Saya punya pengalaman menarik. Waktu itu dalam suatu acara bersama para
wali murid sekolah anak saya di kawasan Aston Birmingham tahun 1998. Setelah
kenalan dengan saya, salah seorang ibu bertanya “Anda belajar apa?” Saya jawab,
“Theology”. Dia menukas: “Ups, if you
want to have a friend dont talk about religion dan politic”.
Mendengar Theology ia seperti terkejut dan menjadi tidak bersahabat lalu
meninggalkan saya. Lama saya termangu dan bertanya-tanya. Ada apa dengan agama?
Mengapa agama tidak menjadi alat persahabatan? Saya terus memendam pertanyaan
itu selama saya di Inggris.
Kini saya baru mengerti. Sensus tahun 2001 di Inggris menunjukkan
sedikitnya 15,5% penduduknya tidak beragama. Survei Kementerian Dalam Negeri
Inggris tahun 2004 menyatakan 22% penduduknya tidak percaya pada agama. Survey
yang lain menunjukkan 30-40% penduduk Inggris mengaku ateis dan agnostik, dan
65% nya pemuda.
Poling Ipso MORI bulan November 2006 membuktikan 36% penduduk Inggris
menganut paham humanisme dalam soal moralitas. Itulah sebabnya mengapa di
Inggris orang lebih banyak konsultasi ke the
British Humanist Association daripada ke pastur di gereja. Walimurid di
kisah di atas itu mungkin seorang humanis.
Humanisme ternyata seumur peradaban Barat. Istilah humanisme tercipta tahun
1808. Aslinya bahasa Italia umanista,
yang berarti guru atau murid sastra klasik. Tapi cikal bakalnya dapat dilacak
dari Yunani kuno, Romawi dan Renaissance abad ke-14. Semangat mengkaji
filsafat, seni, sastra klasik sangat tinggi. Keyakinan mereka pada kekuatan
individu dan kemampuan manusia untuk menentukan cukup kuat.
Lucunya, paham yang mencibir agama itu datang dari dalam agama. Adalah
kardinal Pelagius (354-420) yang mulai berwacana bahwa manusia punya kapasitas
untuk berkembang sendiri tanpa Tuhan. Bisa tahu baik-buruk dengan akalnya.
Mula-mula Jerome dan St. Augustine yang mengkritik. Tapi ketika Pelagius
tidak percaya pada doktrin dosa warisan (original
sin) dan menolak doktrin predestinasi
Calvinisme ia dianggap melawan gereja. Roma dan the Council of Orange tahun
529 akhirnya men’fatwa’kan ide Pelagius itu sesat. Tapi waktu itu belum ada
kelompok liberal yang membela Pelagius dan men’tolol’kan petinggi Roma, seperti
kalangan liberal disini yang men’tolol’kan MUI.
Anehnya, meski difatwa sesat wacana Pelagius terus menghiasi perjalanan
sejarah Katholik abad pertengahan, mengiringi dendang Humanisme Renaissance,
dan memotivasi Liberalisme modern. Protestan yang kata Weber memendam jiwa
kapitalisme itu langsung bersahabat dengan humanisme. Sebab worldview
humanisme, Protestan dan kapitalisme sejalan.
Perkawinan Kristen dan humanisme seperti tidak tertahankan lagi. Humanisme
Kristen (Christian Humanism) akhirnya lahir, tapi seperti ada kelainan genetik.
Teologinya diubah menjadi berorientasi kemanusiaan. Anak cucu Pelagius-pun
bermunculan.
Teolog Belanda Erasmus, pengarang Inggris dan juga penganut Katholik Roma
Thomas More, penulis Perancis Francois Rabelais, sastrawan dan cendikiawan
Itali Francesco Petrarch dan Giovanni Pico della Mirandola adalah humanis
Kristen tulen.
Zaman pencerahan dan rasionalisme di abad ke-18 serta kebebasan berpikir
abad ke-19 telah memoles humanisme menjadi berwajah modern. Pergumulan antara
agama, modernisme dan humanisme terus
berlangsung. Awalnya humanisme berteduh di rumah agama. Tapi kemudian
meninggalkan dan memaki agama.
Di Inggris perkawinan humanisme dan agama awalnya masih bisa dipertahankan.
Organisasi humanisme paling awal bernama Humanistic
Religious Association didirikan di London tahun 1853. Namun, ketika buah
perkawinan itu membesar di zaman pencerahan dan rasionalisme di abad ke-18 dan
19, ia berwajah modernis dan meninggalkan agama.
Perkumpulan humanis bernama the
British Humanist Association tidak lagi memakai sifat “Religious”. Claire
Raynes, wakil presidennya, mengaku seperti pindah rumah ketika bergabung dengan
organisasi Humanisme itu. Alasannya, dalam humanisme tidak ada intimidasi
seperti dalam agama.
Sewaktu Salman Rushdi menulis The
Satanic Verses tidak ada yang sadar bahwa agama sedang dihabisi seorang
humanis sekuler. Dalam sebuah acara Nightline
TV ABC pada februari 1989 terus terang dia nyatakan “...saya tidak percaya pada
mereka yang mengklaim tahu seluruh kebenaran dan mencoba memaksa dunia ini agar
ikut kebenaran itu.” Lebih jelas lagi dalam pernyataannya di New York Review tanggal 2 Maret 1989.
Jadi dia sebenarnya telah berada di luar agama dan menjadi humanis sekuler.
Dan melalui karyanya Satanic Verses,
“Saya mencoba memberi visi sekuler dan humanis terhadap agama besar ini
(maksudnya Islam)”, katanya dalam New York Review 2 Maret 1989. Di Barat, anak
yang telah dewasa memang berhak minggat dari rumah. Orang beragama berhak
murtad.
Di Amerika humanisme seperti anak nakal. Organisasi pertamanya (berdiri
Februari 1877) tidak sudi memakai kata “religious”. Pemrakarsanya F.C.S.
Schiller didukung oleh Charles Francis Potter dipengaruhi oleh doktrin
pragmatisme William James.
Organisasi yang didirikan Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist jelas-jelas bernama the Council for Secular Humanism.
Demikian pula Humanist Society of New
York yang didirikan Charles Francis Potter tahun 1929 juga sekuler.
Penasehatnya Julian Huxley, John Dewey, Albert Einstein dan Thomas Mann.
Ini disusul oleh kelompok-kelompok seperti the Council for Democratic and Secular Humanism dan the American Rationalist Federation dan
sebagainya. Doktrinnya filsafat naturalisme yang menolak semua supernaturalis.
Modalnya akal dan sains, alat penyebarannya adalah demokrasi. Dan semua itu
demi kepentingan kemanusiaan.
Di era globalisasi dan teknologi modern di saat mana agama kehilangan
otoritasnya, humanisme talak tiga dari agama. Fenomenanya terlihat ketika
Potter bersama istrinya Clara Cook Potter berani menerbitkan buku aneh (tahun
1930) berjudul Humanism: A New Religion.
Disinilah humanisme tidak hanya pindah rumah dan agama tapi sudah menjadi
rival agama. Ini tidak hanya mensekulerkan agama, tapi mengagamakan paham
sekuler. Inilah agama yang tidak lagi berhubungan dengan Tuhan. Tidak aneh jika
kemudian “fatwa” tentang kemanusiaan kini direbut humanisme.
Dari awal humanisme memang sudah berwatak sekuler. Tapi resmi berwajah
sekuler ketika berdiri The Council for
Secular Humanism oleh Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist. Karena sekulerisme inklusif dalam modernisme,
humanisme modern dan humanisme sekuler sama saja.
Garda depannya adalah kelompok-kelompok seperti The Council for Democratic and Secular Humanism dan The American Rationalist Federation.
Doktrinnya filsafat naturalisme yang menolak semua supernaturalis. Andalannya
adalah akal dan sains, demokrasi dan kepentingan kemanusiaan. Paul Kurtz dan
Potter mungkin sudah lama berwacana bagaimana menghabisi agama.
Babak-babak marginalisasi agama oleh Humanisme modern dan sekuler terus
berlangsung. Ketika globalisme dan teknologi modern bangkit, kekuasaan agama
jatuh. Humanisme religius-pun kehilangan watak religiusnya.
Namun watak humanisme yang sejak awal telah menggugat agama itu akhirnya
tidak dapat menutupi identitasnya. Humanisme adalah ateis. Faktanya semua
aktifis humanis tidak sungkan lagi mengklaim dirinya ateis dan agnostik. Robert
G, Ingersoll, seorang humanis sekuler terang-terangan berkata: “Kini saya yakin
hantu (ghost) dan tuhan (god) adalah mitos. Aku bebas berpikir
dan berbuat apa saja... aku bebas!”
Bagi humanis sekuler tidak perlu lagi teriak “hallelujah!” Jika ia Muslim
pasti ia benci dengan yel Allahu Akbar.
Lucunya, humanisme religius sama-sama menandatangani Manifesto Humanist I
dan II tahun 1933 dan 1973. Tapi kedua manifesto itu dihegemoni humanisme
sekuler. Sementara Humanisme Kristen sudah dikuasai oleh Unitarianisme dan Universalisme,
suatu organisasi keagamaan liberal di abwah gereja the Unitarian Universalist (UU) Amerika Utara. Kini kelompok
Unitarian yang liberal ini telah dianggap telah keluar dari Kristen.
Puncak kemenangan humanisme sekuler terjadi tahun 2008. Pemerintah Inggris
pada tanggal 8 Mei 2008 menyetujui Undang-undang Kriminal, Keadilan dan
Keimigrasian. Undang-undang itu mengandung amandemen untuk menghapus larangan
penistaan agama. Hak istimewa gereja dan agama tidak sesuai lagi dengan
masyarakat Inggris modern. Undang-undang ini benar-benar bertujuan menjaga
masyarakat beserta hak-hak mereka, dan tidak melindungi pemikiran dan
kepercayaan mereka dari kritik.
Meski demikian, buku Potter berjudul Humanism:
New Religion, masih dicibir kalangan gereja di Amerika. Mereka membuat
artikel plesetan berjudul Humanism: The
Atheist ‘s Religion! Bibelnya: Manifesto Humanism; Obyek sembahannya:
Manusia; Pendeta dan Misionarisnya: Para pendidik; Seminarinya: Guru-guru
sekolah; Gerejanya: Universitas. Mungkin “jihad”nya adalah “memerangi” agama.
Akhirnya manusia sudah bukan makhluk Tuhan, tapi hasil evolusi. Tidak ada
kehidupan sesudah mati. Prinsip hidup humanis sangat simple: makan, minum dan
kawinlah sepuasmu karena mungkin besok akan mati. Lakukan apa saja asal kamu
suka. Seks, lesbi, homo, kawin cerai, bunuh diri, aborsi, atau eutanasia adalah hak asasi dan tidak ada
yang berhak mencampuri Anda.
Cara perang melawan agama itu mudah. Manifesto
Humanism di Amerika Selatan pada 7 Mei 2005 mendeklarasikan kembali
lagu-lagu Yunani “Humans are the measure
of all things”. Jika pluralisme agama memindah pusat orbit dunia agama (world of religion) kepada satu Tuhan,
humanisme memindahkan orbit segala sesuatu dari Tuhan kepada manusia.
Tuhan bukan lagi pusat dan ukuran segala sesuatu. Salah laku dalam hal
seks, lesbi, homo, kawin cerai, bunuh diri, aborsi, eutanasia dan lain-lain kini tidak lagi diukur dari agama. “Baik
buruk,” kata Betrand Russell yang ateis itu, “Adalah kualitas milik obyek yang
terpisah dari opini kita.” Sebab, ukuran moral adalah obyektif bukan subyektif
atau normatif.
Pantas! Takbir yang diikuti dengan menjotos hidung sampai berdarah adalah
kekerasan. Tapi mutilasi tanpa takbir dianggap tindak kriminal biasa. Merazia tempat
maksiat dengan takbir demi nahi munkar melanggar HAM. Tapi, razia polisi demi
keamanan dan tanpa takbir adalah biasa. Artinya jangan bawa-bawa agama untuk
kemanusiaan, apalagi berbentuk kekerasan. Pokoknya agama dipasung agar tidak
masuk ke ranah publik dan humanisme diusung agar menjadi agama publik. Ukuran moralitas
bukan agama tapi publik. Moralis tidak harus religius.
Di sini sayup-sayup mulai terdengar Christian
Humanism kini di terjemahkan menjadi Muslim Humanis. Dengan bahasa fiqih
mereka berfatwa,”Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia, maka ukurannya
juga bukan Tuhan”. “Tujuan (maqasid) syariat lebih penting dari syariat”
artinya “Kemanusiaan lebih penting dari syariat”. “Konteks lebih penting
daripada teks”.
Tidak! Memang tidak ada yang salah dalam agama. Tapi agama telah kalah dari
Humanisme. Manusia tidak lagi untuk Tuhan, tapi Tuhan untuk manusia. Moralis
tidak selalu harus religius. Sila ketuhanan boleh jadi nantinya diganti dengan
sila kemanusiaan. Sebab, disini ilmuwannya sudah berani berfatwa,”Syariat bukan
untuk Tuhan tapi untuk manusia,” “Kemanusiaan lebih penting dari syariat”.
Kini ukurannya bukan syariat tapi insaniyah
atau basyariat. Dulu saja Tertulian
secara pejoratif mengeluh “What has
Jerusalem to do with Athens?” (maksudnya, apa gunanya agama bagi akal). Mungkin
keluh kesah Tertulian itu akan berubah begini: Apa yang bisa dilakukan agama
jika semua demi manusia?
Kini waktunya kita menyoal diri (Muhasabah),
apa gunanya agama jika kita hanya ingin surga (dunia)? Apa gunanya qalbu jika syahwat sudah menggebu? Saya
akhirnya paham mengapa penganut humanisme itu tidak bisa ngopi bersama sambil bicara agama dan Tuhan. Karena mereka telah
merasa jadi Tuhan.
-Copas dari buku MISYKAT, DR. Hamid Fahmy Zarkasyi-