Minggu, 13 Februari 2011

Kisah Memerangi Tuhan

“Dan mereka mengingkari karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka yakin…” (QS. 27:14)

Judul kitab Syaikh Nadim Al jisri, Qisshatul Iman (Terjemah Indonesia: Kisah Mencari Tuhan) menggambarkan suatu kisah pengembaraan iman. Suatu upaya mendekatkan pemikiran kepada ketundukan diri, bagi mereka yang mendapatkan dua hal: isti’dad (kesiapan) dan hidayah. Selebihnya adalah dunia orang-orang yang tertidur di atas tilam yang sama, dengan mimpi-mimpi yang berbeda. Tidak otomatis mimpi-mimpi itu kosong. Ada mimpi yang mempunyai pembenaran, harapan yang mempunyai jawaban, atau ‘wahyu’ yang berakar pada kebenaran. Kenikmatan iman bagi kaum beriman belum tentu kelezatan bagi mereka yang ingkar, demikian juga sebaliknya.

Sikap tidak konsisten terhadap prinsip, keyakinan atau agama, kerap membuahkan fitnah yang membuat orang-orang lemah menjauhkan prinsip, keyakinan atau agama tersebut. Ummat yang malang mengingkari ajaran agamanya hanya karena tokoh yang seharusnya jadi teladan telah kehilangan keteladanan. Mereka bagaikan anak-anak yang tak mampu membalas ‘kedzaliman’ temannya yang lebih kuat, lalu melampiaskan dendamnya kepada adik atau ibu.

Kebencian kepada laki-laki karena kekecewaan yang diterima perempuan, atau sebaliknya. Kebencian kepada sebagian besar sahabat dan kultus kepada sahabat lainnya. kebencian bahkan pengingkaran pada wujud Tuhan yang bertolak dari kemarahan dan dendam yang tak terbalaskan kepada sesame manusia. Semuanya mencerminkan gejala kejiwaan yang kadang tak berhenti pada diri, bahkan mendorong kepada polarisasi dan pengkutuban. Ajaib memang, kebenaran diukur dengan suka dan benci, senang dan kecewa.
Sebaliknya, sikap konsisten, jernih dan kritis akan mendekatkan jarak yang jauh dan memudahkan hal yang sukar. Perbedaan mendasar antar dakwah pra dan pasca pembaharuan Tarbiyah 20 tahun yang lalu ialah, bahwa sebelumnya tidak cukup bi’ah semai (miliu) tempat pemikiran dikembangkan secara konsisten untuk pertama kali dan seterusnya. Sebagian besar ummat tak mengerti, tetapi pengertian mereka yang mengerti pun tak beranjak, tak membangun emosi dan tak membentuk kata hati. Padahal,”…suatu fikrah akan berjaya apabila: 1. Kuat keyakinan terhadapnya, 2. Terpenuhi keikhlasan menjalankannya, 3. Selalu berkobar semangat memperjuangkannya, 4. Ada kesiapan berkurban dan beramal mewujudkannya” (Hasan Al-Banna, Risalah Ila’s Syabab).

Yang pertama harus dibangun, ialah keyakinan terhadap fikrah tersebut, sampai mendapatkan lahan semai yang mendukung. Di era baru pionir dakwah kampus, justru hanyalah sekelompok anak-anak belia yang prihatin. Mereka terbiasa mengaji ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat alam semesta yang terbentang, cermin keagungan, kekuasaan dan kasih-sayang-Nya. Pada saat gaung ayat-ayat qauliyah (firman) mereka dengar dan huruf-huruf yang sangat indah itu mereka baca, genaplah ketundukan mereka kepada titah-Nya.

Mereka bersinergi dengan ahli fiqih (Fuqaha) yang konsisten: fuqaha ahkam dan fuqaha dakwah penentu arah dan stabilisator. Revolusi jilbab bersebaran tanpa dapat dihadang oleh fitnah, pemecatan dari bangku sekolah atau tempat bekerja atau tuduhan aliran sesat. Penghadangan semakin membuat cepat laju perkembangannya.

Agama dan Arus Anti Kemapanan
Seorang penulis membincangkan atheism dengan indahnya. Tanpa harus mendeklarasikan perang melawan Dia (sehingga ia bisa dengan mudah menghindari tuduhan atheis), dikemasnya menjadi novel yang menggiring pembaca untuk bersatu front menghadapi Tuhan dan pemuja-Nya. Wajar, bila seorang atheis memperjuangkan aqidah kufurnya dengan segala cara yang mereka mampu lakukan. Yang tidak wajar justru tumbuh dan mengakarnya atheisme itu sendiri.

Penulis lain ‘terkesan’ begitu sedih atas kelakuan orang-orang zalim yang sehari-hari mengusung (baca: memanfaatkan) simbol-simbol agama. Ia sindir mereka dengan profil yang sama tak kenal Tuhan. “Bagi John, mengganggu isteri tetangga adalah kejahatan.” Ia tulis esay tentang si John yang atheis tetapi jujur, elegan, humanis dan populis, seperti novel junior diatas yang memperkenalkan atheism, ketelanjangan dan kejujuran untuk berkata jorok.

Beberapa saat menjelang meletusnya peristiwa G-30-S/PKI, Lekra (lembaga kebudayaan rakyat, sayap seni budaya PKI) menggelar pertunjukan panggung. “Patine Gusti Allah” (la’anahumullah!). Pertunjukan berakhir dengan adegan matinya apa yang mereka sebut gusti Allah. Dan sang aktor yang memerankan gusti Allah pun benar-benar mati di atas panggung. Kekuasaan, keculasan dan kesombongan telah meredam berita besar ini. Qisshatul’l Hujum ‘Alallah (kisah serangan terhadap Allah) amat klasik, namun tak pernah mereka eksis. Di sisi lain, ada yang berlindung dari akibat kerakusan dengan mengangkat simbol-simbol yang akrab dengan Tuhan.

Apa penilaian tuan tentang segerombolan orang yang memukuli dan menyiksa anak kecintaan tuan, tanpa kesalahan apapun kecuali karena mereka kesal dengan bajunya yang mereka anggap sama dengan baju orang yang mereka benci. Kekesalan orang lain terhadap pemuka agama yang memusuhi para ilmuan abad pertengahan di Eropa telah melebar kepada penganut lain dengan cita, citra dan fakta lain. Mereka sama-ratakan Islam dengan tangan kekuasaan agama yang berlumuran darah. Yang mendirikan lembaga inkuisisi, lembaga mata-mata dan pemburu yang menyidangkan dan melaksanakan hukum mengatasnamakan Tuhan. Mereka tak mau faham kalau Islam sendiri datang untuk menghalau kemungkaran ini. Ini phobia yang tak henti.

Kini, jari, pena dan kamera bekerja dalam jalinan yang kompak, menjatuhkan begitu banyak mangsa. Di awal tahun 70-an, para pengais bangkai lewat pena, telah mengkonstruksi gagasan yang meracuni otak para remaja dengan tema sentral novel remaja seputar perkawinan dan perzinaan. Betapa hancur kehidupan sepasang pengantin yang dinikahkan secara resmi, direstui orang tua dan disambut masyarakat. Akhirnya, hari-hari berubah empedu, setelah beberapa hari madu. Konflik dan rebut menjadi menu harian. Di seberang sana sepasang belia hidup begitu romantis-harmonis. Tanpa ikatan nikah! Kata, warna, dan cita; semua beraroma cinta. Novel ditutup dengan kata bersayap (sayap hantu); “Apalah artinya selembar surat nikah, bila hidup penuh neraka. Lebih baik cinta sejati walau pun tanpa ikatan resmi”. Berapa banyak ABG dungu mengidentikkan dirinya, yang dilarang keluar malam, seperti bintang film cinta picisan, yang disiksa orang tuanya karena kekasihnya berkasta rendah.

Agama, Kemapanan dan Anti Kemampanan
Dengan pertanyaan yang tajam dan cerdas, Ibrahim As berhasil menanamkan keraguan yang berat terhadap keyakinan berhala. Di lembah lain, kedunguan memahami gerak tangan Qudrat-Nya, kelemahan memasuki suasana dialog dengan-Nya serta kesombongan untuk selalu asbed (asal beda) dengan lingkungan yang dilihatnya dungu, telah mendorong jiwa-jiwa ringkih untuk memilih propaganda terselubung bagi atheisme atau segala anti kemapanan. Sekelompok musyrikin menunjuk ke arah bangkai kambing. “Siapa yang mematikannya?” Tanya mereka kepada kaum beriman. “Allah,” jawab mereka. “Nah, jelas, kalian pengikut Muhammad, curang. Kalau yang kalian matikan (sembelih), kalian katakan halal. Yang dimatikan Allah, kalian bilang haram.” (Tafsir QS. Al-An’am: 122).

Tuan, semua argumen (hujjah) kesesatan nilanya selalu minus seperti dagelan musyrik diatas, namun katrol angka, permainan retorika dan gincu kata adalah kebiasaan kaum hiprokit. Dan, di titik itulah seluruh kemilau seruan kesesatan bertumpu.


KH. Rahmat Abdullah-semoga beliau dirahmati Allah/ Pilar-Pilar Asasi-2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar