Selasa, 08 Februari 2011

Cinta Untukmu Luar Biasa…

(((mukaddimah illegal…
Coretanist : Biasanya klo judul “cinta2an” begini rame yang datang. Laku.

Tukang baca : hehehe…

Coretanist : Beh! ckckck,..makan tu judul!! Klo udah ngomongin “cinta” baru-lah kau buka ini blog!!

Tukang baca : hehehe...

Coretanist : Cuma “hehehe” aja?!!

Tukang baca : hehehe…)))

---00---

Tersebutlah itu hari Senin. Hari sedang gelap-gelapnya, biasalah matahari sedang ada kerjaan rutin di tempat yang lain, di belahan bumi yang lain karena perintah Allah. Dikalangan makhluk jenis manusia, gejala alam ini dikenal dengan istilah “malam”. Kondisi malam ini biasanya waktu yang tepat bagi pelamun untuk melamun, juga pendosa untuk melakukan dosa, juga seorang anak untuk minjatin kaki ibundanya sambil bercanda meringankan suasana hati ibundanya seorang. Ah dan lain-lain-lah, apakah penting aku menuliskannya satu persatu untukmu? Emang kamu siapa, heh?!.

Nah, gara-gara kebanyakan SMS-an serta nelponin kawan dan sodara membuat pulsaku perlahan demi perlahan lenyap ditelan waktu. Jadi akupun menerimalah usulan hati untuk keluar menyisir malam nyari kios pulsa, khususnya kios yang menyediakan pulsa gratis.

Namun, konon usahaku sia-sia belaka, tidak ada pulsa yang gratis, tidak ada yang free. Jadi, ya mau nggak mau, harus mau, ya harus beli pulsa. Oh duitku akan kuberikan kepada perusahaan Telkomsel dengan hati yang sedih dan duka. Mengapa? Lha, capek-capek dicari seharian hingga hitungan bulan, dari tempat-tempat yang jauh pula, eh ujung-ujungnya duitku malah harus dikasih ke Telkomsel. Hehe. Untunglah Nabi bilang klo kerja itu ibadah, tiap tetes keringat bernilai kebaikan. Huff, Alhamdulillah77x, Allah-lah pengatur segala perkara.

“Hallo abang, isi-in pulsa As 20 ribu ya” itu aku yang ngomong dengan hangat menyapa.

“Ok, tulis disini nomornya” itu yang punya kios yang ngomong tanpa ekspresi sambil nyodorin buku. Dingin.

“Oh, iya2” itu aku lagi yang ngomong, sedangkan abang kios pulsa diam saja. Masih dengan ekspresi dingin.

Begitulah saja dialog singkat yang dingin antara aku yang hangat dan si-abang kios pulsa yang dingin. Sambilan nunggu abang kios pulsa yang dingin transferin pulsa, aku menghirup dan menikmati udara banyak-banyak, bernafas istilah biologisnya. Mumpung lagi di kasih gratis sama Allah pikirku. Alhamdulillah777777x…

Eh coba lihat kesana. Itu di seberang jalan dari tempat kuberdiri ada tiga orang anak kecil. Menurut tebakan ilmiahku 2 orang (1 cewek dan 1 cowok) mungkinlah masih kelas 1 SD atau TK semester akhir. Satu orang lagi cowok yang masih terlalu kecil untuk mengenal sekolah, mungkin berjalan sama ngomongpun baru lulus 1 atau 2 bulan yang lalu.

Rupanya mereka lagi asyik-masyuk-khusyuk main sambil nyanyi-nyanyi dengan riang-gembiranya. Aku senyum yang berduet dengan ketawa. Dengarlah saja, mereka menyanyikan lagu yang mungkin mereka sendiri masih belum mengerti maksud lagu itu apa. Dan pahamkah mereka untuk siapa serta mengapa lagu itu diciptakan? Dengarlah ini…

“Aku memang manusia biasa-yang tak sempurna dan bla bla kadang salah …bla..bla… (hehe gk hafal) ..bla..bla.. cinta untukmu luar biaaasaa..” Mereka menyanyikannya dengan lancar, riang, dan berulang-ulang macam lagi nyetor hafalan hadits ke Ustad ngaji. Aku nahan ketawa liatin anak yang masih sebesar karung beras 20-an Kg begituan udah lancar dan fasih lafahz-tin “cinta untukmu luar biasaaa…” Parah.

Namun sesaat mereka tersadar sedang kuperhatikan. Nyanyiannya berhenti, senyum mereka, sambil curi-curi pandang ke arahku. Melirik malu-malu pingin lihat siapakah aku yang sedang memperhatikan mereka. Barangkali mereka pikir aku om-om pencari bakat yang diutus oleh salahsatu stasiun TV swasta dari pulau Jawa. Karena udah ketahuan, akupun segera berbalik membelakangi mereka, kembali menghadap ke si-abang kios pulsa yang dingin, seolah tak peduli sedikitpun urusan anak-anak sebesar karung beras tersebut. Dan…dan,…dan lihatlah, tak sampai setengah menit merekapun kembali menyanyikan lagu diatas, langsung dimulai dari reff lagu dengan suara tinggi seolah penyanyi professional yang sedang latihan vokal. Aku yang udah siaga masang kuping untuk mencuri dengar ya ketawa sendiri. Hehehe..wahai bocah-bocah karung, jangan remehkan om-om ini ya!!.

“Hah?” si-abang kios pulsa yang dingin melihat bingung kenapa aku ketawa.

“Nggak ada bang,..udah masuk ni ya, ini duitnya,” pulsanya udah masuk.

“oke” dingin.

Oh abang kios pulsa yang dingin, mengapa kamu tak ada mood padahal udah dapat rejeki dari Allah melalui saya? Mengapa oh mengapa. Tak senangkah padahal Allah udah ngasih udara gratis? Udah numbuhin rambut dan jenggot gratis? Udah ngasih tinggal di bumi dan bisa liatin langit? Udah ngasih badan, kaki, tangan, jantung yang baik? Oh abang kios pulsa yang dingin mengapa engkau tidak hangat bertemu denganku yang juga sama-sama orang Islam, saudaramu sendiri? Ada apa denganmu abang kios pulsa yang dingin? Engkau kan bukan kulkas yang memang berkewajiban untuk dingin? Mengapa oh mengapa, kepadamu aku bertanya…*baca pake gaya Rendra.

Nah fokus lagi, sebelum balik ke kost-san aku menjumpai anak-anak manusia tadi dengan senyum-senyum, biar manis. Rencananya sekedar menyapa saja karena ada niat dikit, jadi ya harus ditunaikan daripada nanti nyesal di rumah. Mereka masih bernyanyi.

Aku berhenti di depan mereka sambil senyum. Mereka berhentiin nyanyi dan mainnya, juga senyum-senyum lihatin ada om-om jenggotan datang, kecuali anak terkecil yang mungkin baru bisa ngomong tadi, masih sibuk main dengan tanah. Mungkin dia heran dan sedang gundah-gulana untuk mencari tahu tanah itu terbuat dari apa? Mengapa ada tanah? Apakah tanah bisa dimakan dengan donat? Dan akupun tak tertarik menyapanya.

“Hehehe…” 2 orang ini senyum-senyum.

“Hehehe,..udah ngaji dek?” sapaku

“Hehe, udah bang” kata yang cewek.

“Wah, udah ya…mantap-mantap!” kutunjukkan wajah kekaguman senang biar mereka senang karena sudah mengaji.

“Eh, nggak da-nggak da, qe belum ngaji,..aku yang udah!!” jawaban si-cewek dibantah langsung oleh yang cowok, dia tak ingin menutup-nutupi kebenaran atas nama cinta. Tak ingin berdusta atas nama cinta. Ampun.

“Hehehe…” yang cewek senyum malu-malu, ketahuan. Kejahatan lisannya terbongkar bulat-bulat.

Yang paling kecil masih sibuk dengan tanah tanpa memperdulikanku dan kasus yang sedang terjadi di depan matanya. Kurang ajar, pragmatis betul ini anak!

“Hahaha,..yaudah, abang pergi dulu ya, jangan lupa ngaji.. da-daaah..” aku minta ijin langsung pulang. Biarlah mereka menyelesaikan pertengkaran rumah tangganya sendiri.

Di rumah kuceritain anak-anak tadi yang nyanyi sok-sok dewasa ke si-Muslim, anak kost yang mau diwisuda profesi dokter dalam waktu dekat. Senyum dia. Kutanya judul lagunya, nggak tahu dia, tapi masih senyum. Hehe bagus-bagus, perbanyaklah senyum.

Sebenarnya menarik untuk dibahas, mengapa anak-anak sekecil itu sudah “dijajah” dengan lagu-lagu yang menurutku nggak baik untuk perkembangan jiwa dan pendidikan mereka. Kalo kasus ini menimpa kalian mungkin masih mending karena bisa dikasih alasan-alasan yang logis perihal “cinta” di lagu di atas tadi, lha, kalo mereka? mereka akan melahapnya bulat-bulat tanpa filter, kan gak bagus itu. Ini sedikitnya menunjukkan gambaran kualitas tontonan atau media hiburan untuk anak-anak dan adik-adik kita semakin nggak terkontrol, dengan nilai yang jauh dari kata bermutu, baik secara nilai agama maupun nilai “keacehan” sebagai identitas bangsa kita. Dipikir-pikir masihlah mending lagu-lagu seperti,”si-lumba-lumba”, “diobok-oboknya Joshua”, “nyamuk-nyamuk nakal”, atau “Kuku-Kuku-nya Chikita meydi” yang dahulu kala sering diputar.

Sekarang, seumuran mereka malah udah sebegitu mudahnya melahap nyanyian yang aneh-aneh diatas tadi. Lha, gimana mau rajin shalat berjamaah, rajin tilawah Qur’an atau mau shalat Dhuha kalo dari kecil nyanyian penyemangat jiwanya melo gitu? Belum lagi tontonan sinetron-sinetron berselera rendah, tayangan aib-aib pergunjingan yang berkemas infotaiment di televisi-televisi kita, ditonton tanpa ada yang memberikan pengawasan, penjelasan dan pengetahuan kepada mereka, bisa-bisa sedikit demi sedikit mereka -bahkan kita sendiri- bingung dengan indentitas dan misi hidup sebagai muslim. Iya kan? Kan? kan?

Terakhir (biar cepat habis hehe), berharaplah aku, coret-coretan tak seberapalah-mana ini menggelitik saja “risau” kita untuk mau melihat, menegur dengan penuh rasa sayang, serta mengingatkan adik-adik kita dan kita sendiri, bahwa sebenarnya kita memiliki “kekhasan” visi-misi hidup sebagai muslim, sebagai ummat. Apapun dan dimanapun kita berperan. Hm..yah, barangkali demikianlah saja Tuan dan Puan.


Mudah-mudah Allah terus menolong kita dalam memperbaiki niat dalam hidup.


Kajhu pagi-pagi, Selasa, 1 Februari 2011. Sambil buru-buru mau gosok baju.
Coretanist: Affif Herman bin Herman Hanif bin Hanifuddin Ali bin Teuku Muhammad Ali bin Teuku Muhammad Din bin Teuku Lon Teuku Lampou-u bin Teuku Bentara Balee bin Teuku Bentara Sumbrang.

4 komentar:

  1. Tulisan yang menarik
    Tuan Affif,tulisan ringan bergenre artikel populer punya Anda ini telah memiliki kekuatan luar biasa dari 2 segi, teknik penulisan dan metafora yang digunakan.
    Sayangnya, punya 2 ranting besar juga dalam penulisannya.
    Teruslah berkarya, meski tidak pernah datang ke FLP lagi ya sepertinya? *lho? tidak nyambung ini

    Satu lagi, judul cinta memang sering buat orang datang,
    tapi setelah isi tak seperti yang dibayangkan, orang biasanya pergi sambil ngomel2 sndiri. hehe...

    Demikianlah kunjungan singkat saya,
    permisi, saya mau blogwalking lagi
    wassalam

    BalasHapus
  2. Puan kepala suku, hehe terimalah segepok terimakasih akibat sudah sudi mampir di lapak kami ini,..janganlah pula marah akibat karena saya masih tidak ambil peduli dengn EYD, tidak ambil pusing dgn tata krama menulis...

    oh sungguh ini masih sebuah kesengajaan yang tak terencana, alasan yang bisa saya pakai utk perihal ini adalah saya hanya pemula yang lemah tak berdaya di hadapan EYD,.oh malang bukan?.hehe

    perihal tak ke FLP, sesungguhnya bahwa sungguh bukan tak ingin, bukan pula tak berusaha. Namun Allah perintah saya utk menjemput rejeki hingga keluar kota, yang jauh dari mesjid Raya Banda Aceh, shingga susah-lah FLP dijangkau honda apalagi jalan kaki. mhon berilah sekeping maklum dari kepala suku....*hehe

    BalasHapus
  3. baiklah Tuan Affif, berhubung saya adalah manusia, tentu Anda dimaafkan. Apalagi jika beralasan mencari makan, meski istilahnya kurang tepat. Makanan kan dimasak, bukan dicari.

    Hanya saja, saya harap sekali Anda berkenan hadir di acara besar FLP Aceh yaitu LMUS, mungkin Anda pernah dapat SMS tentang LMUS ini berkali2 di layar hp Anda.

    Hmm... saya kan tidak menyebut-nyebut EYD di koment atas, darimana Anda bisa tahu?
    Tapi bagaimanapun Tuan, EYD adalah kekuatan besar bahasa, yang merupakan kunci pemahaman komprehensif bagi penulis dan pembaca.

    Jika Tuan sukses bermain dengan EYD, maka Tuan adalah calon Raditya Dika baru! Tentu dengan gaya penuh hikmah dan humor Tuan, Tuan Affif akan memimpin sebuah genre sendiri di dunia literasi Indonesia.

    Demikian cakap2 singkat dari saya, salam superb dan teruslah menulis!

    BalasHapus
  4. maaf sebelumnya baru coment..
    kemarin tu mau coment selepas baksos buka fb ada liat di notificationsnya.. pas mau buka, eh ternyata pulsanya tidak bersahabat lagi..
    yah cukup menarik untuk dibaca. apalgi untuk dikaji. secara keseluruhan ini merupakan tanggung jawab kita semua.. klo gak generasi emas ditangan mereka akan berkarat dengan endapan2 unsur lain yang condong mempengaruhinya.
    dari dulu masalah GP alias ghazwul fikr itu memng selalu menyerang umat islam gak hanya nyak2 orng tuha, anaeuk mit banlahe, pu lom aneuk moda lagee kamoe2 nyoe cukup mudah terpengaruh. alasan trend.
    sekarang tergantung keluarganya. jika keluarga sudah menggali lahan yang dalam untuk menetapkan pondasi yang kokoh maka tinggal kita sebagai lingkungan sekitarnya menancapkan tiang2 yg mampu menahan goncangan dr luar. apalgi memakai sistem sendi dan rol akan lebih baik jika menghadapi gempa yang kuat tidak seperti sistem jepit yang mudah patah..
    lho knp sudah ke struktur nih.. maaf bg, masih belajar.
    terimaksih

    BalasHapus