yang suka juga jingkrak-jingkrak kesana kemari, sambil guling-guling juga dan tak lupa sebar pandangan yang menggoda juga. Siapa yang mau digoda gitu? Olala, so pasti cewek-cewek ABG labil alay dan waria, dong!

Namun tak seperti tahun-tahun emasnya boysband era tahun 90-an yang dikuasai oleh para boysband dari eropa/barat. Kini boysband-boysband yang menguasai para ABG alay berasal dari timur, khususnya dari Korea (kalo saya gak salah, ya…hehe).

Takut jika-jika mana tahu ada boysband yang mencatut nama saya untuk mendompleng kepopuleran mereka maka saya ecek-eceknya kuatir. Dan saya jadi deh mengecek-ngecek di internet dan youtube siapa dan apa yang mereka perbuat sehingga para ABG semakin hari semakin gak jelas perangainya, semakin labil gitu (mudah-mudahan mereka tetap gak lupa shalat saja…). Dan Alhamdulillah ternyata memang tidak ada satupun boysband Korea yang berani mencatut nama saya. Mungkin mereka segan, atau apalah…hehe.

Di internet kudapatkan kenyataan yang tidak mengagetkan, bahwa mereka memang sedang sangat populer. Kulihat video klip mereka di youtube, dan terbukti bahwa mereka memang sengaja menggunakan tampang yang ganteng, bersih, cute atau apalah lagi sebutannya sebagai ‘umpan pancing’ demi membuai pandangan mata para kaum yang mudah terbuai dengannya. Lalu kuperhatikan pula koreografi di “joget-joget”nya, kupikir itu lumayan keren dan lincah. Saya beri itu tepuk tangan sebagai sebuah pengakuan dari saya bahwa mereka memang jago nge-dance…bagus…bagus…

Untuk segi suara dan olah vokal mereka, ya, saya kira tak apalah, namanya juga boysband, suara boleh menjadi prioritas nomor sekian. Untuk irama atau lagunya terus terang saya tak suka dan tak menikmatinya, tapi tentu untuk masalah selera genre musik begitu kita bisa berbeda-beda. Sebagai mantan seniman saya sedikit menghargai tentang perbedaan selera bermusik ini. Namun ini tetaplah itu yang namanya adalah pendapat pribadi, boleh jadi itu salah, boleh juga itu benar. Jangan marah jadinya ya, karena marah tidak pada tempatnya itu tak indah.

Nah…nah…nah, salah satu efek dari boomingnya popularitas boysband-boysband Korean itu, maka seperti biasa Indonesia tercinta yang katanya tanahnya berair pun terciprat dengan hal begitu alias ikut-ikutan. Maka terjadilah fenomena yang ganjil. Yakni lahirnya lagi para boysband-boysband pribumi jadi-jadian yang, maaf, sok cute ke layar-layar kaca. Bukan saya itu alergi dengan boysband dalam negeri, yang notabenenya boysband produk lokal yang seharusnya di junjung tinggi demi kemajuan bangsa dan Negara. Namun ya itu, boysband-boysband lokal ini betul-betul “luaar biasaa”. Maksudnya luar biasa hancurnya. Terkadang ketika melihat mereka tampil di TV saya tiba-tiba jadi lupa ingatan dan menolak jika disebut-sebut sebangsa dengan para boysband lokal itu.

Boysband pribumi yang pertama kali muncul yang saya tahu bermerek dagang ‘Smash’. Dan tentu dong harus berwajah manis dengan kulit wajah putih bersih kinclong. Wajar itu, karena gak laku banget kalo ada boybands yang jerawatan atau dengan kulit yang berminyak. Bagi mereka, merawat wajah adalah juga dalam bentuk merawat mata pencaharian. Lalu setelah Smash puas dicaci-maki atas kemunculannya yang dituduh plagiat, tak lama setelah itu bergentayanganlah lagi boysband-boysband lokal yang semakin “luar biasa” tadi. Yang bikin apa gitu, iya, bikin malu!

Dance yang hancur dan kaku, pakaian yang norak, wajah pribumi yang dipaksa-paksa cute dan ganteng, lagu yang gak jelas dan terkesan murahan, ditambah lirik yang berkualitas rendah sehingga apa gitu? Sehingga betul-betul sempurna memperlihatkan bahwa boysband pribumi ini luar biasa hancur! Saya benar-benar tak habis pikir sedang apa mereka sebenarnya itu?! Yakin dah mereka-mereka ini cuma bertahan 1-2 album saja...

Lalu saya buat diri untuk mau sedikit heran, kenapa itu boysband-boysband korea terlihat sedikit lebih terhormat dan lumayan oke jika dibandingkan dengan kepunyaan lokal ya? Yang lokal kulihat kampungan dan bikin malu saja. Beda benar kualitasnya. Bukan saya tak suka boysband produk lokal, namun saya benci. Benci gitu sama kualitasnya yang…waduh, gak tega bilangnya. Huff. Apalagi benci saya kini ternyata semakin dipelihara oleh acara yang kalo gak salah berjudul “Boys&Girls Band Indonesia” di salahsatu stasiun TV swasta gitu. Olala, melihat acara begitu sungguh membikin saya uring-uringan dan pengen membakar KTP Indonesia! Tapi untung-lah di Indonesia masih ada “The Trees And The Wild”, untung juga Indonesia masih punya “Endah & Rhesa” juga, atau punya “shoutul Harakah” juga. Dengan demikian sedikitnya menurut saya Indonesia masih bisa diselamatkan. Syukur.

Yah, mungkin begini saja dulu yang kenapa terpikir dengan sengaja iseng oleh saya sebagai bentuk saya yang seolah-olah menjadi peduli dengan dunia permusikan Indonesia. Saya juga sangat berharap gitu Dinas Sosial atau Dinas Perkebunan menertibkan boysband-boysband lokal itu. Tolong kasihani yang nontonnya…


Affif
15 Desember 11. Lagi ngopi, lagi di Meulaboh, lagi kangen lagi.

Jumat, 02 Desember 2011

Meulaboh Return

Mengapa ya saya udah jarang update blog gitu? Entahlah, saya juga gak tahu gitu. Bisa-bisanya saya jarang nulis lagi, bisa-bisanya saya merasa sibuk, bisa-bisanya saya dilalaikan dunia, huf, serasa gimana gitu. Hehe. Atau mungkin karena FB sehingga saya lebih senang bikin status daripada memberi ‘penghidupan’ sama ini blog. Atau mungkin karena si-istri sehingga saya lebih senang melamun rindu daripada merhatiin ini blog…hehe.

Jadi ya seperti biasa biar blog ini keliatan update makanya saya nulis yang gak penting begini dikit. Kenapa nulisnya dikit-dikit? Kan udah saya bilang biar ecek-eceknya kelihatan bahwa saya sedang sibuk, padahal nggak.

Saya udah kembali lagi ke Meulaboh ini, ibunya si-Aceh Barat. Buat lanjutin kerjaan lagi. Sebenarnya saya semangat saja gitu menikmati ini kerjaan, tapi yang bikin saya tidak on-fire 100 persen itu karena Jantho mengambil istri saya. Jadinya ya kami ecek-eceknya jauh, meski dekat di hati. Namun nyatanya tetap aja tidak asik. Tetap asik kalo dekat di hati dekat juga di badan.

Jauhnya si-istri ini betul-betul mempengaruhi, lho. Serius ini, saya jadi tidak ada kawan ngobrol yang lebih privasi, yang bisa ngomongin apa saja. Kalau kawan-kawan sekantorkan ngobrolnya cuma hal-hal yang serius gitu, seolah-olah mereka lupa bahwa dunia adalah senda gurau belaka. Uang telah mengubah mereka yang dulu suka bermain-main menjadi yang serius seolah-olah sedang memikirkan bumi. Tapi kalau sama si-istri saya biasanya bisa ngobrol apa-apa saja. Makanya saran saya bagi yang belum nikah, ntar nyari si-istri itu yang bagus ilmunya, suka baca-baca dan mau belajar nambah ilmunya terus. Karena biar asik diajak ngobrol apa aja, nyambung kemana aja (AffifTheory: 77).

Jadi gitu, konon sekarang saya harus mau nggak mau harus mau bahwa harus menikmati Meulaboh ini meski hati itu disana, di Jantho (kotanya si-istri). Oke, buat kawan-kawan saya juga bikin ucapan selamat bekerja dengan niat ibadah, biar begitu nanti malaikat mencatatnya, gak rugi jadinya…have a good time! 


Gambar satu: Ekspresi kurang semangat, ecek-eceknya gara-gara rindu


Gambar dua: Menjelaskan rencana untuk mengkudeta Obama juga kurang semangat, ecek-eceknya jg sedang merana.


Gambar tiga: Menjelaskan rencana untuk mengkudeta Obama juga kurang semangat, ecek-eceknya jg sedang merana...(hehe kopi paste kalimat poto di-atas doang)



02 Desember 11, Meulaboh yg udah 3 hari dimandiin terus sama hujan...
Affif Herman, yang dulu lahir dalam keadaan masih bayi.

Selasa, 08 November 2011

Baca-baca Novel “KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat”



Saya lupa hari apa gitu. Yang pasti saat itu matahari sudah sembunyi, karena mungkin malu ketemu sama bulan. Saya bersama istri saya yang saya gemari itu dengan sengaja mendatangi sebuah acara dalam rangka mau bersenang-senang. Sehingga dengan begitu saya dan istri bisa itu disebut selalu bersyukur atas apa-apa yang Allah beri, sehingga jauh dari itu yang disebut sedih hati dan berburam durja.

Acara yang katanya itu adalah sebuah pesta. Sehingga pasti ramai yang juga ikut-ikutan datang agar dirinya bisa bersenang-senang. Maklum, pestanya dibikin untuk umum sehingga tidak ada yang harus dirinya merasa malu untuk datang. Mau anak Gubernur, mau anak menteri kesehatan, mau anak maling, mau anak durhaka, mau anaknya tukang panjat kelapa, mau anak-anak juga, semua sama saja. Semua boleh ikut dalam pesta ini. Kecuali di hadapan Tuhan nanti di akhirat, pasti akan berbeda-beda nilai amalnya.

Pesta ini diberi nama PESTA BUKU gitu. Dibikin di gedung yang lebih besar dari sekolah TK saya, yang gedung ini dikenal dengan Gedung Sosial oleh orang-orang yang merasa mereka adalah warga kota Banda Aceh. Pesta ini sengaja dibikin 6x24 jam gitu. Dan juga sengaja dibikin sejak tanggal 29 Oktober hingga dengan sengaja juga diakhiri pada 3 November tahun 2011. Sungguh asik, kan? Apalagi jika kamu sudah punya si-istri, maka sungguh oke jika kamu pergi berdua sambil tangan sengaja bergandengan menikmati keramaian pesta. Sambil makan es krim dengan sengaja juga. Satu es krim untuk berdua. Bukan pelit, tapi biar manis. Ah jika saja kamu ada disitu ketika saya bergandengan tangan dengan si-istri saya yang baik pasti kamu akan ecek-eceknya menjadi cemburu dan seolah-olah iri. Sehingga membuat kamu akan segera mencari suami jika belum bersuami. Dan kamu juga akan menjadi dia yang segera mencari istri bagi yang belum punya istri. Oh saya menjadi tidak enak kalau begini jadinya, kalau kamu jadi tak enak hati. Tapi percayalah, saya akan mendoakan untuk kebaikan kamu itu. Hehe.

Di pesta buku inilah banyak itu para penerbit memamer-mamerkan buku-bukunya tanpa takut dikira riya. Sehingga itu bermaksud bahwa mereka sengaja memberikan ijin buku-buku itu untuk dibawa pulang dengan syarat mereka mendapatkan keuntungan duniawi berupa duit, dan keuntungan akhirat jika itu halal. Kalau kamu pernah ke pesta buku itu pasti kamu percaya kalau saya bilang bahwa ada lumayan banyak buku yang dipamerkan disitu. Kamu juga pasti percaya kalau banyak juga buku-buku itu sengaja dipotong harganya dengan niat agar orang mau membeli karena dikira murah. Dan kamu juga pasti percaya kalau saya sedang berdusta jika saya bilang bahwa disitu ada lelaki aneh yang menari balet di lokasi acara sambil buka baju sepanjang hari. Namun, oh namun, oh namun, acara begini sudah lumayanlah untuk tingkat Aceh saya bilang, karena jarang ada yang bikin. Meski agak jauh dari kesan keren dan wow, tetapi acara begini ini cukup sudah sebagai itu namanya pelepas dahaga rindu.

Nah, konon menurut kabar angin ketika di pesta buku itulah saya memberanikan diri untuk meminta beberapa buku dari yang mengaku-ngaku sebagai penjaga stand salah satu penerbit buku. Yang ujung-ujungnya saya diliput rasa bersyukur bahwa mereka mau saja memberikan buku-buku itu dengan hati gembira setelah saya titipkan uang kepada mereka. Mereka mau saja itu saya titip uang itu ke mereka tanpa mereka merasa curiga. Hihihi. Kalau saja mereka tahu uang itu milik siapa pasti mereka akan berpikir ulang untuk menerimanya. Uang itu sebenarnya bukan milik saya sih, uang itu adalah salahsatu rejeki yang dititip Allah ke saya sebentar. Hihihi, mudah-mudahan mereka tidak sadar.

Salah satu buku yang saya ambil dari pesta buku itu berjudul “KEMI: Cinta Kebebasan Yang Tersesat”, karangannya Adian Husaini. Adian Husaini ini adalah penulis yang sudah saya kenali cukup lama, meski dia saya yakin 100% tidak mengenali saya. Tapi tak apa, saya memang orang yang tak suka terlalu populer macam Adian Husaini. Dan buku novelnya ini sebenarnya sudah sekian lama saya bikin diri untuk mencari-carinya setelah melihat promosinya di situs www. Insist.com. Situs yang bagus yang banyak mengulas kedangkalan dan keanehan logika sekumpulan manusia yang merasa tercerahkan oleh paham liberal dan tetek bengeknya. Namun entah karena dulu itu kami belum berjodoh sehingga saya menjadi dia yang tidak pernah mendapatkannya di toko-toko buku terdekat di kota saya. Hingga tiba saatnya pertemuan kami akhirnya bertakdir di pesta buku ini. Oh bahagianya, oh senangnya.

Setelah saya sengaja membawa buku ini pulang tentu saya tak segan untuk membacanya segera. Saya baca buku ini dari halaman depan. Saya baca lembar demi lembar tanpa perasaan takut, apalagi sedih atau gundah gulana. Saya juga menjadi dia yang terkadang tertidur karena asyik membacanya. Sehingga saya pun sering tertidur bersamanya. Huff, untung si-istri saya itu tidak cemburu buta dia sehingga nekad melakukan kekerasan terhadap buku itu.

Saya baca terus novel ini sehingga sungguh saya menjadi heran akhirnya. Saya heran karena akhirnya buku ini habis saya baca. Padahal saya sengaja membacanya dari halaman pertama namun selesai hingga halaman terakhir. Sehingga seolah-olah saya kelihatan sebagai orang yang rajin dan tekun membacanya. Setelah habis, saya bergumam, dan berkata bahwa, “Maka sesungguhnya novel ini adalah novel yang ‘berisi’ dan bagus”. Saya berkata begitu seolah-olah saya sedang berkata kepada banyak orang, padahal tidak.

Novel ini memang tak terlalu memiliki cerita yang lincah melompat kemana-mana. Secara umum saya melihat novel ini bahkan hanya memainkan sedikit peran, hanya beberapa orang saja. Lokasi-lokasi ceritanya juga sedikit dengan jalan cerita yang juga sebenarnya sederhana saja, tidak ribet gitu. Terkesan tidak terlalu kaya. Apalagi perasaan-perasaan yang dimainkan di dalamnya juga menurut saya tidak begitu kuat. Namun ini tidak menjadi suatu soalan yang mengguncang pikiran saya. Karena menurut saya ini wajar akibat penulis novel ini bukanlah penulis novel yang sudah berpengalaman saya lihat. Ini saja novel perdananya, dan barangkali bakal menjadi novel terakhirnya juga, mengingat beliau memiliki ranah menulis di bidang yang lain. Saya berkata begini ecek-eceknya saya adalah pengamat dunia per-novelan yang super mega professional sekali, padahal bukan. Percayalah, ini biar kalian mengira saya gaya saja.

Namun yang membikin saya itu senang setelah membacanya adalah kandungan novel ini yang baik sekali. Novel ini memang sengaja menyajikan sajian debat-debat dengan orang-orang yang merasa intelektual yang tercerahkan dengan ide-ide liberal dan pluralismenya. Dan saya menyangka dengan serius bahwa memang disinilah kekuatan novel ini. Novel yang mengangkat tokoh utama Rahmat dan Kemi ini sangat membuat saya asyik begitu membaca bantahan logika-logika liberal yang memang terlihat konyol. Biasanya saya mendapatkan materi-materi di dalam novel ini secara terpisah. Namun Adian Husaini apik menyajikan poin-poin logika berpikir yang sering dipakai oleh para liberal beserta bantahan-bantahannya yang oke di dalam satu novel sederhana begini. Adian Husaini memang ajib dah.

Dan setelah ba’da shalat Magrib pasca tamatnya saya baca novel ini. Saya membikin diri saya berani untuk ngobrol dan canda bareng si-istri. Tanpa merasa grogi saya tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang insya Allah tidak diketahui oleh Adian Husaini dan Habiburaman El-Shirazy, tapi hanya diketahui oleh istri saya. Malaikat di kiri dan kanan saya dan si-istri saya juga tahu. Yang pasti Allah juga pasti lebih tahu. Bahwa saat itu saya berkata,” wahai istriku, sesungguhnya bagi saya buku novel Kemi ini sungguh lebih bagus daripada novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB) itu atau buku-buku Kang Abik yang lain”. Dan demi mendengar perkataan saya itu istri saya menjadi dia yang ekspresinya biasa-biasa saja. Tidak kaget dia, dia mengiyakan ucapan suaminya. Yaelah si-istri ini, payah ah, seharusnya dia pura-pura kaget gitu dong, biar Kang Abik mengira bahwa masih ada penggemar setia buku-bukunya. Dan dia tidak bersedih terlalu dalam.

Nah, jadi begitulah saja, saya beri itu yang ecek-eceknya sedikit komentar sama novelnya Adian Husaini ini. Saya tentu menjadi dia yang juga menyarankan sama kamu-kamu untuk itu silahkan membaca novel ini, insya Allah bagus ilmu di dalamnya. Semoga novel ini banyak memberi manfaat bagi kawan-kawan dan sodara-sodara saya se-akidah di seluruh Negara di planet bumi ini (maklum saya kan orangnya Internasionalis, bukan nasionalis). Dan tentu saya sangat berterimakasih kepada Ustad Adian Husaini atas usaha dan ilmunya, semoga selalu diberi Allah hidayah dan kebaikan-kebaikan di dalam hidupnya. Aamiin777x…


Affif, lagi di jantho, lagi sengaja sama si-istri.
05 November 2011

Rabu, 26 Oktober 2011

Neptunus Madu

Akibat sudah hampir 9 bulan saya tinggal sekamar dengan si-istri saya yang tercinta. Makan sepiring berdua juga. Minum secangkir berdua juga. Berboncengan pake motor juga hanya berdua hampir 9 bulan ini. Sehingga dengan begitu maka bolehlah kami disebut udah biasa berdua. Oh sungguh manis. Sehingga karena itu pula maka ketika kami pindahkan badan dari Banda Aceh ke Sabang dalam rangka ingin mengecek apakah air laut di sabang masih asin atau nggak maka kami tidak lagi menyebutnya sebagai Bulan madu. Tapi sebagai Neptunus Madu. Tidak ada gitu alasan yang khusus.

Sebelumnya Saya dan si-istri yang baik itu secara pribadi udah pernah dan sering memindahkan badan ke Sabang. Namun ini adalah boleh kita sebut sebagai edisi pertama kami berdua bersama ke Sabang. Meski udah sering ke Sabang, namun kemarin itu entah mengapa Sabang jadi terlihat lebih indah dari sebelumnya gitu. Entahlah. Ini mungkin efek dari orang yang sedang dilamun cinta saja. Hehe.

Ini saya lampirkan photo-photo sebagai bukti bahwa saya dan si-istri bahwasanya benar-benar mengecek air laut di Sabang pake sepeda motor berdua. Oh iya, mengingat istri saya tercinta itu tidak nyaman jika photonya dipublish ke ruang umum seperti blog ato FB begitu maka demi menjaga kenyamanan istri saya itu photo-photonya harus saya sensor lagi. Jadi yang di-upload cuma kira-kira yang dianggap layak untuk dikonsumsi umum.

Photo-photo yang manis dan terlalu mesra hanya akan menjadi konsumsi kami berdua saja. Ini mengingat agar tidak terjadi hal-hal yang kami kuatirkan terjadi setelah orang melihat photo-photo kami itu. Seperti; akan meningkatnya para perjaka dan perawan yang iri dan terburu-buru minta nikah atau dinikahkan. Juga kami tidak ingin makin banyak istri-istri yang memaksa suaminya agar pergi ke suatu tempat dan membikin photo tandingan. Dan hal-hal lainnya…hehe...olrite, Neptunus Maduuu!
















26 Oktober 2011
Affif, yang katanya lagi di Banda Aceh

Senin, 17 Oktober 2011

Perihal Genk Motor AJI.

Bismillah.



1. Nama “Genk Motor AJI”

Maka kita beri namanya itu "Genk", karena apa? Karena biar itu terlihat keren, terlihat bagus juga. Sehingga juga biar terlihat bahwa makna kata “genk” ini adalah merujuk pada sekempulan orang berkumpul yang boleh disebut kumpul-kumpul akibat sama visi, sama tujuan. Dan yang lebih penting gitu adalah biar rame, biar banyak kawan ngobrol.

Ketika kata “genk” disanding dengan kata “motor” maka bagi kalian yang merasa dirinya cerdas akan pasti segera memahami maksudnya. Iya, bahwa ada sekumpulan orang yang itu dipinjamkan Allah harta berupa sepeda motor segala merek yang mereka sengaja berkumpul demi itu orang-orang menyebutnya sebagai sebuah genk. Bukan itu untuk bikin diri pamer-pamer sepeda motor. Bukan juga buat balap-balapan yang justru itu aniaya kepada motor, dan lagi bisa mengganggu orang lain yang barangkali sedang sakit gigi. Namun itu ini adalah sebuah genk motor yang oke, yang itu bersatu-padu demi mengemban sebuah tugas mulia yang insyaAllah berpahala.

AJI adalah dia yang dibikin singkat padahal panjang. AJI menjadikan dirinya sebagai kepanjangan dari ANTAR JEMPUT ISTRI. Sehingga terlihatlah jelas tugas yang itu sangat indah dari genk motor ini. Iya, bahwa mereka adalah genknya para suami yang mendedikasikan waktu dan dirinya untuk mengantar-jemput si-istri demi berharap pamrih berupa pahala dari Allah. Berharap istri tambah sayang juga boleh. Berharap juga si-istri bersyukur bahwa Allah telah mengirimkan dia sebagai suaminya. Boleh-lah suami-suami yang merasa anggota Genk Motor AJI ini merasa dirinya keren. Ow ow ow.


2. Niat Genk Motor AJI
............Nyari pahala..................


3. Keanggotaan Genk Motor AJI

Adapun Syarat keanggotaan Genk Motor AJI antara lain:


a) Keanggotaan terbuka bagi siapa saja yang merasa dia adalah manusia
b) Berkelamin lelaki (waria dan perempuan akan ditolak)
c) Telah memiliki istri sendiri (dibuktikan dengan surat nikah asli + ijazah terakhir di-legalisir basah)
d) Surat keterangan persetujuan dari si-istri yang di teken kepala lorong (pake materai 6000)
e) Memiliki sepeda motor (dibuktikan dengan STNK dan SIM)
f) Memiliki niat untuk naik haji
g) Tidak membuang sampah sembarangan
h) Hemat menabung untuk bersedekah
i) Berbakti kepada orang tua, dan menghormati orang yang lebih tua yang baik akhlaknya.
j) Siap untuk berusaha mesra sama istri
k) Anti-zionist dan berusaha semampu diri memboikot produk-produknya.
l) Mengikuti tata tertib organisasi genk.


4. Ketua Genk Motor AJI

Ketua Genk motor AJI adalah yang disebut dengan Presiden dan Imam besar. Jabatan Presiden dan Imam besar seumur hidup Genk motor AJI adalah saya. Tidak ada pemilihan secara demokratis, tidak ada pergantian ini-itu, tidak ada struktur kepengurusan yang mengikat anggota. Bebas. Anggota bebas berbuat baik dan berakhlakul karimah.

Setiap perbuatan buruk yang bernilai dosa secara kajian syariat maka dosanya ditanggung sendiri oleh pelaku, dan otomatis menggugurkan keanggotaan di genk. Kalau tidak setuju dengan aturan ini maka silahkan bikin genk sendiri yang katanya lebih demokratis. Tapi jangan iri karena Genk Motor AJI lebih bagus dan tentu saja keren.


5. Lambang dan bendera “Genk Motor AJI”
...Belum ada, lagi dipikirin.


Motto: Kami Insya Allah siap mengantar kemanapun jauh si-istri ingin melangkah.



Note: Bagi yang sudah tak tahan ingin mendaftar maka silahkan mendaftar. Bagi yang telah dirinya mendaftar maka harap sabar dalam menunggu yang namanya itu kartu anggota. Agar dengan begitu terlihat keren dan indah Genk motor AJI ini.


Affif Herman, 14 oktober 2011
ecek-eceknya poklamator kemerdekaan Genk motor AJI

Rabu, 12 Oktober 2011

Bersin jodoh


[Jangan percaya, kalau saya bilang kereta api di gambar ini ada di Indonesia tanah air tumpah darahmu.]


Lalu pada tahun 1980-an akibat dia dibikin bergerak, maka bergerak-lah dia. Iya, kereta api itu. Kereta yang itu banyak membawa orang-orang yang mau masuk ke dalam perutnya, dan acuh pada yang tak mau. Dia bikin badannya yang panjang itu bergerak dari Jakarta ke Yogyakarta. Santai saja gayanya. Dia tetap itu berlari cepat meski perutnya kenyang, akibat dimasuki dan diduduki oleh hampir itu seribuan orang. Apa tidak capek kamu, kereta api? insyaAllah mungkin jawabannya pasti capek, atau mungkin juga tidak, atau apalah, susah kalau cuma diduga-duga.

Lalu di salah satu kursi di dalam perut kereta api itu ada seorang yang dulu dia masih boleh disebut pemuda. Meski sejujurnya saya yakin dia kalau ada umur sampai sekarang pasti adalah yang disebut sebagai orang yang sudah tua. Herannya, pemuda itu duduk dia dengan tenang di dalam perut kereta api. Apa dia tidak takut berada di dalam perut itu? Kenapa dia diam saja. Bukankah lebih menarik jika dia ketakutan sehingga kita yang membaca kisahnya menjadi penasaran dan dag-dig-dug gitu. Tapi karena dia duduk diam saja, ya sudah tak apa. Mungkin dia itu lagi bikin dirinya asyik melihat pemandangan diluar jendela sambil mendengar suara si-roda dan rel yang terus berciuman sepanjang Jakarta-Yogyakarta.

“Hatsyiiiiiimmmm….!! “. Pemuda itu tiba-tiba bersin. Dan asal kamu tahu saja, bahwa tak satupun dari hampir seribu orang yang ikut di telan oleh perut kereta api itu telah memprediksikan bahwa si pemuda itu akan bersin. Jadinya ya sebagian besar dari mereka bersikap biasa-biasa saja gitu. Bersin bukan-lah hal yang luar biasa bagi mereka. Bagi saya juga. Bagi kamu juga. Bagi Presiden juga.

“Alhamdulillah” ujarnya, sambil itu tadi menutup mulut dan hidungnya dengan telapak tangan. Agar itu orang di depan dan sampingnya dengan begitu tidak terlalu terganggu. Namun saya menduga, mungkin dia sesekali mau juga itu menutup dengan telapak kaki, tapi mungkin dia takut dikira sinting, makanya mungkin dia itu menjadi urungkan niat begitu. Atau mungkin juga tidak sih, atau apalah, susah juga kalau cuma di duga-duga.

Berselang beberapa detik, ada yang itu menyahut, “Yarhamukallah…”. Ow ow ow, dia yang menyahut ada itu disitu duduk dia di seberang pemuda itu rupanya. Makhluk Allah yang kita sebut dengan perempuan dia. Berjilbab rapat dia. Dan dia-lah pemilik sahutan atas bersin itu tadi. Dan lagi hanya itulah satu-satunya sahutan di dalam yang boleh kita sebut sebagai gerbong kereta itu. Tentu pemuda itu adalah dia yang tidak mengenali siapa itu perempuan berjilbab. Dan tentu perempuan itu juga menjadi dia yang juga tidak mengenali siapa pemuda yang tidak berjilbab itu.

Dia sudah berjilbab ketika itu yang di tahun 1980-an, padahal sangat langka ada yang mau begitu. Mungkin banyak juga yang itu namanya takut. Berjilbablah kamu di tahun itu dan siap saja dituding ekstrem kanan oleh orang-orang ramai. Oleh pemerintah juga, khususnya si-Ali Moertopo cs. Tak ada itu yang namanya bebas mengekspresikan simbol-simbol keislaman. Dulu itu juga tak mudah ada itu yang menjalankan etika sahutan ketika ada saudara se-akidah bersin. Sekarang mungkin sudah banyak kan ya, atau mungkin juga tidak, atau apalah, susah juga jadinya kalau dari tadi cuma di duga-duga terus. Hehe.

Ganjil jadinya menurut pemuda yang sebenarnya lelaki tersebut. Kejadian tadi tentu sebenarnya membikin dia itu merekam di hati. Diam-diam. Aih…aih...mungkin saat itu ada pelangi di atas langit sana. Mungkin bunga-bunga di sepanjang jalan itu pun bermekaran. Mungkin juga langit sedang saat itu adalah indah kelihatannya. Atau mungkin saja tidak, sulit kalau cuma di duga-duga, apalagi saya itu sengaja mendramatisir keadaan.

Lalu tibalah saatnya dimana kereta api boleh istirahat di yang namanya stasiun. Di Yogyakarta. Di pulau Jawa. Di negara Indonesia tanah air tumpah darahmu, disanalah kamu berdiri. Keluarlah beramai-ramai orang yang tadi di telan oleh kereta api. Semuanya keluar melalui pintu, biar ecek-eceknya dibilang kompak gitu.

Rupa-rupanya adalah sama antara lelaki yang muda itu dengan perempuan berjilbab itu turun, di Yogyakarta juga. Lalu lelaki muda itu bikin dirinya berani, seolah-olah dengan begitu dia boleh disebut pemberani, padahal tidak. Tidak dia sebut namanya kepada perempuan itu, juga tidak dia bikin dirinya bertanya siapa nama perempuan itu. Dia hanya meminta nama orang tua dan alamatnya si-perempuan, itu saja. Saya yakin lelaki itu juga tidak meminta uang kepada perempuan itu.

Berselang-lah beberapa hari. Dimana dia yang kita sebut lelaki muda tidak berjilbab di atas adalah dia yang menjumpai ayah dari yang kita sebut perempuan berjilbab di atas tadi. Dan berceritalah dia akan niatnya yang baik dan tulus untuk menggenapkan segenap agamanya bersama perempuan yang itu putri si-bapak.

“Mas Fulan mengenal putri saya?”

“Belum, Pak.” Pemuda yang sebenarnya lelaki itu menjawab singkat.

“Kok bisa? Sebab, putri saya banyak…”

Dan…dan…dan…tak lama setelah pertemuan itu, ketika di tahun yang saya belum ada di bumi ini, si-pemuda bersin tidak berjilbab dan perempuan penyahut bersin berjilbab itu akhirnya sama-sama duduk di pelaminan. Resmi menjadi kekasih yang halal secara hukum agama. Dan sekian-lah cerita ini begitu.

Merupakan ini kisah nyata yang itu pernah saya baca dari blog orang, dan saya bikin diri menceritakannya kembali. Agar itu ada hikmah barangkali, ada pelajaran barangkali, ada juga kebaikannya barangkali yang bisa diambil. Oh begitulah.



00.17 WIB. 12 Oktober katanya tahun 2011.
Affif Herman, lagi mau bikin badan tidur.

Rabu, 05 Oktober 2011

Kepada para suami-suami!



Kepada para suami teladan se-nusantara,

Kepada para suami yang baik hati,

Kepada para suami yang mentel,

Kepada para suami yang brengsek,

Kepada para suami yang cerewet banyak nuntut ini-itu,

Kepada para suami yang sering dan jarang merayu istri,

Kepada para suami yang sedang belajar jadi baik,

Kepada para suami yang banyak utang,

Kepada para suami yang romantis dan yang kaku,

Kepada para suami yang malas atau rajin membaca,

Kepada para suami yang rajin atau jarang ngajak istri jalan-jalan,

Kepada para suami yang udah poligami,

Kepada para suami yang rajin ke salon dan ikut les menari balet (suami yang aneh),

Kepada para suami yang gak pernah nulis surat cinta ke istri,

Kepada para suami yang merasa ganteng,

Kepada para suami yang pandai bersyukur,

Kepada para suami yang rajin shalat dan ngaji

Dan kepada yang lain-lain yang sedang merasa dirinya menjabat sebagai suami dimanapun Anda berada;

Oh apakah kalian saat ini adalah mereka yang dirinya kesulitan ketika membersihkan lantai dan dinding kamar mandi atau toilet yang penuh dengan bintik-bintik hitam dan noda yang katanya bandel? Dan kalian selalu berusaha untuk membersihkannya agar usaha itu terlihat di depan istri. Agar dengan begitu si-istri senang, sehingga dia juga mau memuji kalian seolah-olah kalian adalah suaminya yang OKE, iya, kan? Iya saya paham itu.

Memang bintik-bintik noda hitam di keramik kamar mandi/toilet terkadang itu susah diusir. Akibat mereka telah merasa itu sebagai rumahnya sendiri. Tentu saya tak bisa tinggal diam dan membiarkan ini terjadi. Sehingga apa? Sehingga tentu saja saya kali ini akan membantu kalian. Ah, tidak usah-lah berterimakasih dan ingin berniat membayar saya nanti, meski saya tidak menolak. Namun, anggap-lah ini sebagai bantuan yang saya ikhlas dengan itu. Karena apapun itu saya adalah dia yang kini juga sudah boleh itu dipanggil sebagai seorang suami, sama seperti jabatan kalian itu. Oh inilah dia yang ecek-eceknya disebut sebagai “Solidaritas Kaum Suami”.

Nah, agar tulisan ini cepat berakhir. Dan agar saya tidak banyak mikir-mikir juga. Dan agar kalian segera tercerahkan dan tentram jiwanya. Langsung saja ya, sekarang kalian beli-lah softdrink seperti Coca-cola atau Pepsi. Siramlah softdrink itu ke lantai dan dinding keramik kamar mandi/toilet yang dia-nya ingin kalian bersihkan. Setelah itu maka jadikanlah diri kalian sebagai suami yang bersabar menunggu selama 45-60 menit. Biarlah dia yang kita panggil dengan softdrink itu bekerja dengan tenang dan tentram tanpa ada gangguan. Percayalah kepada mereka.

Dan, Eng-ing-eng!!...setelah kalian tadi menjadi suami yang ecek-eceknya bersabar, maka selanjutnya siramlah keramik kamar mandi/toilet itu tadi dengan air (jangan sesekali siram pake sirup, mubazir). Dan itulah dia ‘Asam sitric’ yang terkandung dalam minuman Coca-cola atau Pepsi tadi yang dia-nya telah bekerja dengan keras serta ikhlas untuk membersihkan noda-noda yang dulunya kalian resah-risaukan.

Mudah-mudahan dengan begitu maka menjadilah kamar mandi dan toilet kalian bersih dan mengkilap, juga mewangi. Sehingga apa? Sehingga menjadi senanglah istri kalian itu. Sehingga dia yang itu kalian cintai karena Allah memberi kalian itu dengan yang namanya ciuman. Oh sungguh kalian telah menjadi suami yang dia selama ini impi-impikan. Wow!

Selamat berjuang wahai para suami!! Hidup para suami nusantaraaa!! Hancur Zionist! Hancur kapitalis!!



#niat nulisnya; biar blog ni updet, biar kalian senang, biar saya dapat pahala...hehe2



05 Oktober 2011, di Ketapang, di kantor, lagi sore, lagi hujan, lagi nunggu hujan selesai turun ke Bumi.
Affif Herman, Presiden Genk Motor Antar Jemput-Istri (Genk Motor AJI)

Selasa, 04 Oktober 2011

Mau nulis, gak sempat tapi...(gaya)

Mau nulis, gak sempat tapi.
halah, gaya. Sok sibuk.

Mau nulis, gak sempat tapi.
halah, gaya. SBY aja sempat nulis lagu dan bikin album

Mau nulis, gak sempat tapi.
halah, gaya. Malas aja pun, banyak kali bacot.

#hehehe...ini betol2 gak jelas apa yang mau di tulis...



04 oktober 2011
Affif Herman, lagi di Banda, lagi di kantor, lagi duduk, kayaknya lagi di-serang rindu juga. haha2.

Selasa, 27 September 2011

Wanita Jalang



Itulah pada tahun 101 Hijriah (diriwayat yang lain 106 H) waktunya. Waktu yang itu telah lama berlalu. Yang ketika itu penduduk Makkah Al-Mukarramah adalah mereka yang sedang dirudung sedih. Diladeni kedukaan. Akibat seorang tabiin yang zuhud yang lahir pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, Thawus bin Kaisan Alyamani, meninggal dunia. Telah beliau memiliki takdir akan hal ini. Takdir yang itu beliau telah sepakati ketika sebelum dirinya itu dihadirkan oleh Allah melalui orang tuanya ke muka bumi.

Dan hadir-lah beribu-ribu manusia mengantar tabiin tersebut. Semua adalah mereka yang merasa kehilangan. Kehilangan salah seorang manusia yang para ulama haditspun telah bersepakat atas kejujurannya, keadilannya, kezuhudannya, dan banyak ibadahnya. Salah seorang yang dia juga berguru kepada Abdullah bin Umar bin Khattab. Yang dia-nya juga sempat bertemu dengan lima puluh orang sahabat.

Namun, lihatlah itu disana, di sebuah rumah itu. Rumah yang di dalamnya adalah dia seorang wanita tua yang sedang begitu haru sedih dirinya akibat meninggalnya Thawus itu. Yang ternyata wanita tua ini telah menjadi salah seorang yang dia rupa-rupanya memiliki kenangan yang sangat berharga dengan tabiin tersebut. Maka berceritalah dia pada sekalian manusia yang ada di dekatnya saat itu, yang lebih tepat jika saya sebut itu sebagai teman-temannya.

“Dulu aku adalah wanita jalang, suka menggoda setiap laki-laki shaleh. Kecantikan dan rayuanku mampu memperdaya kebanyakan mereka. Suatu hari aku datang ke rumah Thawus dan kutawarkan diri ini. Dengan ramah ia menerimaku. Namun untuk memenuhi tawaranku, ia memohonku untuk datang ke rumahnya besok hari saja.”

“Keesokan harinya,” lanjut wanita tua itu bercerita, “Aku datang ke rumahnya dengan penuh harap. Kudapati Thawus telah bersiap-siap menunggu kehadiranku. Ia mengajakku berjalan-jalan ke luar rumah, aku pun mengikuti kemauannya. Setelah lama berjalan, tidak kusangka ternyata ia membawaku menuju ke dalam Masjid Al-haram.”

Sambil ia bikin wajahnya menengadah, si-wanita yang telah habis jatah mudanya itu menjadi dia yang kembali berkisah,” Ka’bah berada di hadapan kami, sementara orang-orang khusyuk beribadah. Tiba-tiba Thawus berkata kepadaku: telanjanglah dan berbaringlah!. ‘Disini, Thawus!’ jawabku tersentak.”

Wanita itu menceritakanlah dia, bahwa Thawus menjawab pertanyaan wanita di depannya itu dengan penuh ketenangan. ”Ya, bukankah Dzat Mahasuci yang melihat kita di tempat yang sepi juga melihat kita di tempat ini?”

Wanita itu menjadi dia yang berkata pada teman-temannya,”Aku malu, namun aku juga merasa bahwa jawaban itu bagaikan air sejuk yang memadamkan nafsu yang sedang bergejolak di hatiku, dan sejak itu aku mulai bertobat.”

Begitulah kisah ini. Saya menjadi dia yang mengutipnya dari salah satu buku kumpulan hikmah di harian Republika. Begitu ada banyak sekali tentu hikmah dari kisah yang itu ditulis oleh Arif Chasanul Muna dengan judul yang sebenarnya sama dengan itu di atas. Sehingga terbukalah fakta bahwa ecek-eceknya saya telah mencontek judul di atas, padahal memang iya.

Dan terlihatlah itu contoh bagaimana manusia yang dicintai oleh beribu-ribu manusia karena keshalihannya. Sehingga selalu menjadi terlihat berduka pula rasanya se-isi bumi jika manusia-manusia seperti ini telah selesai masanya di bumi. Subhanallah.

Terlihat itu juga bahwa bagaimana hidayah akan bisa dihampiri oleh siapa saja yang dikehendaki Allah. Wanita jalang itu dia menjadi contoh kepada kita yang kini masih berjalan di atas bumi. Agar menjadilah kita ini janganlah sombong, besar kepala akibat merasa diri telah seakan kekal memiliki hidayah. Sehingga itu membikin mudah diri kita ini dalam menghakimi orang lain. Jadi tinggi hati juga sehingga memandang sebelah mata-lah itu si-fulan-fulanah yang barangkali belum baik ibadahnya menurut pandangan kita. Ya, padahal itu cuma akibat pandangan kita yang jelas lemah begini, namun kita menjadi dia yang besar kepala ketika menilai orang lain.

Kalau Arif Chasanul Muna membikin dirinya mengambil hikmah dari kisah itu adalah sikap 'ihsan'. Bahwa Allah SWT selalu memperhatikan tingkah laku dan aktifitas kita selama di bumi. Dimana saja. Pasti itu, tidak ada yang terlupa setiap detiknya.

Ya Allah, membaca hikmah dari Arif ini membikin saya itu merinding. Karena akibat mengingat diri yang masih jauh sekali dari kata sanggup mengamali konsep 'ihsan' itu. Malah saya adalah dia yang sering lupa untuk sadar bahwa selalu ada Allah yang terus melihat saya ketika di bumi. Baik ketika itu sedang ramai-ramai, meski itu ketika sepi sendiri. Aiih, sungguh saya adalah dia yang sekarang menjadi malu rasanya menulis ini. Huff, saya sekian-kan saja ya…



Affif Herman, 25 September 2011
Lagi di Jantho, lagi bikin diri ngobrol sama istri.

Senin, 26 September 2011

Surah At-Takaatsur

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.

Sampai kamu masuk ke dalam kubur.

Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),

Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,

Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,

Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim (Jahannam).

Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin'.

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).



#Terjemahan Qur'an Surah At-Takaatsur [102]: 1-8

Surat Perintah Saya



Kepada Bapak Dyonisius Beti

Presiden Direktur Yamaha Indonesia,

Di,

Bumi
(kalo lagi gak ada di bumi, yaudah di Neptunus juga boleh).

Hai Pak Beti, tanpa banyak cincong, saya langsung bernafsu untuk mengabarkan kepada Anda bahwa foto di atas itu merupakan dia yang saya seru dengan Taufiq Kenny Bobo. Spesies manusia. Orang yang merasa paling ganteng di Indonesia. Orang yang ngotot mengaku bahwa dia orang asli aceh, padahal batak. Namun begitu, dia-lah orangnya yang kini merupakan salahsatu dari sekian manusia yang ada di bumi yang, alhamdulillah, telah menjadi teman saya.

Alhamdulillah dia lahir langsung dalam keadaan bayi. Alhamdulillah juga dia bukan salahsatu penjual miras dan narkoba di aceh. Dia juga bukan maling, Pak. Apalagi makhluk asing atau makhluk ghaib, jelas bukan. Pokoknya percayalah, dia adalah benar-benar manusia asli seperti kita-kita, Pak. Su-eer!.

Begini Pak, Taufiq Kenny Bobo ini setiap waktu selalu ia mempromosikan Yamaha, Pak. Dia tidak mengenal waktu dan tempat. Bahkan sampai-sampai kalau mengkomen status FB orang lain dia tetap mempromosikan Yamaha meskipun komennya nggak nyambung dengan status FB-nya. Heran, saya.

Nongkrong dimanapun dia promosiin Yamaha. Nongkrong jam berapapun tetap promosiin Yamaha. Subhanallah, saya sampe muak mendengarnya, Pak. Sampai saya berpikir, kalau saja Yamaha menjadi gerakan pemberontak saya yakin dia akan tetap bergabung dengan Yamaha. Kalau saja Yamaha menjadi sebuah Salon Kecantikan saya juga sangat yakin dia tetap ikut yamaha. Kalau saja Yamaha pun membuat aliran sesat, huff, tentu bapak sudah tahu jawabannya... Namun begitulah dia dan Yamaha, Pak. Cocok sekali gitu, ecek-eceknya sejiwa.

Asal Pak Beti tahu, sebenarnya dia itu yakin bahwa urusan rejeki itu Allah yang mengatur, sehingga apa? Sehingga mudah saja dia meninggalkan Yamaha, tapi toh tidak dilakukannya. Karena bisa saja dia jadi preman, tapi dia tidak mau. Juga karena bisa saja dia jadi bencong, tapi anehnya dia juga tidak mau. Dia tetap memilih bertahan dan mengabdi di Yamaha, Pak. Mohon bapak renungi keteguhan hatinya itu.

Maka jelaslah sudah, saya sebagai Presiden Genk Motor Antar Jemput Istri (Genk Motor AJI), dan juga sebagai Imam besar seumur hidup Ikatan suami-suami Teladan se-Nusantara, dengan ini memerintahkan dan mendesak Bapak Beti agar Kenny Bobo ini lebih diperhatikan di Yamaha. Mengingat potensi dan keloyalannya yang selalu terdepan di Yamaha.

Barangkali sekian dulu saja surat perintah dari saya ini, Pak Beti. Mudah-mudahan hati pak Beti terbuka dan mau terharu ketika membaca surat perintah ini. Bahwa ternyata ada orang yang selama ini menjadi bagian penting dalam keberhasilan penjualan produk Yamaha saat ini yang Pak Beti tidak menyangkanya. Maka tataplah foto di atas sehingga oh semoga Pak beti tersadar akan kekhilafan diri bapak yang tidak tahu akan perkara ini. Terimakasih.


Salam kangen,


Affif Herman,
Dipublish ke blog 26 September 2011, Banda Aceh

Jumat, 23 September 2011

LELAKI SWISS

Setting: Lugano - Swiss

“Arrividerci, Fabrian.”

Aku melilitkan sehelai syal yang menurut orang-orang katanya berwarna merah untuk menutupi leher sesaat sebelum melangkah pergi meninggalkan Lugano Dante Hotel. Tak terasa seminggu telah berlalu sejak aku menapakkan kakiku di Zurich International Airport. Lugano mulai mendinginkan dirinya saat ini dan makanya menyuruhku untuk memakai jaket dan syal.

“Kau benar-benar akan pergi sekarang?” Tanpa kuduga, Fabrian menatapku dalam dengan bola mata birunya. Mengapa bola matanya biru? Ah aku belum sempat menanyakannya, atau jujur saja, lebih tepatnya nggak peduli.

“Iya dong, Fab. Aku harus segera ke kampus, jualan makanan ini, takut telat. Kasihan mahasiswa Swiss International University (SIU) yang mau sarapan.” kataku bikin alasan sambil membuang pandangan ke kiri-kanan untuk mencegat taksi yang beruntung dan biar kelihatan aku itu sedang buru-buru, padahal sebenarnya tidak. Tatapan Fabrian yang tidak biasa tak terlalu kupedulikan.

Melihat tingkahku, Fabrian pun menjadi sok sibuk celingak-celinguk. Ia membuang-buang pandangannya untuk membantu itu mencari taksi tanpa kupinta. Mungkin sok care kupikir. Biasalah, laki-laki kalau ada maunya ya macam si bule kampung ini, cari perhatian.

Ah, akhirnya itu, lihatlah, ada taxi yang beruntung mendapatkan aku sebagai penumpangnya. Kenapa beruntung? Yah, karena aku ini jika turun dari taksi selalu ngasih duit ke sopirnya, sehingga si-sopir sering tersenyum senang meski aku tak senang.

Dan aku pun menuju kampus SIU yang tak terlalu jauh dari Lugano Dante Hotel di kota Lugano. Seandainya saja kalian sanggup untuk berjalan kaki dari hotel ke SIU, hm… yah bakal meminum waktu sekitar 65 menitan-lah. Atau kalau mau naik sepeda paling kuat mencicipi waktu sekitar 37 menit juga akan sampai. Nah, jika naik Taxi sepertiku barangkali bakal menjilat waktu sekitar 13,7 menit-an. Aku yakin bahwa penjelasanku ini sangat jelas. Tapi sueer, bahwa aku belum tahu berapakah waktu yang harus dihabiskan jika aku ngesot ke SIU. Beneran, aku gak tau!.

Oh iya, info sedikit-lah ya. Jujur, hmm… aku ini bukannya tinggal di dalam kamar-kamar mewah hotel Lugano tadi. Ini tidak seperti yang kalian bayangkan. Aku sebenarnya hanya numpang tinggal di ruang tunggunya hotel tersebut dan tanpa malu sudah kuanggap sebagai rumahku sendiri. Inilah berkat aktingku yang barangkali luar biasa, sehingga mampulah itu membuat manajer hotel terharu sehingga mengizinkanku tinggal sementara disitu. Yah, mau gimana lagi, biaya sewa kamar hotel atau apartemen disini mahal abis. Jadi ya begitulah, sekarang coba lihat sekarang aku disitu yang memasang tenda parasut berwarna merah di salah satu sudut ruang tunggu hotel. Wow.

Seminggu ini aku sedikit pusing dan sibuk untuk mengurus ini-itu untuk keperluan perizinan ini-itu untuk membuka kantin yang menjual menu khas Aceh ini-itu di kampus SIU. Rencananya aku akan menjual menu-menu seperti Gulai Asam-keu-eung, Bu Sie Itek, Gulai Kambing, Pliek-U, Mie Goreng Aceh, dan lain-lain. Termasuk juga macam-macam kue seperti Timphan, Pulut Bakar, Kue Lapeh, Boh Godok, dan lain-lainlah juga.

Nah, seminggu ini Fabrian-lah yang sering nolongin dan menjadi pemanduku di kota yang masih sangat asing bagiku ini. Awalnya kami bertemu secara kebetulan saja di lokasi pembuangan sampah di sebelah barat kota Lugano. Saat itu aku sedang tersesat dan Ia sedang melamun disitu. Dan disitulah terjadi pertemuan pertama kami. Setelah memberitahu dan mengantarku ke salah satu hotel di Lugano Fabrian menjadi sering datang berkunjung dan bertemu denganku dalam seminggu ini. Seolah dia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah dia sebagai lelaki yang baik-baik.

Fabrian itu anak bule sejati. Ini bisa dibuktikan dari rambutnya yang pirang, kulit merah macam kulit kerbau yang albino, badan tinggi jangkung dan sangat fasih berbicara bahasa Inggris, Jerman, Papua Nugini, Mexico, Yunani, Itali dan Tibet. Fabrian si bule pun ternyata cukup cakap berbicara dalam bahasa Indonesia, mirip burung beo yang sudah diajarin ngomong selama 17 tahun gitu. Ini berakibat aku dengan mudah bisa berkomunikasi dan menjadi lebih sedikit akrab dengannya dibandingkan dengan Obama dan bule lain di Lugano.

Pernah suatu waktu kami ngopi bareng di sebuah kafe kecil di pinggir kota Lugano. Aku iseng menanyakan dengan perasaan tidak kagum mengapa dia bisa menguasai banyak bahasa. Tapi pertanyaan itu malah membuat suasana santaiku menjadi tidak nyaman dan membosankan.

Bosan, karena ternyata itu merupakan cerita sejarah bertele-tele dan nggak penting tentang perjalanan hidupnya yang sangat panjang dan tidak berliku-liku. Aku malah menjadi sangat menyesali diri telah menanyakan hal tersebut padanya. Ah dasar Fabrian, kopi yang manis dan nikmatpun menjadi pahit rasanya.

Fabrian dengan bersemangat bercerita tanpa menghiraukanku yang mulai mual-mual karena bosan yang overdosis. Dia dengan bersemangat memulai kisah bagaimana ketika yang entah di tahun berapa dia telah dititip oleh orang tuanya ke panti anak-anak terlantar di kota Manchester, Inggris, karena orangtuanya yang kaya raya itu sibuk mengurus bisnis ini-itu. Menurut perkiraan waktu yang tidak akurat, saat itu ia masih berumur sekitar 1,75 tahunan dan ia sedang tidak lucu-lucunya karena ia memang bukan anak yang lucu. Sehingga orang tuanya tanpa berat hati menitipkannya ke panti tersebut. Oh nasib kamu Fabrian oh.

Perihal asal muasal dirinya ini terus diceritakannya selama berjam-jam. Ia berkisah bagaimana ia terus-terusan dibuang dari satu panti ke panti yang lain. Dari panti yang berada di kawasan Eropa hingga panti anak-anak terlantar yang ada di benua Amerika. Dari panti para anak yatim hingga panti pusat perbaikan mental pecandu narkoba pun sudah pernah ia tinggali.

Pernah ia bertanya kepada pihak berwenang di beberapa panti yang sempat menampungnya bahwa mengapa ia terus-terusan dipindah-pindah, bahkan menurutnya ini lebih tepat jika disebut ‘dibuang’. Dan ia mendapatkan jawaban yang nyaris sama. Bahwa ia dianggap sangat membosankan, tidak menarik untuk dipelihara. Dan Fabrian tidak syok mendengar jawaban tersebut.

Lebih dari 3 jam Fabrian masih terus bercerita. Dia adalah yang tidak peduli bahwa aku sudah menambah 3 gelas kopi, 2 gelas teh dingin dan telah menguap-nguap macam kuda nil yang diakibatkan oleh apa yang disebut dengan bosan yang mendalam. Dan akhirnya aku sadar dan mengerti mengapa ia terus saja dibuang ke berbagai Negara oleh panti-panti yang pernah menampungnya. Karena jika saja aku mampu, maka saat itu aku juga terpikir untuk segera membuangnya ke Somalia.

------------o0o--------------

Namun lihatlah, kini sudah sebulan di Lugano aku mulai mendapat masalah. Pertama, dari pihak hotel yang mulai muak dan mual denganku karena akibat menggunakan ruang tunggu hotel sehingga itu menyebabkan sofa dan karpet mereka kotor. Ditambah lagi tendaku yang merusak dekorasi ruang tunggu yang sebenarnya bergaya sangat eropa, elegan dan elit itu. Ditambah lagi mereka komplain dengan jemuran pakaianku yang sering bertengger di kamar mandi hotel tersebut.

Masalah kedua adalah, aku mulai bermasalah dengan pihak Administrasi Kependudukan Lugano karena nggak membuat KTP dan Kartu Keluarga setempat. Bahkan mereka sedikit mencurigai bahwa aku terkait dengan Organisasi Pendangkalan Budaya Lokal (OPBL) yang sedang mereka resah-risaukan. Mereka sangat kuatir makanan khas di Lugano tersingkirkan dengan masuknya makanan khas Aceh yang sedang gencar-gencarnya kupromosikan di kampus SIU.

Asosiasi Penjaga Kelestarian Kebudayaan Asli Lugano (APK2AL) yang anggotanya terdiri dari ibu-ibu PKK setempat juga mulai mencari-cari kelemahanku dan menyebarkan tuduhan macam-macam yang sangat manusiawi padaku. Kalian tahulah bagaimana kehebatan gosipnya ibu-ibu PKK yang sangat berbau intrik, tipu muslihat dan aura sirik iri dengki tersebut. Huff, Lugano menjadi semakin panas untuk kutinggali.

Masalah ketiga yang lebih parah adalah Fabrian. Iya, bule kampung itu. Beberapa puluh menit yang lalu ia melamarku dan aku mengutuk dengan keras perbuatannya itu sehingga terjadi adu mulut yang nggak penting. Kami jadi saling emosi ujung-ujungnya.

“Aku ingin menikahimu, pasti kamu kaget dan menerimaku…” katanya dengan pede saat itu. Padahal aku sedang menyuci sambil sejenak menghilangkan beban di kepala di pinggir sungai di tengah kota Lugano yang katanya romantis itu.

“Hah? Apa-apaan kamu, Fab?! Jangan main-main ah… Aku sedang malas bercanda ini.” jawabku ketus.

“Tidak main-main, jangan malas, ayo kita menikah sekarang...”

“Apaan sih, Fab, aku ini kan nggak menaruh perasaan apa-apa sama kamu. Kita ini sekedar teman saja!” sambil mengucek baju cucian dengan lebih kencang dan keras, aku mulai jengkel.

“Tapi aku menaruh perasaan apa-apa sama kamu, dan kita bukan sekedar teman saja, gitu...”

“Kita ini nggak cocok, Fab…” aku masih mencoba bersabar. Menahan diri.

“Mari kita cocokkan.”

“Aku ini beda dengan kamu, kamu bule…”

“Baiklah, aku akan operasi plastik kayak Maikel Jeksen untuk menjadi orang Indonesia”

“Aku ini benci bule, Fab.”

“Akan kubunuh semua bule…e-eh?! Eh, i-iya, akan kubunuh semua bule selain aku...”

“Aku ini ada penyakit yang kalau kumat suka makan kuping kelinci dan kuping laki-laki.”

“Iya sama, aku juga suka kuping meski kasihan si kelinci kehilangan kuping. Kita kompak dan cocok ya! Wow!”

“Aku tak mencintaimu, Fab…!”

“Maka cintailah aku.”

“Aku benci kamu.”

“Benci itu jangan, tak baik. Bencilah koruptor”

“Ah kau membuatku sakit kepala, Fab!!”

“Oleskanlah balsem panas”

“Arrrrrgghh… Plis deh, Fab!!!” Aku mulai tak tahan. Berang, sambil berdiri dan menghempaskan cucian dengan keras ke lantai. Jengkel sudah berada pada jidat. Aku berdiri di hadapannya dengan panas, sepanas bakso goreng yang baru saja digoreng dengan minyak mendidih.

“Gini Fab, aku ini sedang nyuci! Pake otak kalo mau ngelamar anak orang! Apa nggak pernah diajarin, heh?! Kau cuma nurutin moncong monyongmu saja!” Aku sudah kehabisan stok sabar, muntab menghampiri dan lupa dengan kata-kata sopan. Panas.

“Emang ngelamar anak orang gimana? Tahun lalu aku melamar anak orang di acara penguburan ibunya, eh juga kena damprat. Jadi gimana dong?”

“Aarrgghh apa ada otak Kau, Faab?!!”

“Ada.”

“Aaarggghhh…!!” Aku betul-betul mendidih, super muntab! Kutendang-tendang cucian ke sungai dengan keras saking dongkolnya. Meski setelah itu akupun buru-buru segera terjun ke dalam sungai lagi untuk mengutip baju itu agar nggak hanyut. Dan Fabrian cuma melihat santai aku yang berenang kesana-kemari mengutip pakaian tadi. Aarrgghh.

Dan akhirnya kutinggalkan Fabrian disitu sendiri. Dipinggir sungai itu, yang dia-nya saat itu sedang menunaikan hajatnya di dalam jamban dengan tentram tanpa rasa bersalah. Ingin sekali kusiram jamban yang sedang dihuni Fabrian itu dengan bensin dan segera membakarnya beserta isi didalamnya. Tapi untunglah masih ada setetes sabar didalam sanubariku yang terdangkal. Oh.

Dan kini aku telah kembali ke hotel. Aku mengambil keputusan untuk kembali ke kampung halaman saat ini juga. Aku semakin tak tahan dengan situasi yang membuat stres dan memusingkan ini. Kubereskan semua barang-barangku ke dalam koper, termasuk cucian yang masih basah tadi. Aku langsung menuju bandara. Dan pulang.


Affif Herman, 2011. Lagi dikantor, mau pulang.
Edisi Revisi, atas bantuan kepala sekolah menulis saya, bu Ade.

Rabu, 21 September 2011

Puisi bagus bikinan Gus Mus (KH. Mustofa Bisri, 1987)

"Kau Ini Bagaimana Atawa Aku Harus Bagaimana"

Kau ini bagaimana?
kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir

aku harus bagaimana?
kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

kau ini bagaimana?
kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin plan

aku harus bagaimana?
aku kau suruh maju, aku mau maju kau serimpung kakiku
kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

kau ini bagaimana?
kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

aku harus bagaimana?
aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
aku kau suruh berdisiplin, kau mencontohkan yang lain

kau ini bagaimana?
kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara tiap saat
kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

aku harus bagaimana?
aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

kau ini bagaimana?
kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

aku harus bagaimana?
aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
aku kau suruh bertanggungjawab, kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bissawab

kau ini bagaimana?
kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

aku harus bagaimana?
aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

kau ini bagaimana?
kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

aku harus bagaimana?
kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

kau ini bagaimana?
aku bilang terserah kau, kau tidak mau
aku bilang terserah kita, kau tak suka
aku bilang terserah aku, kau memakiku

kau ini bagaimana?
atau aku harus bagaimana?

Senin, 19 September 2011

Iklan Google Chrome yang bagus...

Hari Minggu, 18 September kemaren. Lagi itu saya namanya santai sama si-istri, nonton acara kulinernya Trans TV. Oh sambil ngobrol-ngobrol juga sama si-istri yang manis yang bukan bidadari itu. Iya, maklum, istri saya asli manusia, alhamdulillah. Kami ngobrol ini-itu macam-macam sambil nonton. Sambil ketawa-ketawa juga. Sambil saya rayu-rayu norak juga. Untung saja si-istri gak muntah-muntah mendengar rayuan saya itu...#hehe. Ya maklum lagi ya, namanya juga pengantin baru hampir sekitar 7 bulan jadi ya begini perangainya. Rada-rada mentel.

Konon sekonon-kononnya, selagi kami khusyuk ngeliatin si-Ari Galih lagi pamer ilmu masaknya di acara masak-masak Harmoni Alam eh datang si-iklan. Eh rupanya iklan Google Chrome. Iklan baru ini ya. Yah, yang pasti ini iklannya baru pertama kali saya itu melihat. Si-istri juga baru pertama kali lihat katanya.

Iklan itu adalah dia yang menceritakan tentang seorang ayah yang membikin sebuah akun Gmail untuk anak perempuannya. Dan Dani kusuma sang ayah itu mengabadikan dan mengirimkan setiap momen dari anak perempuannya itu yang masih kecil ke akun Gmail tadi itu dan berharap nanti suatu saat anaknya akan membacanya. Sejenak, saya menjadi dia yang terdiam melihat iklan tersebut. Si-istri juga terdiam dia. Ah, sok kompak ni si-istri.

Iklan itu bagus sekali rupanya. Menyentuh. Apalagi sewaktu ayahnya mengetik kalimat terakhir di bagian akhir iklan itu. Setelah menutup momen-momen yang dialami anak perempuannya yang masih kecil itu diakhirnya ia nulis begini kira-kira, “Dani Kusuma, Ayah”. Gila, saya merasakan betul ‘feel’ di kata “ayah” itu. Bikin merinding. Mantraaappp!

Sedetik iklan itu habis, spontan saya dan si-istri yang baik itu sepakat bilang bahwa itu iklan bagus sekali. Kami senyum-senyum senang dengan iklan begitu. Dan saya saat itu menjadi dia yang dalam hati teringat Ayah saya. Dan saya menjadi didatangi itu yang namanya rindu. Dan saya menjadi bersedih hati. Karena saya menjadi dia yang tak mungkin bertemu meski sedang rindu sekali pada satu-satunya lelaki yang saya panggil Ayah itu.

Affif, Banda Aceh, 18 September 2011
Sedang malam, sedang teringat Ayah.

Senin, 05 September 2011

Episode Muhammad Ahlan (Bab: kawan-kawan yang berpengaruh terhadap saya itu...)

3. Muhammad Ahlan a.k.a Ahlan, yang mempengaruhi saya untuk nggak nyontek kalau ujian.

Lihatlah langit. Biru sekali dia ya. Iya. Saat itu dialah yang sedang bermain bersama awan-awan. Bersama burung-burung juga. Bersama angin-angin sepoi juga. Mudah-mudahan mereka senang, insya Allah. Eh, tak lupa mataharipun sedang ikutkan dirinya bersenang bersama mereka, cerah. Ceria juga. Sehingga maunya dengan begitu biar dibilang bahwa hari ini adalah indah.

Coba lihat pula itu ikan-ikan di sungai, di laut juga, di danau juga, di air terjun juga, di selokan-selokan juga, setiap hari ada saja yang menangkap mereka. Aneh. Padahal mereka bisa saja kabur berenang di lautan yang luas, atau bersembunyi diantara karang bebatuan, namun mereka tak mau. Mereka sengaja berenang di permukaan, sehingga mudah kelihatan dan tertangkap. Mereka sengaja juga agar mudah terpancing. Oh mereka bilang mudah-mudahan dengan begitu si-penangkapnya bisa dirinya bersyukur karena mendapati diri mereka yang sedap jika dimasak, apalagi dipanggang. Itu ikan, sekarang lihat itu daun. Lihat itu pohon-pohon. Lihat itu juga burung-burung. Lihat itu biawak di selokan. Lihat-lihatlah. Oh bumi, se-begitu bagusnya kamu ini dibikin Allah. Subhanallah.

Dan lihat, itulah juga saya dan kawan-kawan sedang melaksanakan ritual sakral semesteran, ‘final’ alias ujian akhir semester. Lupalah saya pada semester berapa kisah ini terjadi. Yang pasti saat itu bumi masih berputar. Yang pasti malam dan siang juga masih saling berbagi untuk bergantian. Yang pasti para tumbuhan masih berfotosintesis. Yang pasti juga saat itu malaikat yang ada di kanan-kiri masih terus saja mencatat amal baik dan buruk setiap anak manusia. Oh begitulah.

Maka ketika saya bernafas memakai hidung, saat itu-lah juga di ruang kelas yang tidak mencekam saya dan kawan-kawan duduk di kursi bukan di meja. Duduk rapi. Kami bersiap menemui beberapa soal dari mata kuliah Mekanika Tanah. Semua manusia yang di dalam ruangan saya lihat begitu antusias dan bersemangat menghadapi ujian ini. Seolah-olah kalau ujian ini berhasil mereka bakal masuk surga. Biasa aja-lah. Saya saja, kalau saya mau, bisa saja saya buka baju dan meninggalkan kelas, tidak mengikuti ujian ini. Tapi herannya saya gak mau berbuat begitu.

Dan tepat-lah di belakang saya dia duduk disitu, tengoklah, yaitu seorang anak manusia. Bukan anak Jin–Alhamdulillah-. Karena kalau dia anak jin pasti nggak perlu ikut ujian final, kan? Maka adalah dia itu yang bernama Ahlan. KTP lengkap menyebutnya dengan Muhammad Ahlan. Seorang anak dosen senior di Fakultas Teknik. Yang baik perangainya. Yang rajin dan tekun orangnya. Yang terjaga shalat shubuh berjamaahnya. Yang dia telah menjadi juga salah seorang ketua bidang di salahsatu organisasi di Fakultas Teknik yang sedang saya Imami saat itu.

Saat itu, saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa ketika final sedang berlangsung pasti si-pengawas ujian sedang bernafas. Saya juga yakin semua peserta ujian final di dalam ruangan juga sedang bernafas. Ya, saya yakin sekali itu, insyaAllah. Penjelasan saya ini semoga menentramkan hati kalian yang barangkali sedang bertanya apakah kami masih bernafas ketika ikut ujian final itu? Maka jawabannya; iya, sesungguhnya kami semua sedang bernafas saat itu! Puas?!! #mohon abaikan paragraf ini…hehe

Ketika ujian berlangsung waktu semakin menunjukkan bahwa dia itu adalah cuek. Sombong sekali, ia terus berjalan tak peduli. Sehingga tanpa terasa 3600 detik lebih telah berlalu meninggalkan kami. Entah siapa yang menghitungnya. Pasti si-Jam yang bertengger di dinding kelas kami itu yang punya kerjaan! Dasar Jam, kerjaannya ngitung waktu terus! tak bisakah ia istirahat sejenak atau ngerjain kegiatan positif yang lain?! Huff…

Melihat waktu yang semakin menipis sebagai ketua yang baik maka saya bikin diri saya peduli kepada kondisi Ahlan di belakang saya itu. Kepedulian kepada sesama tentulah baik, apalagi peduli kepada kawan yang sedang dilanda ujian final begini. Apalagi Ahlan adalah anggota saya, wajar jika saya membantu, tentu dia akan kagum dengan kedermawanan saya. Ya, saya rasa demikian. Hehe.

“Gimana, Lan? Nomor sekian dan sekian udah?” Saya berbisik. Tidak mungkin saya teriak.

“ Belum, Fif” Ahlan ikut-ikutan berbisik. Ah, dasar Ahlan, gak kreatif!

“Oh, ane udah ni…ente lihat lembar jawaban ane aja. Bisa lihat, kan?” Berbisik sambil tetap waspada. Satu ekor mata berkomunikasi ke Ahlan di belakang dan yang satu lagi waspada was-was mengecek aktifitas pengawas ujian di depan. Aman.

“Gak apa, fif, ane kerjakan yang lain dulu”

“Ok, ntar klo udah masuk ke soal yang ini ente bilang sama ane ya…”

“ ….” .Ahlan cuma mengangguk tanpa suara. Karena ‘mengangguk’ memang tak butuh suara.

Kami pun kembali khusyuk menatap dan berkomunikasi dengan soal-soal ujian. Dan waktu lagi-lagi dia berlalu sok tak peduli. Ecek-eceknya dia sombong sekali begitu. Sehingga tinggallah waktu sekitar 10 menitan terakhir. Dialog saya dan Ahlan seperti diatas kembali berulang dengan redaksi yang hampir sama. Sikap Ahlan masih rada-rada sama. Ia tetap saja memberi sikap ngambang dan tidak konkrit, berkilah bahwa dia masih sedang mengerjakan soal yang lain. Saya heran dan mengkuatirkannya, karena waktu yang semakin menipis. Tapi oke-lah, semoga masih ada waktu.

Dan ketika kami masih asik bernafas maka tibalah saat itu, saat yang katanya waktu ujian sudah habis. Ahlan dan saya mengumpulkan lembaran jawaban kepada pengawas yang katanya ketat, padahal nggak. Sambil kami bikin badan kami keluar dari ruangan ujian melalui pintu, maka sesungguhnya bertanyalah saya padanya. Iya, kepada Ahlan.

“Gimana tadi nomor ini dan itu, siap?”

“ Gak, fif...” Ahlan menjawab dengan tenang dan senyum. Ahlan memang selalu begitu dia. Tenang-tenang saja selalu.

“Hah?! Gak siap?! Kok gak ente bilang, kan bisa liat jawaban ane, minimal liat rumusnya aja.”

“Nggak apa-apa…” Ahlan senyum-senyum ramah macam gadis penjaga kasir di supermarket.

“Jadi gimana dong soal nomor itu tadi?”

“Gak ada, fif...”

“Kosong jadi? Gak ente isi?!” saya menahan diri dari kaget dan tidak naik pikir.

“He…he...he…” mengangguk malu-malu, seolah-olah dia adalah perawan yang saya sedang mencoba melamarnya. Dan hari itupun selesai dengan saya yang masih terheran dengan perilaku Ahlan.

***

Di ujian-ujian berikutnya saya menjadilah dia yang penasaran, yang memperhatikan dia. Saya lihatlah dia yang di setiap ujian ternyata memang adalah dia yang selalu berusaha sendiri. Tidak dia bikin dirinya meminta bantuan ke kanan-kiri atau ke depan-belakang seperti lazimnya yang telah itu diperbuat oleh masyarakat yang dilanda ujian. Ahlan tetaplah dia yang kosongkan lembaran jawabannya ketika tidak bisa dia menjawab suatu soal. Dia tetap santai dan ringan saja begitu. Tidak dia tampilkan mukanya gundah kuatir jika tidak bisa mengisi lembar jawaban. Wow. Oh dia sudah berada pada kualitas manusia yang sudah bisa menghargai dirinya sendiri apa adanya. Meski apapun yang terjadi. Ia sudah tidak memandang nilai ujian diatas kertas itu sebagai penentu kemuliaannya. Toh buat apa nilai A jika ternyata didapat dengan jalan yang kotor dan rendah. Wow wow wow ini manusia levelnya sudah tinggi.

Aih Ahlan, tahukah kamu apa yang saya pikir saat itu? Saya menjadilah dia yang diam-diam heran dan kagum. Juga diam-diam iri. Di dunia yang ‘aji mumpung’ begini kamu masih berlaku seolah-olah dunia ini masih bermukjizat. Dunia yang segala sisinya sedang dibangun dengan ketidakjujuran begini kamu masih berlaku lurus seolah kamu itu masih di jaman Nabi. Oh.

Menjadilah saya itu yang diam-diam berpikir terus dalam malam-malam ke depan. Mengapakah kamu bisa begitu saya tidak, wahai Ahlan? Tak takutkah kamu nilai IPK yang rendah? Tak takutkah kamu untuk mengulang lagi Mata kuliah itu tahun depan? Tak berpikirankah kamu akan cibiran manusia lain sebagai seorang anak dosen senior di Teknik Sipil namun bernilai rendah? Ow ow ow, kamu membikin saya heran Ahlan, ah iya lebih tepatnya, iri.

Begitulah, saya akhirnya ditantang oleh diri sendiri. Saya menjadi dia yang begitu kagum dan iri dengan siapa itu tadi… iya, Ahlan. Setelah iri itu membuat jatuhlah saya ke dalam perenungan-perenungan diri. Sehingga berkeputusanlah saya bikin diri bahwa mau tidak mau saya harus meniru itu sikap Ahlan. Apapun itu yang dibilang orang sebagai konsekuensi, harus berani dihadapi.

Dan, Alhamdulillah. Ternyata memang menyenangkan. Meski awalnya saya menjadi dia yang kewalahan ketika ujian. Dan juga menjadi dia yang dipandang ‘sombong’ akibat diri yang tidak mengekspor dan mengimpor jawaban ke “negara-negara tetangga”. Namun akhirnya semua itu berjalan baik-baik saja. Tak ada takut meski harus mengulang mata kuliah. Tak ada itu sesal lagi meski nilai rendah setelah usaha maksimal. Oh meski ini hanya hal kecil, namun jujur itu ternyata memang bagus sekali untuk hidup. 

* Ah, Terimalah kasih, wahai Ahlan, semoga kamu diberkahi Allah. Aamiin77x…




Affif Herman, ST
Presiden dan Imam Besar Genk Motor Antar Jemput Istri (Genk Motor AJI)
Banda Aceh, 22 Juni 2011, sedang tengah malam.

Selasa, 02 Agustus 2011

Ramadhan euyy...:))


Pertama-tama dan paling utama dan sangat utama saya dan istri saya yang baik mengucapkan kepadalah kawan-kawan selamat itu. Selamat kerana beribadah Puasa di bulan yang paling mulia ini. Bulan Ramadhan ini.

Semoga di bulan ini Allah menolong kita agar semakin bersemangat dengan kerjaan kita, yakni berbuat baik. Berbuat baik kepada diri sendiri, kepada orang tua, kepada istri juga, kepada kawan2 juga, kepada lingkungan juga.

Semoga juga Allah Yang menguasai Alam semesta dan diri kita ini masih memberikan kita hidayah dengan usaha kita yang sebenarnya tak seberapa dalam mempertahankan hidayah-Nya ini. Sehingga hidayah itu masih ada pada diri kita hingga bumi menelan kita nanti. Oh, aamiin.

Demikian ucapan selamat beribadah puasa di bulan Ramadhan kita ini dari saya. Bulan yang hanya diberi kepada ummat terbaik diatas bumi. Yang hanya dikerjakan oleh orang2 yang bersaksi bahwa hanya Allah Rabb yang disembah dan Muhammad adalah utusan Allah. Ah, semoga aku dan kau tahu betapa berharganya indentitas diri sebagai muslim itu. Identitas terbaik yang ada di alam semesta. Tak ada dua. Tak ada lawan.

Baarakallah untuk kawan2, salam dari saya untuk keluarga di rumah dan di toko2 terdekat...


Note: Insya Allah saya siap jika ditraktir berbuka puasa bersama yang gratis dan enak...hehe2



2 august 2011
Affif-Munawwarah...

Jumat, 01 Juli 2011

(Tidak) Ada (lagi) Udang Dibalik Bakwan



Sementara akar-akar pepohonan menghisap air dari tanah. Sementara manusia masih menutup mata ketika tidur. Sementara anak-anak ABG jelek ngebut-ngebutan di jalan raya. Sementara burung-burung pada terbang kesana kemari seolah sedang pamer dirinya karena bisa terbang. Sementara Rupiah masih lemah letih lesu babak belur akibat kalah gulat dengan Dollar. Sementara PNS bekerja dengan semangat di kantor-kantor pemerintahan. Sementara semut mencari makan beramai-ramai. Sementara langit malam masih gelap hitam gulita. Sementara masih ada yang mau pergi shalat berjamaah ke mesjid. Sementara itulah saya dan sanubari saya sedang memikirkan sesuatu. Sehingga saya sementara itu ecek-eceknya menjadi seperti seorang pemikir, padahal bukan. Sehingga sementara itu terjadi akibat saya adanya kegundahan, atau apalah namanya, saya tak tahu harus menyebutnya apa. Insya Allah sementara ini terjadi akibat sebuah permasalahan sosial, yang saya yakin, tidak penting.

”Ada Udang Dibalik Bakwan” katanya. Kata kawan saya. Yang se-meja dan duduk dengan saya. Bukan duduk di pangkuan saya tapi di kursi di sebelah saya. Dalam sebuah pertemuan sekte yang insya Allah tidak sesat. Yang merupakan pertemuan rutin yang telah seperti menjadi sebuah keharusan bagi kami untuk selalu berkumpul. Untuk selalu harus bertemu biar dengannya bisa dibilang kami adalah kawan akrab. Mesti selalu harus se-meja untuk ngopi dan menanam benih-benih tawa agar bisa memanen tawa yang banyak. Selalu saja begitu kami. Hampir sama seperti kucing yang selalu saja mengeong tidak mau sesekali berkokok. Dasar kucing keras kepala!

Oh. Ketika itu saya kira. Mengira apakah bumi masih berputar? Jawabannya, “iya, masih-lah!” itu saya yang jawab sendiri, di dalam hati. Apakah? Apakah ikan-ikan di lautan tidak capek berenang? Saya tidak menjawab. Mengapa? Lha, itu kan urusan saya. Kan saya yang bertanya sendiri, maka terserah saya dong mau di jawab atau tidak. Mengapa kamu selalu ingin tahu urusan saya. Apa biar kamu itu mau kelihatan kritis dan cerewet?

Ketika itu saya terpikir kembali pepatah itu. Iya, “ada udang dibalik bakwan” itu. Itu adalah orang jaman dulu yang bilang begitu. Dan saya bikin diri lihat-lah bakwan di atas meja saya. Maksudnya meja itu bukan punya saya, itu meja yang miliki adalah dia yang punya warung kopi ini. Warung kopi Solong namanya. Konon katanya ini warkop terkenal. Bakwan di meja itu, percayalah. Tidak ada seekor udang pun dibaliknya! Atau di dalamnya. Atau dipinggirnya. Tidak ada! Ini fakta, lho! Sungguh saya tidak ingin berdusta gara-gara bakwan. Saya bukan lelaki macam begitu, bukan. Kalau tak percaya, coba tanya istri saya.

Bakwan masa kini tiada lagi ber-udang, sodara-sodara!! Ini realitas yang harus diterima dengan hati yang lapang dan terbuka. Kamu tak boleh menutup diri dan pura-pura tak tahu atas kondisi begini. Para pembuat bakwan komtemporer telah berijtihad untuk menghasilkan bakwan yang tidak lagi menggunakan udang di dalamnya. Kita harus menghargai ijtihad itu sebagai sebuah perubahan yang positif. Sebagai akibat…aduh, apa namanya itu, iya, akibat kemajuan zaman.

“Jadi, maunya abang apa?” itu akhirnya istri saya yang bertanya. Ketika saya telah berada di rumah. Dan seolah ingin disebut sebagai suami yang baik dan teladan maka saya menceritakan kepadanya perihal bakwan-bakwan yang kini tiada lagi ber-udang. Sehingga berceritalah saya kepadanya yang manis dan baik itu dengan riwayat yang panjang. Seolah-olah saat itu saya sedang berperan sebagai suami yang pengertian bahwa mau berbagi ilmu pengetahuan dengannya, si-istri. Semoga si-istri kagum dan rela mengirimkan uang ke rekening saya yang katanya bank berbasis Syariah. Tahu-lah kamu saya malas dan menghindari menabung di Bank Konvensional. Sama seperti saya yang juga malas merampok tukang becak meski ada waktu luang.

“Abang maunya Negara Israel hancur!” itu saya jawab pertanyaan si-istri tadi. Saya jawab itu di dalam hati saja. Agar nanti istri tidak menjadi bingung dirinya akibat jawaban saya kok ngelantur kemana-mana. “Abang maunya kamu!” itu saya yang jawab lagi. Lagi-lagi saya jawab itu di dalam hati. Demi nanti istri jangan tersipu sehingga bisa hilang fokus akibat perihal papatah. Maka akhirnya saya jawab menggunakan mulut kepadanya bahwa pepatah tadi harusnya segera direhab. Direvisi juga. Di amandemen juga. Di mesiumkan juga. Dan lihatlah si-istri ketika mendengar saya berkata, si-istri adalah dia yang saya perhatikan menjadi sok-sok mendengar takzim mengangguk. Seolah-olah dengan sikapnya yang begitu dia berharap agar disebut sebagai istri yang perhatian dan sayang suami.

Berkatalah saya lagi kepadanya, bahwasanya apapun itu pepatah adalah buah pikir para senior kita di zaman dahulu kala. Maka akibat bumi yang berputar maka generasi juga menjadi berubah. Sehingga generasi sekarang juga punya hak yang sama padanya untuk membikin pepatah baru yang sesuai dengan kondisi kekinian dan kebutuhan jamannya. Kini kue bukan hanya bakwan seorang, namun telah ada beribu-ribu kue baru. Bahkan bakwan-pun akibat kejahilan tangan manusia telah dikreasikan padanya bermacam ragam model sesuai dengan ke-edanan pembikinnya. Jadi, pembaharuan pepatah tadi adalah hal yang itu tak bisa dihindari lagi. Marilah generasi muda nusantara tanah air jiwa ragamu disanalah engkau berdiri. Marilah bangsa-bangsa melayu. Marilah bangsa Papua Nugini, Bangsa Kuba dan Australia sekalian. Marilah beramai-beramai kita melahirkan pepatah-pepatah kontemporer. Pepatah-pepatah baru yang modern dan merakyat!. Bersatu kita nge-rujak, bercerai kita tetap nge-rujak juga!!.

Juga hal yang tidak menang penting yang saya kira. Bahwa ketika padi sedang tumbuh di sawah maka jangan sampai anak-anak kita, juga adik-adik kita, juga sodara-sodara kita tumbuh dalam dirinya ilalang bimbang. Bimbang akibat bingung. Bingung akibat mendapati dirinya yang bertanya mengapa dipepatah itu katanya ada udang di bakwan, namun faktanya tidak ada udang, dan mereka merasa tertipu. Oh jangan sampai itu terjadi. Jangan sampai mereka mengira bahwa para tetuanya di jaman dahulu kala telah berdusta dengan membuat pepatah itu. Oh jika ini terjadi maka sungguh ini sangat tidak saya sesalkan. Sungguh, saya sangat tidak menyesal! Karena memang saya itu tadi cuma mendramatisir keadaan saja. Oh mudah-mudahan kamu sadar.

Begitu-lah. Salam Bakwan Nusantara! Mati kapitalis! Mati Zionist! Hidup tukang bakso negeriku!!



Affif Herman,
Banda Aceh 30 Juni 2011

Selasa, 28 Juni 2011

Lagi Bad Mood


(Dua hari yang lalu, sueeerrr, saya di datangi bad mood. Mau ngapa-ngapain malasnya minta ampun. Mau ngobrol2, jalan2, makan2, juga gak nafsu semua. Maka itulah perasaan badmoodnya saya coba ditumpah-tuangkan dalam bentuk puisi jadi-jadian begini...hehe)


Oh bad mood…
Sedang bad mood saya ini
Jadinya malas ngapa-ngapain
Jadinya suntuk sekali begitu


Oh bad mood,
Mengapa kamu hadir?
Mengapa kamu datang?kan tidak ada yang mengundang?
Jadi mengapa kamu kesini? Dasar nggak tau malu!


Oh bad mood,
Kamu membuat hari-hariku tidak nyaman untuk di jalani
Kamu membuat saya jadi malas sehingga disebut pemalas
Kamu, kamu dan kamu membuat saya jadi terasa jenuh begitu.


Oh bad mood,
Sungguh celakalah orang-orang yang celaka,
Sungguh terkutuklah orang-orang yang terkutuk,
Sungguh terpujilah orang-orang yang terpuji.


Oh bad mood,
Pergilah!
Pergilah!!
Pergilah!!!
Huss… huss…huss... !!

Senin, 27 Juni 2011

Lelaki-boemi: Tips Ngalahin Naga!!

Lelaki-boemi: Tips Ngalahin Naga!!

Tips Ngalahin Naga!!




cuoolook saja matanya!! hehe...

Kamis, 23 Juni 2011

Lanjutan :Episode kawan2 yang berpengaruh terhadap saya itu

Poto si-Adex, hasil nyolonk di FB

2. Indra Satria alias Adex, yang mempengaruhi saya untuk bermain gitar lebih baik.

Ini kisah lama. Kisah dimana saat itu daun-daun yang telah uzur akan turun ke bumi tanpa memakai tangga. Hujan juga selalu begitu. Embun juga turun tidak memakai tangga. Dan lain-lain. Ini cerita jaman dulu yang saya rasanya -setidaknya menurut saya sendiri hehe- masih sangat manis akibat masih SMA, akibat belum ada jerawat, akibat belum banyak tumbuh jenggot yang ternyata nyatanya malah membikin lebih keren. Yang menyedihkan cuma dulu itu saya belum menikah saja. Oh.

Saat ikan-ikan sedang asyik berenang di lautan, saat itu juga saya adalah dia anak SMA yang telah membeli gitar dengan uang jajan yang telah ditabung pada suatu tempat yang rahasia yang tidak mau kuberitahukan padamu agar tentram jiwa ini jadinya. Dan lihatlah bagaimana setelah itu saya menjadi sangat giat dan rajin belajar gitar demi sebuah cita-cita yang mulia, menjadi gitaris yang hebat aduhai. Menjadi gitaris hebat sakti mandraguna yang dapat kiranya mengharumkan nusa, bangsa dan Negara kepulauan nusantara dari Sabang sampai Meurauke, sampai Malaysia juga, Papua Nugini juga iya. Juga agar menjadi gitaris yang populer membanggakan hati keluarga dan handai taulan sanak-saudara sekampung halaman.

Anginpun berhembus menyuruh para rumput agar mau bergoyang. Begitulah, hingga sampai akhirnya waktu mengatakan bahwa saya merasa telah menjadi hebat bermain gitar gitu. Terus merasa begitu saya, sampai kalian melihat saya menjadi seolah-olah tidak terkalahkan di SMA paling ternama di Abdya, ditempat saya menyedot macam-macam ilmu selain ilmu hitam, juga ilmu merah, juga ilmu hijau.

Lihatlah genjrengan gitar saya yang garang. Hentakan kocokan yang juga mantap, disertai permainan melodi-melodi asal cepat saja. Jika memakai distorsi maka saya senang dengan soundnya yang terdengar “kotor”/rusuh, biar terdengar sangat nge-rock begitu padahal tidak. Terus begitu saya, dimana saja. Saya bergitar dimana suka, memperlihatkan kemampuan diri yang terasa ‘wah’. Sehingga tentu saja kepada diri saya didapati puja-puji yang datang bergelimang-geripah membuat hati senang gempita melayang berbunga-bunga adanya. Menjadi gitaris ternama pujaan anak muda nusantara semakin dekat waktunya. Masa depan dunia pergitaran terasa begitu cerah. Aduhai.

Namun adalah begitu selalu Allah membikin sesuatu kepada seseorang yang sudah merasa sombong dirinya, mulai tinggi hatinya, merasa besar kepalanya. Ketika daun-daun melakukan proses fotosintesis, tanpa kuketahui ternyata diam-diam ada orang yang bernama Adex yang edannya merupakan kawan satu kelas saat itu. Yang sehingga tibalah suatu waktu saya pertama kali mendapati mata yang melihat dan mendapati telinga yang mendengar si-Adex yang low profil itu memainkan gitar. Dan jika kamu tega maka lihatlah saya ketika itu yang tiba-tiba terdiam lesu karena melihat Adex memainkan gitar dengan sangat lihai, tentunya melebihi saya yang telah terlebih dahulu bergaya di depannya. Huff. Maka seketika itu juga jatuhlah sudah si-sombong ke dasar jurang, yang dibawah jurangnya kebetulan sekali ada yang sengaja menanam pohon-pohon kaktus yang sedang mekar-mekarnya berduri. Tenggelam juga si-tinggi hati ke dasar palung-palung laut yang gelap tak berujung, habis, dimakan plankton-plankton yang kelaparan. Kempis juga sudah si-besar kepala itu macam balonku ada lima yang diletuskan dengan api rokok murah merek SABAR-SUBUR yang menyala-nyala. Dan suram-lah pula dunia pergitaranku seketika, sangat menyesakkan.

Oh Adex itu adalah dia yang bermain gitar dengan sangat memakai feeling, begitu halus, detail, sederhana dan clean. Wow, terdengar bagus sekali, jauh lebih berkualitas permainannya. Berbeda sekali dengan permainan “kotor” saya yang ternyata hanyalah untuk menutupi kelemahan saya yang sebenarnya tak bisa bermain gitar dengan bersih (clean). Dan kesalnya dulu dia (Adex_red. hehe) hanya diam-diam saja. Seolah-olah dia adalah jagoan pilem India yang selalu datang belakangan untuk kemudian mengalahkan musuh-musuhnya. Amatir. Ya, amatir sekali saya. Sesak. Ya, sangat menyebalkan.

Begitulah akhirnya, ketika ikan-ikan lele bersenang-senang bermandikan lumpur, Adex secara tak langsung telah membuat sayang merenung pada malam-malam yang tak bisa tidur akibat banyak nyamuk. Melihat kembali kedhaifan diri untuk menyadari bahwa di atas langit selalu ada langit lagi yang lebih tinggi. Alhamdulillah, tidak terbersit di dalam sanubari saya yang terdangkal untuk berbuat nekad seperti meminum obat nyamuk semprot akibat kejadian ini. Juga tak terbersit di pikiran saya untuk menangis berhari-hari sambil mengurung diri di dalam kamar berpeluk akan bantal guling akibat kesal dan sakit hati. Juga lagi tak terbersit di pikiran saya untuk menjadi peminta-minta di simpang-simpang jalan akibat putus asa karena cita-cita menjadi gitaris ternama telah lenyap habis dimakan semut-semut merah di dinding. Alhamdulillah hal-hal macam itu tidak terbersit dipikiran saya.

Sejak saat itu-lah, saya-lah orang itu yang mencoba berusaha dalam sepi untuk memperbaiki kualitas diri untuk bisa bermain gitar lebih bagus lagi. Dengan masih menyimpan malu yang pahit, saya kembali coba bikin diri bermain dengan perasaan yang bagus dan senang, meski tanpa niat untuk mengalahkan Adex. Niat untuk mengalahkan kualitas permainan gitar Adex adalah hal yang sia-sia saja saya pikir, hal yang seperti itu malah hanya membuat permainan gitar kita semakin tak bagus. Menurut saya sebuah permainan gitar yang bagus itu lahir dari kenyamanan perasaan ketika memainkannya.

Meski sekarang saya tak lagi aktif bermain gitar dan latihan band seperti dahulu kala namun sebenarnya saya harus berterimakasih kepada Indra Satria alias Adex saat itu, bahwa begitulah saat itu saya menjadi dia yang mau bercermin diri dan membuat diri malu karena sombong hati. Dan sedikit demi sedikit saya belajar menyemangati diri untuk mau belajar lagi, belajar gitar lagi dulu itu. Jangan malu. Jangan lesu. Jangan begitu, belajar-lah lagi. Ah, ini menjadi sebuah pelajaran yang baik untuk saya saat itu. Begitu-lah.


Poto jaman. hehe.

(...hehe Insya Allah masih bersambung ke kawan2 yg lainnya)


Affif Herman
President dan Imam sangat Besar seumur hidup Ikatan Suami Nusantara Pemerhati Istri.
Banda Aceh, 22 Juni 2011, tiba2 jam 18.27 WIB.