Sabtu, 14 Agustus 2010

Evennya Para Lelaki Beriman!

(Ketika si-“Anu” Dipancung!!)

Jalannya agak sedikit mengangkang dan terlihat sangat berhati-hati. Inipun hari pertama ia kembali masuk sekolah, setelah sekitar 10 hari absen dari rutinitasnya sebagai eksekutif beringus di salahsatu kantor bernama “Sekolah Dasar” di Republik ini. Di buku absensi kelasnya pun tertulis inisial “S” pada baris namanya yang menunjukkan ia didakwa “sakit” selama 10 hari. Meski jalannya agak lambat-terseok mengangkang, dengan muka yang sesekali terlihat seperti menahan perih, tetapi senyum dan sorot mata perjaka itu terlihat begitu sumringah. Bangga. Dari rautan wajahnya terlihat ia layaknya baru mendapatkan mendali emas di olympiade di Yunani pada seluruh cabang olahraga yang dipertandingkan. Amboiii lagaknya itu, jika saja ia salah bersikap dan berkata, bisa-bisa ia jatuh kewilayah congkak. Tapi ia masih dibatas perangai “bangga” yang wajar dan diizinkan.

Ketika ia memasuki pintu pagar sekolah setiap perjaka berseragam Merah Putih yang juga masih beringus pun ramai mendekati dan berebut menyalaminya. Ada juga yang menciumnya, memeluk sambil menepuk-nepuk pundaknya, tak lupa ada yang menitikkan air mata pertanda syukur-bahagia yang tak kepalang. Tak ketinggalan, para perawan berponi -dan masih beringus- yang acapkali berkumpul di sudut-sudut taman sekolah memandang-lirik ke dirinya sambil berbisik-bisik dengan kaumnya. Perangai mereka persis seperti emak-emak ketika menggosipi artis-artis yang bercerai muda. Tak lupa sesekali gerombolan perawan ini cekikikan setengah berbisik sambil ekor matanya tetap mengarah ke si perjaka tadi. Ya, si perjaka itu sebenarnya sih agak grogi-an, tapi ia tetap tegar dan percaya diri melangkah ke kelasnya. Ia berkata menyemangati dirinya, “tak ada yang perlu dikuatirkan lagi, karena aku telah disunat!!” . aiih,..ckck

Ah kawan, maaf kalau kali ini aku langsung berbacot-ria tanpa bermukaddimah terlebih dahulu. Aku tak sabar ingin menggambarkan sekilas seberapa bangganya kami, kaum lelaki beringus kampungan, setelah berhasil melewati salah satu perhelatan akbar dan even terbesar sebagai lelaki ketika hidup di dunia ini. Even Pemancungan si-“Anu”!.

Ya, Itulah perhelatan luarbiasa yang membuat mata kami ketika itu tak bisa dipejamkan dengan nyenyak selama berbulan-bulan. Even yang paling kami rindukan dan sekaligus paling kami takuti sebagai anak lelaki saat itu.

Paling dirindukan, pertama, karena ia adalah ajang pembuktian yang besar dan agung bahwa kami adalah pengikut Nabi akhir zaman yang mulia itu. Kedua, untuk menunjukkan kepada orang-orang sekampung bahwa kami kini berhak meraih gelar “lelaki tulen” di kehidupan sosial dalam bermasyarakat dan bernegara. Sehingga tentunya kami berhak mencalonkan diri untuk menjadi anggota dewan atau asisten Ketua Lorong. Ketiga, dirindukan karena ketika di hari puncak acara maka akan berdatangan berbagai macam hadiah dari sanak sodara dan handai taulan. Tak lupa Ayah-Bunda pun berjanji akan memberikan paket hadiah yang lebih besar dari biasanya, seperti; 1 unit sepeda Federal, seperangkat alat Game bermerek canggih Nittendo, Sepasang sepatu Baru bermerek ATT, dan tak lupa kucuran Rupiah untuk jajan yang menggiurkan!.

Disisi lain, even ini juga merupakan ajang pembuktian akan keberanian dan mental, apakah kami siap menjadi “Lelaki” atau tidak. Titel “Lelaki” inilah yang selanjutnya juga akan menegaskan bahwa kami sudah diizinkan utk memelihara kumis, memakai celana panjang, membeli rokok, makan Gulai Kepala Kambing, maen batu dirumah kenduri, dan begadang berkumpul bersama perjaka-perjaka lapuk di warung kopi. Amboiii!!Bagaimana mungkin kami tidak rindu untuk mendapatkan titel “lelaki” dengan segudang fasilitas dan kemudahan hidup di kampung itu? Maka, kuncinya cuma satu, ya itu tadi “Anu”mu harus siap dipancung di depan khalayak!! Alias disunat!! Jika menurutmu ini biadab, maka menurut kami itu adalah kebanggaan!,..*hehehe*

Sunatan. ya, inilah nama even pemancungan yang terkesan sadis namun bermartabat itu. Yang dalam istilah agama disebut Khitanan atau sering kita dengar dengan istilah sunat Rasul. Ow, pastilah kau telah atau sangat mengenal perbuatan ini. Aku malu jika kau yang mengaku sebagai “lelaki” tetapi tidak tahu apapun tentang Even Pemancungan ini. Mohon jangan lagi kau menatapku hingga kau mencari tau masalah ini. Pergilah,.huss,..huss,..

Sunatan, kawan, merupakan salah satu perintah Nabi kita yang termasuk dalam sunnah fitrah, yang didalamnya juga terdapat seperti; memotong kuku, merapikan rambut dan lain-lain-lah. Ini juga merupakan bentuk penyucian diri, terlebih lagi yang akan memasuki area usia balig. Melihat dalil-dalil yang ada mayoritas ulama kitapun berpendapat wajibnya sunat (khitan) ini kepada lelaki umat nabi Muhammad yang mulia, seperti kau dan aku. Tak terkecuali.

Secara medis, sunatan juga dianjurkan oleh orang-orang pintar yang bergelar dokter. Kata mereka sunatan bisa menghindarkan diri dari berbagai infeksi penyakit. Aku sebenarnya ingin sekali menuliskan jenis-jenis penyakit itu padamu, tetapi apa daya kawan, aku sungguh tak paham. Nama mereka aneh-aneh. Entah mengapa orang-orang pintar tersebut memberikan nama-nama penyakit dengan nama yang susah dan sukar diucap apalahmanalagi untuk diingat. Namun jikalau kau memang terlalu dikuasai nafsu ingin mengetahui jenis-jenis penyakit tersebut maka kusarankan untuk mencari ke pustaka umum atau ke Datuk Google saja. Aku tak mau direpotkan olehmu.

----00----

Di kampung, Ayah Bunda kami akan mewacanakan isu ritual pemancungan ini kepada anak-anak perjaka kesayangannya 2 atau 3 tahun sebelum eksekusi itu terjadi. Ini bermaksud agar kami segera mempersiapkan diri; yang didalamnya termasuk persiapan fisik, mental dan keberanian. Maksud lainnya lagi adalah bahwa orang tua kami ingin memberikan sinyal pertanda.

“Kau sekarang sudah besar nak, hah, kau jaga-jagalah akal-perangaimu itu”.

Apa maksud perkataan Ayah-Bunda kami itu sebenarnya?nah, ini bermakna bahwa perjaka yang sudah diijinkan “anu”nya di pancung berarti ini salah satu pertanda ia akan memasuki usia balig.

Usia balig bermakna pula bahwa mulai saat itu seluruh amal perangainya telah sah dicatat oleh malaikat yang ditugaskan Tuhan di samping kanan-kirinya itu. Cacatan itu bermakna pula bahwa seluruh perangai-perangai kami akan dievaluasi untuk dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan kelak. Dan seolah-olah Ayah Bunda kamipun melanjutkan pesannya.

“Hah, kalau buruk perangai-lakumu maka buruk pula nasibmu dibalas Tuhan. Apa kau mahfum??”.

Aiih, aku mahfum, pantaslah Ayah bunda kami itu begitu mewanti-wantikan perjaka-perjakanya yang biadab ini agar berhati-hati dalam hidup.

Pasca wacana pemancungan itu diperdengarkan didepan kami, maka saat itulah masa penantian yang membahagiakan, menegangkan sekaligus menakutkan berputar-putar dalam pikiran. Bahagia karena akan mendapatkan fasilitas-fasilitas yang “wah”. Dan menakutkan karena “anu” akan dipenggal didepan mata sendiri. Ah habislah.

Orang tua pun, khususnya sang Ayahanda sebenarnya bangga minta ampun untuk melaksanakan perintah Nabi ini. Mereka akan mempersiapkan dan mendanai apapun itu agar even pemancungan untuk bujangnya ini terlaksana dengan sukses sentosa.

Ayah-Bundapun tak masalah tiba-tiba harus menjadi nyinyir untuk memberitahukan keseluruh sanak-sodara, handai taulan, fulan-fulanah dan orang sekampung. Bahkan mereka tak sedikitpun meminta bantuan kami yang bakal jadi bintang utama yang “anu”nya dipancung di even ini. Seolah mereka berkata kepada kami,”ah, tak perlu kau turun tangan nak, siapkan saja dirimu sendiri”. Aiih, aku pun menelan ludah. Gelisah.

Kebanggaan kami anak-anak kampung yang bakal jadi korban di even ini terlihat dari acara kenduri (walimah/perayaan) yang diadakan. Bayangkan saja, hanya untuk pemancungan “anu” maka harus dikabarkan ke warga sekampung! Memang ada beberapa ulama kita yang berpendapat bahwa walimah khitanan tersebut tidak perlu (tidak diwajibkan). Apalagi jika keluarga yang perekonomiannya masih centang-perenang tentu ada hal lain yang lebih prioritas. Namun, Ibnu Taimiyah berpendapat mubahnya acara kenduri even pemancungan tersebut diadakan, jika semata-mata didasarkan untuk menampakkan kegembiraan serta mengundang orang lain dalam kegembiraan tersebut. Mantap bukan main.

Di sekolah, mendekati hari H pemancungan, dikalangan elit dan faqihnya anak-anak SD biadab ini sering terjadi perdebatan yang alot dan panas di kelas. Korban yang akan disunat didudukkan ditengah-tengah forum. Wacana utama yang menjadi bahan musyawarah kami itu adalah siapakah yang orang yang lebih tepat menjadi algojo pemancungan ini. Algojo yang terpercaya dan aman. Steril dan berakhlak mulia.

Biasanya korban yang akan dipancung anunya cuma diam dan takzim mengikuti diskusi yang diisi dengan adu argumen dan interupsi tak beretika di forum itu. Di forum musyawarah ini ada yang bermahzab lebih baik menggunakan dokter sebagai algojo dengan basis logika kesterilan dan keunggulan menggunakan obat bius dalam eksekusi.

Mahzab dokter ini juga memberikan argumen bahwa alat yang digunakan dokter lebih modern sesuai dengan perkembangan zaman. Dan penggunaan obat bius sangat menolong tentunya.

Salah seorang pembicara yang juga alim dari mahzab ini angkat bicara.

”Tuan-tuan yang saya muliakan, ini masalah masa depan!, sangat urgen. Kita tak bisa main-main!! Alat yg digunakan harus yang steril, aman dan harus produk termutakhir yang punya legalitas dari sisi medis! Dan digunakan oleh orang yang berpendidikan tinggi.” Ia sengaja menahan kata agar orang lain diam menyimak.

“Penggunaan Bambu untuk memancung “anu” jelas tak lagi relevan dan sangat puritan di jaman sekarang!! Kalau begini terus kapan kita bisa maju dan tercerahkan, hah?! Harap Tuan-tuan camkan itu, terimakasih.”

Ia pun duduk diiringi anggukan kuat penuh takzim dari pengikut mahzab dokter lainnya. Pengusung mahzab dokter ini biasanya memang berasal dari kalangan elite di kelas. Elit dari segi akademik dan perekonomian orang tua-yang rata-rata pegawai setia pemerintahan-.

Salah seorang elit dari mahzab yang berbeda tiba-tiba berdiri ngotot. Ia berteriak-teriak hingga urat lehernya terlihat. Ia pitam mendengar ocehan Pemuka mahzab dokter diatas tadi.

“Interupsi ketua, interuuppsiii!!” Belum sempat pimpinan sidang terkejut dan mempersilahkannya untuk berbicara, ia langsung berbual.

“Sodara-sodara,..dukun is de best!!,.kenapa??,..why dukun best hah??,.apa kau tahu kenapa the best, hah??..karena,..karena,.karena dukun itu the Best!”. Aiih, jelas sekali ia tak siap dan cuma terbakar syahwat untuk berbicara. Bahasa bule-pun ia pergunakan se-enak lidahnya berputar.

Ia mulai sedikit gagap.

Peserta forum melongo-bimbang apakah perkataannya perlu dianggukkan, ditepuk-tangankan atau ditertawakan sambil berguling-guling megang perut? Agar tak terlalu garing si-elit yang ternyata bermahzab Dukun itu melanjutkan.

” Sodara, tuan-tuan terhormat. Dulu dukun-lah yang telah memancung “anu”nya bujang-bujang yang telah menjadi bupati, bapak guru, kepala dinas dan bapak-bapak kalian sekarang!! Lihatlah, hingga kini mereka masih hidup dan beranak pinak, bahkan sukses. Hah, itu hasil pancungan dukun tuan-tuan! Apa kau, kau, dan sodara-sodara sekalian masih ragu dengan argumen tercanggihku barusan, hah?!

Ia pun menggantungkan pertanyaannya seolah menunggu jawaban.

“Alamaak, mengapa kalian tak pula paham-paham dan susah menerima kebenaran,hah?!Bertobatlah kalian, bertobatlah!.” Ia menggeleng-geleng kepala seolah habis kata untuk membujuk panganut mahzab dokter kepada kebenaran. Menurutnya para penganut Mahzab dokter bodoh sekali. Bebal.

Ia kembali duduk diiringi tepuk tangan pendukung mahzabnya. Tak ketinggalan ada kacung-kacung yang berebut mencium tangannya. Parah memang.

Mahzab yang kedua ini memang mengambil pendapat bahwa algojo yang terbaik dan tak habis-habis dimakan zaman adalah Dukun Sunat. Mereka berpendapat bahwa disini “Kampung” dan bukan Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, sehingga kita harus menghargai kearifan lokal yang masih menggunakan dukun Sunat. Dan dukun Sunat adalah juga bagian dari budaya kampung yang harus dilestarikan dan dipertahankan.

Pengalaman bertahun-tahun telah membuat pemancungan oleh Dukun Sunat juga berlangsung cepat, sigap dan tepat sasaran. Tak perlu ada kekuatiran disini. Tak perlu obat-obat bius.

Dari pandangan para ekonomnya mahzab inipun berpendapat, bahwa menggunakan dukun adalah salahsatu bentuk untuk menghidupkan perekonomian sektor Riil dan untuk menghindari dominasi Negara-negara maju yang memproduksi alat-alat dan obat-obatan yang digunakan dokter. Aku tak tahu, entah mereka sadar dengan apa yang mereka pikirkan.

Kegaduhan Musyawarah Istimewa anak-anak kampung ini biasanya berhenti dan putus dengan sendirinya ketika Bel jam istirahat meraung-raung. Dengan polos dan bego mereka kembali masuk ke kelas masing-masing. Setelah jam sekolah usai mereka pulang kerumah masing-masing dan bermain. Entah kemana hilangnya perdebatan-perdebatan panjang di forum Musyawarah tadi. Entahlah, aku sungguh tak tahu apa yang mereka pikirkan. Hancur memang.



(bersambung dah,..)


Lelaki-Boemi/Affif, Kajhu, 08:00 WIB, 09 Juli 2010

1 komentar:

  1. terserah apa kata predebatan itu.........
    yang jelas aku sebagai lelaki merasa banga akan peristiwa sakral itu....

    BalasHapus