Senin, 11 April 2011

“Asal tulis, jangan sesekali percaya..”

Sedikit asbabun tidak penting lahirnya tulisan tidak penting ini. Cerita ini awalnya sangat serius, yang dalam rangka saya yang saat itu ingin ikut sebuah lomba menulis entah siapa yang membikin, saya lupa. Tukang bikin lomba yang lebih populer dengan panggilan panitia dan penyelenggara lomba menyediakan paragraf pembuka dan paragraf penutupnya (nanti paragraph pembuka dan penutup tulisan dibawah sudah saya Bold-kan). Jadi tugas tukang ikut lomba alias peserta lomba adalah melanjutkan ceritanya hingga nanti cocok dengan paragraf penutup yang telah disediakan panitia tadi. Oh asyiknya.

Namun begitulah saya saat itu, saya bikin diri saya sendiri sibuk dengan persiapan ini-itu dalam rangka penjemputan, pengesahan dan pelegalan untuk merubah status seorang muslimah merdeka menjadi istri yang merdeka. Sehingga apa? Sehingga saya menjadi hilang fokus untuk ikut lomba menulis itu. Nah, meski tak jadi ikut lomba itu dulu namun saya tak pantang menyerah, tak hilang semangat, yang akhirnya saya tetap menyelesaikan tulisan ini dengan sangat asal dan sangat bergaya.

Jika saja dewan juri lomba itu melihat tulisan saya yang hancur ini, insyaAllah, saya sangat yakin bahwa saya sangat tidak pantas untuk menang..hehehe. Tetapi biarlah, toh saya menulis bukan untuk menang ini-itu, bukan untuk apa-apa, namun karena senang-senang saja. Karena apa? Karena Buya Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern mengatakan ke saya, “senangkanlah hatimu..”. Sehingga apa, sehingga saya tak punya beban apapun dalam menulis, suka-suka saja, senang-senang saja, senyum-senyum saja…hehe. Ayo baca kita dibawah…

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“cerpem Asal nulis, jangan dipercaya”






Setting: Lugano - Swiss
Paragraf pembuka:

“Arrividerci, Fabrian.”

Aku melilitkan sehelai syal merah menutupi leher sesaat sebelum melangkah pergi meninggalkan Lugano Dante Hotel . Tak terasa seminggu telah berlalu sejak aku menapakkan kakiku di Zurich International Airport.

“Kau benar-benar akan pergi sekarang?”
Tanpa kuduga, Fabrian menatapku dalam dengan bola mata birunya. Mengapa pula bola matanya biru? Aku belum sempat menanyakannya, atau aku jujur saja, lebih tepatnya aku nggak peduli. Penting nggak sih? Huh.

“Iya dong Fab, aku mau segera ke kampus, jualan makanan ini, takut telat, kasihan mahasiswa Swiss International University (SIU) yang mau sarapan” kataku bikin alasan sambil membuang pandangan ke kiri kanan untuk mencegat taxi yang beruntung. Tatapan Fabrian yang tidak biasa tak terlalu kupedulikan. Melihat tingkahku, Fabrian pun sok-sok sibuk celingak-celinguk membuang-buang pandangan untuk membantu mencari taxi. Mungkin sok care padaku. Biasalah, laki-laki kalau ada maunya ya macam si bule kampung ini, cari perhatian.

Ah, akhirnya ada taxi yang beruntung mendapatkan aku sebagai penumpang. Kenapa beruntung? Yah karena aku ini jika turun dari taxi sering ngasih duit ke sopirnya sehingga si-sopir sering tersenyum senang meski aku tak senang, yah, mau gimana lagi…hehe.

Aku pun menuju kampus SIU yang tak terlalu jauh dari Lugano Dante Hotel di kota Lugano. Kalau sanggup kau berjalan kaki dari Hotel ke SIU ya meminum waktu sekitar 65 menit-an, kalo naik sepeda paling sekitar 37 menit juga sampai. Nah, berapakah waktu yang aku butuhkan sampai ke SIU jika naik taxi yang sopirnya dalam keadaan mabuk?? Hehe..

Oh iya, info sedikit-lah ya. Jujur, aku bukan tinggal di dalam kamar-kamar mewah Hotel Lugano tadi, aku sebenarnya cuma tinggal di lorong-lorong Hotel yang sudah kuanggap sebagai rumahku sendiri..hehe. Aku bikin pemberitahuan ini karena aku nggak mau ntar dikira penipu karena ngibulin kalian yang belum pernah ke Lugano. Yah, mau gimana lagi, biaya sewa kamar hotel atau apartemen disini mahal abis, sementara ini aku ya harus rela-relain menikmati lorongnya dulu. Tapi ntar kalau ada yang nanya alamat, yah, aku juga bisa jawab bahwa aku sedang tinggal di Lugano Dante Hotel yang terkenal itu…hehe. Asiik euyy, dikira seolah kaya.

Seminggu ini aku benar-benar sedikit pusing dan sibuk untuk mengurus ini-itu untuk keperluan perizinan ini-itu untuk membuka kantin yang menjual ini-itu menu khas Aceh di kampus SIU tadi. Rencananya aku mau menjual menu-menu seperti Gulai Asam-keu-eung, Bu Sie Itek, Gulai Kambing, Pliek-U, Mie Goreng Aceh, dan lain-lain. Termasuk juga macam-macam kue seperti Timphan, Pulut Bakar, Kue Lapeh, Boh Godok, dan lain-lainlah.

Nah, Fabrian yang di atas tadi itu-lah yang sering nolongin dan menjadi pemanduku di kota yang sangat asing bagiku ini. Kami bertemu secara kebetulan saja di dalam mimpi. Fabrian itu anak bule sejati. Ini bisa dibuktikan dari rambutnya yang pirang, kulit merah macam kerbau albino, badan tinggi jangkung dan sangat fasih berbicara bahasa Inggris, Jerman, Papua Nugini, Mexico, Yunani, Itali dan Tibet. Fabrian si bule pun ternyata cukup cakap berbicara dalam bahasa Indonesia, mirip burung Beo yang sudah diajarin ngomong selama 17 tahun gitu, sehingga ini berakibat aku dengan mudah bisa berkomunikasi dan menjadi lebih sedikit akrab dengannya dibandingkan dengan bule lain di Lugano.

Pernah suatu waktu kami ngopi sambil mencicipi telur ayam kampung setengah matang di kafe kecil di pinggir kota Lugano aku iseng menanyakan dan tidak kagum mengapa ia bisa menguasai banyak bahasa. Tapi itu malah membuat suasana santai menjadi sedikit tidak nyaman dan membosankan. Ternyata hal itu merupakan cerita tentang perjalanan hidupnya yang panjang dan tidak berliku-liku. Sebelum ia bercerita, ia menarik nafas pendek-pendek mirip akting ibu-ibu ingin melahirkan di dalam sinetron-sinetron. Aku tak tahu atau lebih tepatnya tak mau tahu mengapa ia melakukan tindakan bego tersebut. Senewenkah bule ini? Entahlah, buat apa kupikirin pikirku, ini-kan Negara demokrasi-liberal jadi dia bisa bebas mau menjadi senewen atau gila.

Sambil menatap langit ia bercerita panjang-panjang namun tidak lebar sejarah tidak penting mengapa ia bisa begitu banyak menguasai banyak bahasa tadi. Aku malah menjadi sangat menyesal diri telah menanyakan hal tersebut padanya. Ah dasar Fabrian, bule yang sok paten.

Ternyata oh ternyata, dulu ketika entah ditahun berapa Fabrian dititip oleh orang tuanya ke panti anak-anak terlantar di kota Manchester, Inggris, karena orangtuanya sibuk mengurus bisnis ini-itu. Waktu itu ia masih berumur sekitar 1,75 tahunan dan ia sedang tidak lucu-lucunya karena ia memang bukan anak yang lucu, sehingga orang tuanya tanpa berat hati menitipkannya ke panti. Oh Fabrian oh, malang nian kamu.

Perihal asal muasal dirinya ini sempat diceritakan penjaga panti itu padanya ketika ia berkunjung kesana setelah dewasa ini. Kata penjaga panti lagi, oleh karena saat itu ia sedang tidak lucu-lucunya dan semakin tidak lucu hingga berumur 6, 31 tahun maka dengan senang hati penjaga panti di Manchester itu mengirimnya menggunakan bungkusan kotak mie instan bekas ke Panti Asuhan anak-anak terlantar di Yunani. Ia menetap di Yunani kurang lebih selama 2 tahun dan bekerja sebagai tukang kebun di University of The Aegean. Karena beraktiftas di kampus dan bertemu dengan banyak intelektual kampus membuat Fabrian menjadi anak yang tidak intelek dan tidak bertambah cerdas, karena ia asyik sok sibuk di kebun saja, malas baca ini-itu di perpustakaan kampus, apalagi ditambah dengan malas bertanya dan berdiskusi. Hufff, dasar Fabrian oh, semakin malang saja kamu itu.

Melihat perkembangan Fabrian yang sangat tidak berarti maka pihak panti yang menjadi wali Fabrian membuang atau lebih sopannya mentransfer Fabrian ke pusat rehabilitasi gangguan jiwa dan Narkoba di salah satu kota paling tidak aman di dunia, Ciudad Juares, Mexico. Disanalah Fabrian melihat begitu seringnya terjadi tindak kriminal khususnya masalah perang antar kartel narkoba dengan matanya sendiri. Bahkan ia pernah terperangkap diantara dua kubu mafia narkoba yang sedang berperang. Itupun karena ulahnya sendiri, karena nggak sering membaca ia tidak tahu membedakan yang mana daun ganja dan yang mana sayur bayam. Dengan tanpa merasa bersalah ia mengambil daun ganja yang sedang di-packing untuk diekspor ke Amerika oleh para mafia disana.

Awalnya para mafia itu bingung kenapa anak ini mengambil 10 ikat ganja yang udah di packing dan berharga ribuan Dollar tersebut. Bahkan lebih membingungkan lagi ketika si anak cuma bilang, “Bang, minta sayur ini sepuluh ikat ya, ini sayur bayam kan?? Udah lama nggak makan sayur bang, meski sayur ini udah kering tapi nggak apa-apa-lah. Abang kan punya banyak itu di dalam gudang dan di dalam truk gede tu…oke bang ya…dadaaahhh”. Dan Fabrianpun berlari pulang keseberang jalan yang lain yang ternyata adalah tempat kartel mafia narkoba kelompok yang berbeda sehingga mafia pertama tadi menyangka bahwa Fabian adalah mata-mata dari mafia yang lain itu. Dan…. Ah, aku tak sampai hati menceritakan bagaimana hancurnya kota Ciudad Juares akibat perang salah paham gara-gara dengkul Fabrian saat itu. Huff, aku berlindung dari Fabrian.

Fabrian terus bercerita panjang-panjang dan tidak lebar kisahnya yang terus-terusan dibuang dari satu negara ke Negara lain dan kupikir tidak penting bagiku itu. Fabrian terus bercerita dan tidak peduli bahwa aku sudah menambah 3 gelas kopi dan menguap-nguap tenggelam oleh bosan yang mendalam. Halah Fabrian oh Fabrian,..*heell-looww!.

Tapi syukurlah aku tertolong, pemilik warkop meminta ijin mau menutup warkopnya agak dini karena ada orang kampungnya wafat karena tenggelam di parit di sebelah kota Lugano, ia mau menjenguk dan ikut ke acara pemakamannya. Huff, sungguh aku benar-benar tertolong saat itu. Dan Fabrianpun mau tidak mau meski sangat tidak mau untuk menghentikan kisah hidupnya yang entahlah itu. Namun begitulah kira-kira bayangan tentang Fabrian si bule kampung teman pertamaku di Lugano ini.

-------------------------------

Namun lihatlah, kini sudah sebulan di Lugano aku mulai mendapat masalah. Pertama, dari pihak hotel yang mulai muak dan mual denganku karena akibat tidur di lorong-lorong hotel menyebabkan karpet mereka kotor oleh liur dan keringatku. Dan juga mereka komplain karena aku kalau menggunakan kamar mandi agak lama sehingga membuat penyewa kamar asli ngantri untuk mandi.

Masalah kedua, aku sudah mulai bermasalah dengan pihak Administrasi Kependudukan Lugano karena nggak membuat KTP dan Kartu Keluarga setempat. Bahkan mereka sedikit mencurigai bahwa aku terkait dengan Organisasi Pendangkalan Budaya Lokal(OPBL) yang sedang mereka resah-risaukan. Mereka sangat kuatir makanan khas di Lugano tersingkirkan dengan masuknya makanan khas Aceh yang sedang gencar-gencarnya kupromosikan di Kampus SIU, tempat berkumpulnya orang-orang intelek di Lugano. Jelas SIU merupakan tempat yang strategis sebagai tempat awal untuk membaur dan mengembangkan budaya non-lokal, begitu pikir mereka padaku. Dan ini membuat Asosiasi Penjaga Kelestarian Kebudayaan Asli Lugano (APK2AL) yang anggotanya terdiri dari ibu-ibu PKK setempat mulai mencari-cari kelemahanku dan menyebarkan tuduhan macam-macam yang sangat manusiawi padaku. Ini mirip dengan gaya nenek monyang se-rumpun mereka ketika menjajah Indonesia dulu, yang menggunakan segala cara untuk menang.

Masalah ketiga yang lebih parah adalah Fabrian. Iya, bule kampung itu. Beberapa puluh menit yang lalu ia melamarku dan aku mengutuk dengan keras perbuatannya itu sehingga terjadi adu mulut yang nggak penting, kami jadi saling emosi ujung-ujungnya. Huff..

“Aku ingin menikahimu, pasti kamu kaget dan menerimaku…” katanya dengan pede saat itu, padahal waktu itu aku sedang menyuci di pinggiran sungai ditengah kota Lugano yang romantis itu.

“Hah, apa-apaan ini?! jangan main-main ah, malas”

“Kalau begitu tidak main-main, jangan malas, ayo kita menikah sekarang..”

“Apaan sih Fab, aku ini kan nggak menaruh perasaan apa-apa sama kamu, kita ini sekedar teman saja.” sambil mengucek baju cucian dengan lebih kencang dan keras, aku mulai jengkel.

“Tapi aku menaruh perasaan, dan kita bukan sekedar teman saja”

“Kita ini nggak cocok Fab..”

“Mari kita cocok kan”

“Aku ini beda dengan kamu, kamu bule”

“Baiklah aku akan operasi plastik kayak maikel jeksen untuk menjadi orang Indonesia”

“Aku ini makan suka yang pedas dan kamu malah suka makan yang bau-bau, itu aja beda kan?”

“Baiklah aku akan juga makan yang pedas-pedas dan bau”

“Aku ini benci bule”

“Akan kubunuh semua bule…eh??! eh, i-iya, akan kubunuh semua bule selain aku..”

“Aku ini ada penyakit yang kalo kumat suka makan kuping kelinci”

“Iya sama, aku juga suka kuping meski kasihan si kelinci kehilangan kuping”

“Aku tak mencintaimu Fab..”

“Maka cintailah aku”

“Aku benci kamu”

“Benci itu jangan, tak baik, bencilah koruptor”

“Kamu bau busuk jarang mandi”

“Iya, kran air di rumah sering rusak”

“Ah kau membuatku sakit kepala, Fab!!”

“Oleskan balsem panas”

“Arrrrrgghh..plis deh Fab!!!” aku tak tahan, berang, sambil berdiri dan menghempaskan cucian dengan keras ke lantai. Jengkel sudah berada pada titik puncak. Aku berdiri di hadapannya.

“Gini aja Fab, aku ini sedang nyuci!! Pake otak kalo mau ngelamar anak orang!! Apa nggak pernah diajarin, heh?! Kau cuma nurutin moncong monyongmu saja!!” aku mulai kehabisan stok sabar dan lupa dengan kata-kata sopan.

“Emang ngelamar anak orang gimana?? Tahun lalu aku melamar anak orang di acara penguburan orang tuanya, eh juga kena dampraat, jadi yang benar itu bagaimana??”

“Apa ada otak kau, Faab??!!!

“Ada”

“Aaarggghhh…!!” aku betul-betul mendidih, super muntab! Kutendang-tendang cucian ke sungai dengan keras saking dongkolnya. Meski setelah itu aku segera lompat terjun ke dalam sungai lagi untuk mengutip baju itu cepat-cepat biar nggak hanyut. Dan Fabrian cuma melihat santai aku yang berenang kesana-kemari mengutip pakaian tadi. Aarrgghh Fabrian oh Fabrian oh. Segera kutinggalkan Fabrian disitu sendiri, dipinggir sungai itu, yang dia-nya sedang menunaikan hajatnya di dalam jamban dengan tentram tanpa rasa bersalah. Ingin sekali kusiram jamban yang sedang dihuni Fabrian itu dengan bensin dan segera membakarnya berserta isi didalamnya. Tapi untunglah masih ada setetes sabar didalam sanubari yang terdalamku oh.

Dan kini di Hotel, aku segera mengambil keputusan untuk kembali ke kampung halaman. Aku semakin tak tahan dengan situasi yang membuat aku stres dan tertekan ini. Aku bereskan semua barang-barangku ke dalam koper, termasuk cucian yang masih basah tadi. Aku langsung menuju bandara. Selagi menunggu taxi tiba kuambil kartu pos bekas di Hotel dan kutuliskan sesuatu setiba di bandara Zurich International Airport.

Dear Fabrian,
Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Ingatkan aku untuk kembali ke Lugano suatu hari nanti.

Kupandangi kartu pos berisi tulisan tanganku itu dengan dada bergemuruh sebelum menyelipkannya ke dalam kotak surat. Segera sesudahnya, aku gegas melangkah masuk ke ruang tunggu Zurich International Airport. Dalam waktu setengah jam ke depan, pesawat yang kutumpangi akan mengudara menuju tanah airku, meninggalkan Fabrian dan sepenggal harapan yang dititipkannya padaku.



beberapa poto sudut kota Lugano....=))









Affif Herman, Gp Pineung Maret 2011

4 komentar:

  1. ini bagus sekali! Alurnya teratur dan masuk akal, lepas dari berbagai keanehan dan lain sebagainya. Settingnya cukup kuat.
    Jika memang ada kekurangan yang perlu dikritisi, tentu tidak perlu saya ulangi lagi :D
    Jika Anda berminat mengirimkannya ke media, sila minta alamat email ke FLP Aceh. Tentu bagus sekali jika ini dimuat, bisa membuat orang2 tertawa bersama

    BalasHapus
  2. kepala sekolah, benarkah itu?? jika ada wktu dirimu sempatkan utk mngedit EYD maukah??hehe

    bgmna cara mngirimnya? plis, turunkan jurusmu itu wahai kepala guru!!

    BalasHapus
  3. hehehe.. begitu menghibur :D
    sebagai (hanya) seorang pembaca, menurut saya; in layak dibaca.. :D

    nice wrote :)

    BalasHapus
  4. boleh Pak Affif, kebetulan kaderisasi memberikan layanan untuk membantu para penulis2 muda dan tua.
    Sila kirim saja tulisan anda dalam bentuk word ke email saya: ade.oktiviyari@gmail.com

    terus menulis. Salam kepenulisan

    BalasHapus