Selasa, 07 Agustus 2012

Bagus Palestina


Biar keliatan keren saya sebut beliau dengan A saja. Mana tau pula ntar beliau membaca coretan ini. Kan jadinya saya nggak enak jika dipikir-pikir.

A itu datang ke Aceh setelah tsunami ‘datang’ ke Aceh. Relawan dia. Oh bukan ‘relawan’ NGO dia, ya. Kalau relawan yang itu mah ‘asyik’. Rekening relawan yang prestise begitu biasanya alhamdulillah indah dan sehat-sehat. Basah kuyup.

A ini dia relawan di salah satu ormas Islam tak populer kepunyaan pribumi di Nusantara yang kamu dan Amerika cintai ini. Yah, kalau rekening relawan yang beginian, ya gak usah digosipin juga udah tau sendiri-lah. Malah duit yang udah duluan menetap disitu harus di usir keluar dari situ. Kering.
Jadi, saya langsung persingkat saja ceritanya. Kalau ditulis terus bisa saja jadi panjang. Mengingat banyaknya perangai dan perbuatan A yang bagus untuk saya ceritain. Dari pertempurannya di salahsatu daerah di bagian timur Indonesia hingga perjalanannya sampai ke Aceh yang bukan perkara remeh temeh. Tapi tidak perlu saya tulis, karena kalau coretan ini jadi panjang saya yakin kamu menjadi pemalas. Makanya biarlah ini pendek.

Nah, singkat ceritanya, sekitar 4 tahunan lebih pasca bencana alam itu, saya –tentu ini karena takdir yang Allah ciptakan- dibikin bertemu dengan A di salah satu toko buku di Darusslam. Halah, kalian tau-lah dimana itu Darussalam, jadi gak perlu dijelaskan lagi. Buang-buang waktu saja itu.
“Assalamu’alaikum, Affif...” A tiba-tiba datang menyapa saya. Dia rupanya masuk ke toko melalui pintu. Sama seperti yang saya lakukan sebelumnya. Ini tidak aneh. 

Menjadi wajar saya terkejut dan merasa senang ketika bertemu A, soalnya sudah sekitar 1 bahkan barangkali hampir 2 tahunan kami tak pernah bertemu lagi. Sehingga menjadi wajar juga jika kami menjadi saling melempar-lempar pertanyaan tentang ini itu. Tentang perkembangan ini itu, tentang kuliah saya, tentang kegiatan ini itu, sharing tentang dunia Islam terkini, hingga hal-hal yang juga ringan bermaksud canda. Oiya, dan tentu saja tak ketinggalan ini, pertanyaan wajib para lelaki berjenggot jika bertemu, “kapan menikah, akh?”. Pertanyaan yang menyebalkan dan dijawab dengan berbagai dalih ini itu oleh yang merasa ‘terdesak’ meski di hati tetep berdoa sama Allah agar disegerakan. Halah...halah.

Setelah agak lama kami bikin diri kami berbincang-bincang, maka seolah-olah kami telah sampai pada sesi terakhir perbincangan. Beliau terdiam sebentar dan menyalami saya. Dengan senyum dia bilang dengan suara yang lebih kecil dari volum yang dia gunakan di sesi perbincangan tadi. Seolah-olah dia sedang ingin berhati-hati, padahal memang iya. 

“ Afif, mohon doanya, ya. Alhamdulillah ana tahun ini bisa berangkat ke Palestina...”

“Haaah?!! Serius, ustad? Ke Palestin?!” saya kaget, rasa-rasanya tak percaya saja ada yang kesana. Memang saya sering membaca kisah atau cerita yang beginian, tapi bertemu langsung  dan mendengar langsung dari pelakunya ternyata memang mampu membuat jantung berdegub lebih cepat dengan tiba-tiba. Apalagi kalo pelakunya ini bukan tipe pamer kesana kemari bahwa “dia-lah” yang ke Palestina.

“Insya Allah, tahun lalu ana udah daftar juga, tapi gak lewat. Tahun ini alhamdulillah bisa” A mengangguk dan dengan senyum ringan dia bilang begitu dengan tenang. Saya hanya menjawab pendek dan mengangguk iya. A minta ijin duluan, kami berpisah. Saya lihat A lagi-lagi menggunakan pintu untuk keluar. Dan itu tidak aneh. Setelah hari itu hingga hari ini saya belum pernah bertemu A lagi.

Saya tentu saja saat itu seolah-olah terlihat biasa, padahal sedang sangat kaget. Termangu. Ya Allah, jauh sekali kelasnya. Saya saat itu memang merasa minder bukan kepalang. Jadi malu, bisanya berkoar-koar kesana kemari tantang-petenteng tentang Palestina namun mendaftar untuk kesana sekalipun tidak pernah. Merepet-repet bilang cinta Palestina, tapi cintanya cinta musiman, kalau sedang heboh saja, lalu lupa. Bilang-bilang Anti-Israel ini itu, tapi justru enggan meninggalkan –minimal- produk yang jelas mendukung penjajahan mereka. Terkadang malah dengan dalih pembenaran yang dibuat-buat, jauh dari kesan seorang pejuang Islam yang teguh pendiriannya.
Ah jauh, jauh benar kelasnya. Yang satu menutup mulut sambil berlari sekuat tenaga agar bisa menginjakkan kakinya disana dan yang satu hanya sebatas koar-koar ini itu sambil diam di tempat. Bahkan lebih menggenaskan lagi hanya sebatas status-status ‘manis’ di fesbuk sambil berharap komen pujian bahwa inilah aktifis pejuang Palestina. Bah! Menggenaskan memang.

Affif, 14 Juli 2012
Lagi dikamar, lagi nunggu pagi, lagi nunggu Ramadan...