Kamis, 19 Januari 2012

Ngomongin Buku: Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)



Nah, kali ini saya ngomongin buku lagi. Semoga dengan begini akan timbul prasangka, juga kecurigaan, bahwa seolah-olah saya adalah orangnya yang itu rajin membaca buku, meski faktanya nanti berbeda. Dan buku beruntung yang baru saja saya baca dengan indah itu judulnya diberi “Saga no Gabai Bachan: Nenek Hebat dari Saga” karangan Yoshichi Shimada (Akihiro Tokunaga). Dari nama buku dan pengarang maka pasti kalian percaya kalau saya bilang bahwa buku ini asalnya dari Jepang, kan? Kalian juga pasti percaya kalau saya bilang di jepang ada pohon sakura, kan? Kalian juga pasti percaya kalau saya bilang saya pernah lihat bunga sakura di internet, kan? Alhamdulillah kalau kalian percaya sama saya, saya tau itu.

Balik ke pokok cerita. Nah, setelah saya sengaja membacanya sekitar 1 bab, selain kesan sederhananya, maka buku ini segera memanggil ingatan saya agar saya menyangka dia mirip dengan buku Totto-Chan. Dan menurut saya memang rada-rada mirip. Cerita-cerita di dalamnya sangat sederhana dan menceritakan tentang kesederhanaan juga. Penulisnya juga saya tuduh bahwa dia sengaja membikin buku ini dengan bahasa dan alur cerita yang nyaman untuk dinikmati bab demi babnya. Kayak minum teh hangat sambil makan pisang goreng di waktu sore yang hujan sedang dibuat turun dari langit, enak dan pas gitu.

Penulisnya bilang, buku ini diangkat dari pengalaman pribadinya sendiri (bukan pengalaman pribadi saya, ya…:D) ketika hidup bersama neneknya yang dipanggil ‘nenek Osano’ di desa yang bernama Saga. Awalnya dia bilang dia tinggal bersama ayah-ibunya di Hiroshima, namun setelah Hiroshima dengan tega dijatuhin bom atom (oleh Amerika cs) mereka pindah ke Saga. Karena memang sudah takdir maka pada masa-masa perang itu ayahnya meninggal dunia. Setelah perang usai ibunya dan dia kembali ke Hiroshima. Keluarganya itu kita sebut sebagai keluarga miskin, dan ditambah lagi kondisi pasca-perang semakin membuat kehidupan di Hiroshima sulit dan tak menentu. Oleh karena siang malam ibunya sibuk bekerja terus maka ibunya berinisiatif agar Akihiro diasuh neneknya di Saga.

Di Saga, Akihiro dan nenek Osano hidup sangat miskin, namun menariknya nenek Osano tidak pernah menjadikan kemiskinannya sebagai alasan untuk tidak berbahagia dan meratapi hidup saja. Justru nenek Osano adalah orang yang bersemangat untuk menikmati setiap keterbatasan materi yang dia miliki, bahkan dia tetap berbagi kepada yang lain. Coba perhatikan bagaimana suatu kali nenek Osano dengan bangga menyemangati Akihiro dengan berkata, “Ada dua jalan buat orang miskin. Miskin muram dan miskin ceria. Keluarga kita ini miskin yang ceria. Selain itu karena bukan baru-baru ini saja menjadi miskin, kita tidak perlu cemas. Tetaplah percaya diri. Keluarga kita memang turun-temurun miskin.” Hehe, keren…keren...

Atau nenek Osano juga mengatakan dengan yakin ke cucunya itu dan bukan ke saya,“Hiduplah miskin mulai dari sekarang! Bila sudah kaya, kita jadi berpelesir, jadi makan sushi, jadi menjahit kimono. Hidup jadi kelewat sibuk.” Atau dengan kata-kata optimis ini,“Sampai mati, manusia harus punya mimpi! Kalaupun tidak terkabul, bagaimanapun itu kan cuma mimpi.” Dan banyak lagi omongan nenek Osano yang nunjukin ke-optimisan dan keceriaan nenek Osano dalam hidup miskinnya.

Bahkan di penutup buku ini Yoshicmi Shimada/Akihiro Tokunaga lagi-lagi tanpa malu-malu ngomong sama saya bahwa prinsip hidupnya sekarang mengakar pada ajaran neneknya. Hingga kini Akihiro tidak mengenal kata-kata seperti benda bermerek, interior canggih, atau sajian mewah. Baginya hanya ada papan, sandang, pangan dalam kehidupan yang sederhana.

Dia juga bilang (lagi-lagi ke saya), “Bukankah hal yang paling penting semasa kita hidup tidak terletak pada barang yang kita miliki, melainkan pada keberadaan hati? Kehidupan yang dijalani nenek-lah yang dapat disebut sebagai “kehidupan yang baik”. Yakni menikmati apa pun yang terjadi dalam hidup, menyantap dengan bersyukur makanan apapun yang ada di depan mata.

Iya, betul itu, Akihiro-san, bahkan sebelum kamu tulis begitu Nabi saya udah berpesan bahwa, ”(Hakekat) kaya bukanlah dengan banyaknya harta benda. Namun kaya (yang sebenarnya) adalah kaya hati (merasa cukup dan ridha dengan rizki yang diberikan).*

Okelah sodara-sodara sekalian, ini saja, intinya buku ini memang mengajarkan tentang kesederhanaan dan rasa bersyukur dalam hidup. Apalagi ditengah gempuran para kapitalis saat ini yang terus merayu-rayu kita untuk mau hidup hedon, untuk mau tamak dan untuk mau jadi ‘matre’ sejati. Maka buku ini menjadi bagus dan indah untuk dipinjam, dibeli, dibaca dan dipamer-pamerkan. Selamat membaca dah…


Affif/Januari 2012
Lagi di Meulaboh, lagi rindu sama pacar tercinta…


*HR. Muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar