Rabu, 20 April 2011

Malin Kundang dan Juliet

Poto Pantai Air Manis


Adalah itu suatu waktu di Provinsi Sumatera Barat yang konon kata para tetua terjadi sangat dahulu kala. Jika mau lebih detail biar kelihatan keren maka itulah tempat yang entahlah siapa yang memberi nama dengan nama panggilan daerah Pantai Air Manis, di sebelah selatan kota Padang, Sumatera Barat. Jika ada yang begitu lancang memberi nama ‘pantai’ maka pastilah di daerah itu merupakan daerah yang punya laut yang biru indah bak rembulan yang dibelah dua dengan pisau silet merek ternama. Oh permisalanku sungguh tak nyambung tapi biarlah, toh tiada berdosa.

Di daerah pesisirnya tidaklah mati satu keluarga miskin yang sangat mengagumkan miskinnya, memprihatinkan malah. Lihatlah itu baik-baik, rumah keluarga pesisir itu, atapnya adalah sebuah produk atap yang terbaru dan termutakhir di jaman itu. Ya itulah dia, atap yang terbuatlah dia dari anyaman daun Ijuk yang dikeringkan dan dianyam dengan rotan yang dibelah-belah sehingga jadilah seperti benang yang kokoh, yang lebih populer dengan nama Atap Rumbia.

Dan lihatlah dinding rumah itu, ya, dia memiliki estetika natural yang sangat menyatu dengan alam atau lebih sopan jika disebut berlubang disana-sini. Dinding ini memberikan porsi yang lebih besar pada fungsi sirkulasi udara segar agar lebih banyak yang keluar masuk, sehingga rumahpun terasa sejuk menyehatkan. Jika dipandang-pandang ternyata dinding rumah ini juga memiliki warna yang nyaman dipandang mata, efek selang seling berbentuk seni rajutan lokal sungguh suatu hal yang menakjubkan. Ya, tak lain tak bukan, dinding anyaman bambu kering nama merek dagangnya dan popular sekali di kalangan masyarakat pesisir saat dahulu yang kala itu.

Marilah kita lihat sedikit lagi, itu, pembagian ruangan pun cukup sederhana, kamar utama 1 buah dan dua buah kamar selanjutnya yang khusus di desain menurut standar syariat jika mereka nanti memiliki anak permpuan dan anak lelaki. Sehingga apa? Sehingga mudah jika dilakukan pemisahan kamar antara anak perempuan dan laki-lakinya jika telah memasuki usia baliq. Oh keren.

Lantai rumah ini lihatlah, tak segan menerapkan konsep kearifan lokal masyarakat setempat, yakni lantai tanah pasir laut alami yang dipadatkan sekenanya saja. Ini barangkali merupakan bentuk ekspresi kehidupan sosial mereka yang baik. Toh mereka berpendapat di masa Rasul lantai mesjidnya saja juga dengan tanah, dan tanah jelas bukan najis yang harus ditakuti. Oh bertuah benar.

Keluarga ini baru memiliki satu orang anak lelaki yang diberi nama Malin Kecil-kecil sUka makaN renDANG, yang disingkat dengan Malin Kundang. Akibat mengapa bernama demikian, karena sejarah berkata ketika dia yang bernama Malin sesaat baru dilahirkan kebetulan ada tetangga mereka yang mengadakan walimahan sehingga dikirimkanlah sebagai bentuk ukhuwah sesama tetangga masakan daging rendang yang kiranya langsung dilahap oleh siapa itu namanya, hm, ya, si-Malin bayi.

Katanya yang entah siapa itu yang berkata begini bahwa Malin Kundang adalah anak yang rajin, yang pintar dan yang nakal. Padahal dulu belum ada sekolah dasar juga dinas pendidikan, sehingga bagaimanakah mereka menerapkan standar dan indikator kerajinan dan kepintaran Malin? Entahlah, tak usah kita pikirkan karena akan sia-sia belaka.

Aktifitas Malin di pagi hari dimulai dengan belajar ini-itu bersama ibunya, dan setelah itu bermain mengenal alam sekitarnya. Dia itu, iya, maksud saya Malin itu sering menyelam untuk menombak ikan di laut seolah dia adalah anak pesisir laut, padahal iya. Sering juga Malin ke rawa-rawa di dekat kawasan pesisir untuk menangkap ikan lele seolah-olah dia tidak takut dengan ular-ular di rawa, padahal sebenarnya dia takut. Malin juga pernah terjatuh dari karang akibat bermain sehingga karang memberinya luka di lengannya sebagai hadiah gratis dari karang yang seolah-olah ecek-eceknya sedang promo hadiah berbentuk luka. Setelah shalat zhuhur berjamaah di surau kampungnya ia bersosialisi dan mejeng dengan teman-teman sekampungnya hingga menjelang magrib. Malamnya dia sibukkan dirinya dengan belajar mengaji dan menyetor hafalan Qur’an kepada ayahnya. Begitulah kehidupan masa kecil Malin kecil-kecil suka makan rendang a.k.a Malin Kundang itu.

Kondisi keuangan keluarga yang semakin berat membuat ayahanda Malin memutuskan menjemput rejeki ke negeri seberang yang maksudnya seperti menyeberang jalan. Tentu Malin dan ibundanya bersedih hati atas kehendak maksud hati ayahandanya yang ingin mengarungi lautan luas ecek-eceknya demi menghidupi mereka padahal mereka tahu yang menghidupi mereka adalah Allah. Namun maksud ayah Malin adalah mencari duit, bukan mencari ‘nyawa’ untuk memberi ‘hidup’ pada Malin dan ibunya.

“Cinta, Kanda titip Malin ya. Sabar dan doakan saja Kanda agar selamat dan sehat...” Begitu perkataan ayah Malin kepada istrinya pada malam terakhir sebelum keberangkatan, mirip perpisahan gitu. Setidaknya begitu yang tertulis dari manuskrip fiktif yang tidak saya baca.

Namun begitulah bumi ini Allah desain, ia terus berputar tak henti-henti apalagi capek, sehingga apa? Sehingga waktu juga terus berubah dan tak berhenti-henti. Waktu yang jika dihitung-hitung terkiralah lamanya sudah sejak kepergian ayah Malin. Sehingga didapatilah diri ibunda Malin yang berusaha menempatkan diri pada posisi sabar dan pasrah yang tiada bertepi. Begitu lemah hati, begitu rapuh hidup, begitu tak terduga apa-apa yang terjadi di bumi ini. Ayah Malin tak pernah kembali. Hilang di telan birunya laut yang dari jauh terlihat sangat indah itu. Dan itu lihatlah, hampir saban sore di saat matahari ingin bersembunyi akibat malu sama malam yang ingin datang, ibunda Malin hanya menatap nanar ke arah dermaga, ke arah laut yang biru tertindih warna kekuning-emasan matahari yang sedang malu-malu itu. Meski telah bertahun-tahun suaminya tak kembali namun ia masih saja berharap rindu berbentuk doa kepada Rabb-nya. Rasanya pedih sekali, namun ia berusaha agarlah tegar bahwa percaya ada hikmah dibalik takdir yang Allah beri kepadanya. Oh.

Ibunda Malin-lah yang itu, lihatlah, menggantikan posisi ayah Malin. Maksud saya bukan ibunya Malin menjadi lelaki seperti ayah Malin, tetapi maknanya yaitu ia menggantikan suaminya dalam mencari nafkah. Ibunya berbanting tulang memeras keringat. Malam dan pagi hari ia tetap mendampingi Malin belajar dan juga menyemangati Malin agar rajin-rajin. Ia saban hari menyemangati Malin meski ia sendiri tak bersemangat lagi. Sebelum tidur pun ia sempatkan berbagi cerita dengan Malin dan mengecup kening Malin yang hobi ngompol itu. Meski tanpa ayah ia berharap Malin terpenuhi haknya akan agama, pendidikan, kasih sayang dan ekonominya. Oh ibunda Malin memang tak sembarang orang.

Namun lagi-lagi begitulah bumi ini Allah bikin, ia terus berputar tak henti-henti apalagi capek mengeluh. Sehingga apa? Sehingga waktu juga terus berubah dan tak berhenti-henti. Waktu yang jika mau dihitung-hitung maka terkiralah lama sekali, sehingga Malin telah menjadi baliq dan mulai memahami mengapa kerut di wajah ibunya semakin banyak. Mengapa telapak tangan ibundanya mengeras seolah bagai telapak tangan nelayan penarik kapal. Sehingga ia mulai mendapat titik terang mengapa lingkaran di sekitar bola mata ibundanya mulai mencekung dan hitam. Sehingga ia berusaha mencoba membuka memori otaknya untuk mencari kapankah terakhir kali ibunya tertawa bahagia, dan ia tak menemukan data tentang kapan ia melihat ibunya tertawa bahagia sejak kepergian ayahnya yang sangat dahulu itu. Sehingga ia sadarlah sudah bahwa air matanya adalah air yang saat ini tiada ia bisa bendung-bendung setelah shalat dhuhanya yang sendiri. Bahwa ia kini tergolonglah kedalam golongan yang merasa begitu sayang dan iba pada ibunya itu.

Maka Malin adalah dia yang memutuskan akan merantau katanya. Ia tidak mau disini terus membebani ibundanya terus. Ia akan berlayar seolah-olah seperti pelaut, padahal bukan. Ia mau mencoba menjemput rejeki di bagian bumi Allah yang lain.

Jelas-lah sekali ibundanya tidak setuju mengingat kepergian kekasihnya dahulu yang tiada kembali. Namun Malin membicarakannya dengan lembut, perlahan dan baik-baik kepada ibunya itu, yang sedang lagi-lagi melihat laut dari sudut jendela rumah mereka, seolah ada yang sedang ia ingat. Ia meyakinkan ibundanya bahwa Insya Allah ia akan kembali.

Namun begitulah perangai seorang ibu asal kau tahu. Ia selalu merasa bahwa tak apa ia yang bersedih asalkan anaknya yang berbahagia dengan pilihan hidupnya. Terkadang ia melarang dan tak suka bukan karena kiranya benci, namun justru ia-lah yang paling merasakan kekuatiran yang besar akan apa yang terjadi pada anaknya. Ibundanya akhirnya dengan rela mengijinkan Malin merantau untuk melanjutkan hidup. Ia iringi kepergian Malin dengan doa yang begitu baik kepada Allah penguasa semesta ini. Sungguh ia sadar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa, sungguh Allah-lah pengatur seluruh kehidupan, tak ada yang lain.

------------------------------------------------

Malin Kundang ikut dan menumpang pada kapal para saudagar-saudagar dari berbagai negeri di sepanjang pulau sumatera. Dan juga ia banyak bertanya ini itu tentang suatu negeri, tentang ilmu dagang dan juga tentang ilmu pelayaran.

Saya singkat cerita supaya jangan terlalu panjang yang membuat saya capek ngetik. Sehingga sampai-lah Malin di suatu negeri yang bernama Verona, yang entah mengapa berada di Negara Italia. Salah satu kota yang indah dan sibuk tentunya. Disinilah Malin memulai usaha dan kariernya. Mulai dari menjadi buruh, pegawai restoran, kerja di salon dan hingga akhirnya ia bisa membuka warung kecil-kecilan yang menyediakan makanan khas masakan Padang. Malin memberi nama warung padangnya dengan nama “JASA IBUNDO”. Modal warung yang sederhana itu dia peroleh dari hasil bayaran pekerjaannya selama ini yang ia tabung. Disana ia menabung di bank-bank yang berbasis syariah, mengingat ia begitu menghindari bank konvensional yang menawarkan sistem transaksi ribawi. Malin memang berusaha sekuat yang ia mampu untuk menghindari bank-bank yang berbasis riba agar harta yang ia peroleh tetap berkah.

Setiap malam dan setelah shalat shubuh di mesjid Malin rajin menambah ilmu agamanya dengan mengikuti halaqah ilmu di mesjid-mesjid di kota Verona. Dia sudah membuat jadwal untuk setiap kajian yang ia ikuti, mulai dari kajian-kajian fiqih, hadits, tafsir atau shirah Nabawiyah. Ia sangat bersemangat dan berusaha keras.

Ia begitu antusias belajar dan bertanya tentang sesuatu yang ia tak pahami. Sehingga diam-diam rupanya dibelakang sana, seorang perempuan berjilbab mulai memperhatikannya. Muslimah ini mulai mengenal Malin karena sering melihat Malin hadir di kajian-kajian sejenis ini. Muslimah ini bernama Juliet dari keluarga baik-baik dan terkenal di Verona bermarga Capulet.

Juliet gadis yang baik serta berwawasan luas. Ia sebenarnya sedang dikejar-kejar oleh bujang yang menurutnya tak tahu adab kepada permpuan. Bujang tak tahu diri itu bernama Romeo dari keluarga yang juga terhormat di Verona, keluarga Montague. Bahkan Romeo ini sering menyusup ke rumahnya dan naik ke jendaela kamar Juliet. Jelas Juliet marah dan sering menyiram Romeo pake bensin. Juliet tak habis pikir mengapa Romeo sebegitu tak sopannya padahal dia berasal dari keluarga terhormat, jika mau silaturrahim mengapa harus nyusup-nyusup melalui jendela kayak maling ayam. Tak bisakah ia bertamu baik-baik melalui pintu depan dan mengucapkan salam kepada keluarganya.

Romeo pernah melamar Juliet, namun Juliet menolaknya setelah berbagai pertimbangan dan shalat isthikarah. Menurut informan Juliet yang terpercaya, yang juga merupakan sepupu Juliet yang bernama Tybalt, bahwa Romeo adalah orang yang tidak menjaga shalatnya dan juga rada-rada playboy. Tybalt ini cukup mengenal Romeo karena merupakan teman se-organisasi Pemuda di Verona.

Namun Romeo tidak menerima, karena ia merasa harga dirinya yang entah ganteng, terhormat dan kaya-raya terinjak-injak. Sehingga ia melamar lagi, namun Juliet tetap menolak. Tak terima lagi, ia melamar Juliet lagi, dan tetap di tolak. Masih tak terima, Romeo melamar lagi, dan tetap saja di tolak. Berulang-ulang Romeo melamar, dan berulang-ulang pula ia ditolak. Romeo stress dan nggak habis pikir, ia pun membotaki rambutnya dan mengasingkan diri ke wilayah pegunungan di Thailand, bertapa. Sejak saat itu kabar Romeo tak lagi terdengar di Verona. Keluarga besar Montague juga tak merasa kehilangan, mereka membiarkan kepergian Romeo ke pedalaman Thailand tanpa berat hati.

Nah, kehadiran Malin sebenarnya momen yang sangat tepat karena pada saat itu Juliet memang sudah berniat untuk mencari pendamping hidup. Makanya ia tertarik setelah beberapa kali melihat Malin hadir di pengajian dan berdiskusi bersama ustad-ustad disana. Juliet tidak mempermasalahkan ras Malin yang berbeda. Malin berasal dari salahsatu bangsa di benua Asia dan ia jelas berbangsa Eropa. Namun hal ini tak menjadi masalah baginya, ia pikir agama harus menjadi alasan yang paling baik untuk memutuskan siapa pendampingnya.

Saya singkat lagi ceritanya supaya jangan terlalu panjang yang membuat saya capek. Entah bagaimana caranya Malinpun berta’aruf dengan Juliet. Juliet didampingi Ayahnya, Capulet, dan Malin di damping oleh salahsatu ustad yang ia kenal di Verona. Juliet juga sudah mendapatkan info dari Tybalt sepupunya bahwa Malin adalah seorang pemilik warung makan khas masakan Padang yang shalat berjamaahnya terjaga dan baik budinya. Bacaan Qu’annya juga bagus kata Tybalt, namun jika tidur si-Malin ini masih suka ngorok dan mengigau. Oke, Juliet untuk sementara sudah oke.

Saat proses ta’aruf, meski malu-malu, mereka saling bertukar pendapat tentang visi-misi yang akan dibangun jika nanti jadi berkeluarga. Malin yang awalnya minder karena mengetahui kondisi diri juga terang-terangan menjelaskan kondisi ekonominya dan ibundanya yang jauh di kampong sana. Ia tak mau nanti jika Juliet merasa ia bohongi sehingga membuat luka hati pada Juliet. Saat ini jujur adalah perihal yang terbaik. Alhamdulillah, Juliet tak mempersoalkan hal tersebut termasuk ayahnya, Capulet. Dan lihatlah itu Malin, yang menjadi begitu bahagia hatinya.

Namun lagi-lagi begitulah bumi ini Allah bikin, ia terus berputar tak henti-henti apalagi sampai jenuh dan mengeluh. Sehingga apa? Sehingga waktu juga terus berubah dan tak berhenti-henti seperti siang dan malam yang terus berganti-ganti. Dalam waktu yang tak lama Malin-pun menikahi Juliet di Verona. Malin mengirimkan kabar perihal pernikahan ini kepada ibundanya yang jauh disana. Karena menurut syariat bahwa sah nikah meski pihak lelaki tidak dihadiri oleh walinya, karena syarat wali itu sendiri berada di pihak perempuan maka pernikahan segera dilanjutkan dengan acara walimahan yang sederhana. Malin dan Juliet pun sah menjadi suami istri, mereka memulai perkara yang baik dengan hal-hal yang baik, sehingga semoga mereka mendapakan kebaikan dari pernikahannya. Di sisi bumi yang lain pada saat yang sama Romeo yang botak sedang berebut makanan dengan monyet karena kelaparan. Dan dia dikeroyok oleh monyet hingga menyerah. Pertapaannya terganggu oleh para monyet yang lapar.

Dengan Juliet kini disampingnya Malin semakin gigihlah dalam berkeja seolah-olah ia sedang mencari perhatian Juliet. Malin juga tambah rajin menuntut ilmu. Hingga beberapa tahun kemudian warung Padang Malin semakin membaik dan ia-pun mulai membuka beberapa cabang warung dan rumah makan diberbagai sudut kota Verona. Bukan sembarang, kini Ia pun mampu membeli kapal dan menggaji hampir 40-an awak kapal di dalamnya. Namun yang perlu menjadi cacatan bahwa Malin dan Juliet tetap hidup dalam kesederhanaan, tak berlebihan pamer kekayaan ini itu. Malah, Malin dan Juliet lebih sering menggunakan sepeda berdua kemana-kemana.

Setelah merasa cukup tinggal di Verona, dan biar kisah ini cepat habis maka Malin memutuskan untuk kembali ke pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat. Saat itu ketahuilah oleh kalian bahwa Malin dan Juliet telah dikaruniai seorang anak perempuan comel yang telah berumur 3 tahun yang diberi nama Veronawati Kundang.

Dan setelah persiapan sekitar 1 minggu maka beramgkatlah Malin dan Juliet Kundang beserta seluruh kru kapal bertolak menuju Pantai air manis, Sumatera Barat. Suasana haru dan berlinang airmata menyelimuti perpisahan mereka dengan keluarga dan handai taulan di Verona, lebih khususnya kepada Capulet ayah mertuanya dan keluarga besar Capulet yang lain. Jika saja kalian hadir pada saat itu, maka pasti kalian tidak bisa menahan airmata juga.

Sekitar 2 bulan lebih berlayar mengarungi laut yang memang luas, maka tiba-lah ia di dermaga Pantai Air Manis, Padang. Tak banyak berubah. Malin merangkul istrinya seolah-olah sedang berakting romantis, padahal tidak. Malin tersenyum yang ecek-eceknya manis sekali. Veronawati Kundang masih tertidur diantara koper-koper barang, tergeletak mirip baju kotor, karena ia kecapekan bermain, mabuk laut dan tertawa-tawa dengan kru kapal.

Ketika kapal tepat berlabuh, Malin, langsung arahkan pandangannya dengan tajam seolah setajam pisau ke arah dimana sebuah rumah kumuh yang disitulah dulu ia diajarkan shalat pertama kali, diberitahukan ayat-ayat Qur’an pertama sekali. Di tempat dimana ia merajut cita-cita selangkah-demi selangkah. Tempat dimana ibunda tercintanya mengecupkan keningnya ketika hendak tidur. Saat itu lututnya gemetar hebat. Rindu itu sudah tak tertahan. Kuberitahukan kalian, bahwa Malin sudah tak menahan airmatanya.

Dan Malin bergegas menemui perempuan yang ternyat sudah sangat renta itu. Awalnya ibunya yang sudah renta itu bingung melihat ada pemuda tegap datang dan berdiri di depannya. Ia pikir ini salah satu penumpang kapal yang baru berlabuh itu dan ingin menanyakan apakah ada kabar tentang anaknya Malin Kundang. Pemuda yang di depannya tak lain dan tak bukan itu adalah Malin Kundang yang ia mati-matian sedang menahan tangis, tak tahulah lagi bagaimana bentuk airmatanya, demi ia memandang ibundanya yang telah bungkuk renta itu.

Ibunda…i-ini Malin…” ujar Malin saat itu sebagai kalimat pertama dari awal perjumpaan mereka yang telah lama sekali berpisah. Ah tahulah kalian bagaimana perasaan rindu sekali itu.

Ibunda Malin, ia yang saat itu tak bisa lagi menahan perasaan harunya demi mendengar suara anaknya itu. Sudah lama sekali saat ia melihat Malin pergi merantau dahulu yang sangat kala itu. Ia tergopoh payah memperbaiki selendang kusam robeknya. Ia ingin tampak baik di hadapan anaknya.

Malin pun tak menunggu saat itu, ia tergopoh setengah berlari mirip akting di telenovela dengan dada yang bergemuruh hebat menuju ibunya. Ia tersungkur bersimpuh memeluk lutut ibundanya. Ia adalah Malin yang menangis sejadi-jadinya akibat ia yang begitu rindu sekali.

Ah seandainya jika saja saya bisa menuliskan dengan baik bagaimana kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan Ibu Malin ketika mengusap wajah Malin dan memeluknya. Kamu lihatlah itu, ibunya Malin adalah ibu yang sangat berbahagia saat itu. Seandainya kamu juga ada di pantai Air Manis saat itu pasti kamu akan ikut seolah juga terharu. Begitulah.

Setelah itu Malin Kundang dan Juliet Kundang dan Veronawati Kundang tinggal dengan Ibunda Malin. Dan Malinpun mulai membantu perkembangan pantai Air Manis terutama pengembangan pariwisatanya. Sekian.

Rumah Juliet di Verona, Itali




(blm diedit)

affif herman, meulaboh, 21 april 2011

11 komentar:

  1. haghagahaghag,,,,,,,,
    kocak benar ya akhi...
    sanangat sulit ditebak jalur ceritanya....

    dua jempol dech buat akhi....

    BalasHapus
  2. hahahaha mantap fif, mantap betul

    BalasHapus
  3. numpang ngakak bang..wkwkkwkwk..

    awak kira malin pulang kampung guna melebarkan kariernya untuk membuka cabang warung nasi padang " JASA IBUNDO" nya..

    hehe...

    BalasHapus
  4. Qiera Tauriean iepah: hehehe..sip22...=))

    bg said: ..hehe2.

    BalasHapus
  5. Ticka Y, yang budiman, klo buka warung Nasi Padang di Padang malah kurang laku, ticka. Karena warung yang ada di padang pasti nyediain masakan padang, makanya Malin mengalihkan bisnisnya ke pariwisata. Biarlah org kampungnya yg buka warung2 itu....=))

    BalasHapus
  6. Nice blog my friend :) keep it up

    BalasHapus
  7. hooo begituu ya bang afif.. *mengangguk gak jelas

    buat sequel tentang Veronawati Kundangnya bang, biar macam pelem "tersanjung" itu..
    hahaha..

    BalasHapus
  8. irma: hehe2, thanks for coming ya...=))

    BalasHapus
  9. ticka: hehehe...

    oh bagus jg tu, hm... coba ntar abg melamun2 lg, mudah2an ada ide yg keperosok jatuh ke otak abg, biar ntar mirip "tersanjung VI"...hehe.

    BalasHapus
  10. iya, siapa tau bisa merebut award dari sinetron2 gak jelas yang ramai beredar bak keong racun dibumi pertiwi ini kan?? kan? kaan? *hahaha, semakin kaccaau..

    okelah kalo begitu, kalau ada waktu mampirlah ke blog saya bang afif --> syukur2 di follow balik *hahha, ngarep..

    BalasHapus
  11. Ticka: hahaha iya2...

    oh, insyaAllah ntar di follow dah...hehe2

    BalasHapus