Suatu hari David Thomas, pendeta dan Profesor teologi di Selly Oak College,
Universitas Birmingham, Inggris ditanya seorang mahasiswanya yang Muslim: “Are
you happy with the Western civilization?” “No, not at all,” jawabannya tegas.
“Why?”. Tanyanya. Sebab, paparnya, Barat dan orang-orang Barat maju dan
berkembang bukan karena Kristen. Bos pabrik cokelat Cadbury, katanya
mencontohkan, menyumbang dana jutaan Poundsterling untuk membangun perpustakaan
Selly Oak bukan karena ia seorang Kristen, tapi karena ia kaya dan punya dana
sosial lebih.
Jawaban Thomas mengungkap fakta sejarah. Barat bukan Kristen. Sejarawan
Barat seperti Onians, R.B, Arthur, W.H.A, Jones, W.T.C, atau William McNeil,
umumnya menganggap “Ionia is the cradle of Western civilization” dan bukan
Kristen. Agama Kristen malahan telah terbaratkan. Thomas sepertinya ingin
mengatakan bahwa barat tidak lahir dari pandangan hidup Kristen.
Sosoknya mulai nampak ketika marah dan protes terhadap otoritas gereja.
Agama dipaksa duduk manis di ruang gereja dan tidak boleh ikut campur dalam
ruang publik. Diskursus teologi hanya boleh dilakukan dengan bisik-bisik. Tapi,
orang boleh teriak antiagama. Hegemoni diganti dengan hegemoni. Barat adalah
alam pikiran dan pandangan hidup.
Teriakan Nietzsche “God is dead”masih terdengar hingga saat ini. Dalam The
Gay Science ia mengatakan, “Ketika kami mendengar,”Tuhan yang tua itu mati,’
kami para filosof dan ‘jiwa-jiwa yang bebas’ merasa seakan-akan fajar telah
menyingsing menyinari kita”.
Kematian Tuhan di Barat ditandai dengan penutupan diskursus metafisika
tempat teologi bersemayam. Tuhan bukan lagi Supreme Being. Tidak ada lagi yang
absolute. Semua relatif. Kalau Anda mengklaim sesuatu itu benar maka orang lain
berhak menghakimi itu salah. Tuhan tidak lagi bisa diwakili. Ia telah mati.
Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Mengapa Tuhan perlu dibunuh? Kalau Marx menganggap agama sebagai candu
masyarakat, Nietzche menganggap Tuhan sebagai tirani jiwa (tyrant of the soul).
Beriman pada Tuhan tidak bebas dan bebas berarti tanpa iman. Sebab beriman
berarti sanggup menerima perintah, larangan atau peraturan yang mengikat. Barat
adalah alam pikiran pandangan hidup.
Sejarah Barat adalah sejarah pencarian “kebenaran”. Tapi mencari kebenaran
di Barat lebih penting dari kebenaran itu sendiri. Mencari untuk mencari, ilmu
untuk ilmu, seni untuk seni. Sesudah “membunuh Tuhan” Barat mengangkat Tuhan
baru yakni ‘logocentrisme’ atau ‘rasionalisme’.
Tidak puas dengan Tuhan baru, mereka mengangkat liberalisme. Namun kini
liberalisme seperti moncong bedil. Pandangan-pandangan yang tidak “setuju”
harus keluar atau berhadapan. “You are with us or against us”.
Liberalisme membawa gagasan kepelbagaian (multiplicities), kesamarataan
(equal representation) dan keraguan yang menyeluruh (total doubt). Barat kini
adalah sosok yang tanpa wajah. Atau seperti kata Ziauddin Sardar, wajah yang
tanpa kebenaran (no truth), tanpa realitas (no reality), tanpa makna (no
meaning). There is no comfort in the truth. Setting alam pikiran Barat ini
dihukumi Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah (the end of History).
Diskursus tentang God-man & God-world relation di abad pertengahan ini
sudah tidak relevan. Humanisme telah mendominasi dan menyingkirkan teisme.
Akibatnya, teologi tanpa metafisika, agama tanpa spiritualitas atau bahkan ‘religion
without god’.
Teologi (theos dan logos) secara etimologis tidak lagi memiliki akar
ketuhanan. Istilah teologi pembebasan, teologi emansipasi, dan sebagainya tidak
lagi berurusan dengan Tuhan. Agama bagi postmodernisme tidak lebih dari sebuah
narasi besar (grand narrative) yang dapat di otak-atik oleh permainan bahasa.
Makna realitas tergantung kepada kekuatan dan kreatifitas imaginasi dan
fantasi. “Feeling is everything,” kata Goethe.
Maka, inilah kata Barat: Kebenaran itu relatif dan menjadi hak dan milik
semua. Kebenaran adalah ilusi verbal yang diterima masyarakat atau tidak beda
dengan kebohongan yang disepakati. Etika harus diglobalkan agar tidak ada orang
yang merasa paling baik. Baik atau buruk tidak perlu berasal dari apa kata
Tuhan, sebab akal manusia boleh menentukan sendiri.
Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen,
Islam, Hindu bahkan jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama, namun
kesamaan hanya pada tingkat ‘genus’, bukan ‘species’. Masing-masing memiliki
karakter dan elemen sendiri-sendiri.
Jika elemen-elemen suatu pandangan hidup dimasuki oleh elemen pandangan
hidup lain, maka akan terjadi ‘confusion’ alias kebingungan. Margaret Marcus (Maryam
jameelah), malah mengingatkan jika pandangan hidup Barat menelusup ke dalam
sistem kepercayaan Islam, maka tidak ada lagi sesuatu yang orisinal yang akan
tersisa.
Benar, ketika elemen-elemen Barat yang antikristen dipinjam anak-anak muda
Muslim, maka mulut yang membaca syahadat itu akan mengeluarkan pikiran ateis.
Tuhan Yang Maha Kuasa, bisa menjadi “Tuhan yang maha lemah”. Atau, “Al-Qur’an
yang suci dan sakral tidak beda dari karya William Shakespeare, karena ia
sama-sama keluar dari mulut manusia”.
Jika umat Islam ingin maju seperti Barat maka ia akan menjadi seperti Barat
dan bukan seperti Islam. Dan suatu hari nanti akan ingat keluhan David Thomas
atau tangisan Tertulian yang sudah lapuk,”Apalah artinya Athena tanpa
Jerussalem”. Maksudnya apa artinya kemajuan tanpa didukung agama. Apa arti ilmu
tanpa iman.
-Bab I Buku Misykat, karya DR. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar