Setting: Lugano - Swiss
“Arrividerci, Fabrian.”
Aku melilitkan sehelai syal yang menurut orang-orang katanya berwarna merah untuk menutupi leher sesaat sebelum melangkah pergi meninggalkan Lugano Dante Hotel. Tak terasa seminggu telah berlalu sejak aku menapakkan kakiku di Zurich International Airport. Lugano mulai mendinginkan dirinya saat ini dan makanya menyuruhku untuk memakai jaket dan syal.
“Kau benar-benar akan pergi sekarang?” Tanpa kuduga, Fabrian menatapku dalam dengan bola mata birunya. Mengapa bola matanya biru? Ah aku belum sempat menanyakannya, atau jujur saja, lebih tepatnya nggak peduli.
“Iya dong, Fab. Aku harus segera ke kampus, jualan makanan ini, takut telat. Kasihan mahasiswa Swiss International University (SIU) yang mau sarapan.” kataku bikin alasan sambil membuang pandangan ke kiri-kanan untuk mencegat taksi yang beruntung dan biar kelihatan aku itu sedang buru-buru, padahal sebenarnya tidak. Tatapan Fabrian yang tidak biasa tak terlalu kupedulikan.
Melihat tingkahku, Fabrian pun menjadi sok sibuk celingak-celinguk. Ia membuang-buang pandangannya untuk membantu itu mencari taksi tanpa kupinta. Mungkin sok care kupikir. Biasalah, laki-laki kalau ada maunya ya macam si bule kampung ini, cari perhatian.
Ah, akhirnya itu, lihatlah, ada taxi yang beruntung mendapatkan aku sebagai penumpangnya. Kenapa beruntung? Yah, karena aku ini jika turun dari taksi selalu ngasih duit ke sopirnya, sehingga si-sopir sering tersenyum senang meski aku tak senang.
Dan aku pun menuju kampus SIU yang tak terlalu jauh dari Lugano Dante Hotel di kota Lugano. Seandainya saja kalian sanggup untuk berjalan kaki dari hotel ke SIU, hm… yah bakal meminum waktu sekitar 65 menitan-lah. Atau kalau mau naik sepeda paling kuat mencicipi waktu sekitar 37 menit juga akan sampai. Nah, jika naik Taxi sepertiku barangkali bakal menjilat waktu sekitar 13,7 menit-an. Aku yakin bahwa penjelasanku ini sangat jelas. Tapi sueer, bahwa aku belum tahu berapakah waktu yang harus dihabiskan jika aku ngesot ke SIU. Beneran, aku gak tau!.
Oh iya, info sedikit-lah ya. Jujur, hmm… aku ini bukannya tinggal di dalam kamar-kamar mewah hotel Lugano tadi. Ini tidak seperti yang kalian bayangkan. Aku sebenarnya hanya numpang tinggal di ruang tunggunya hotel tersebut dan tanpa malu sudah kuanggap sebagai rumahku sendiri. Inilah berkat aktingku yang barangkali luar biasa, sehingga mampulah itu membuat manajer hotel terharu sehingga mengizinkanku tinggal sementara disitu. Yah, mau gimana lagi, biaya sewa kamar hotel atau apartemen disini mahal abis. Jadi ya begitulah, sekarang coba lihat sekarang aku disitu yang memasang tenda parasut berwarna merah di salah satu sudut ruang tunggu hotel. Wow.
Seminggu ini aku sedikit pusing dan sibuk untuk mengurus ini-itu untuk keperluan perizinan ini-itu untuk membuka kantin yang menjual menu khas Aceh ini-itu di kampus SIU. Rencananya aku akan menjual menu-menu seperti Gulai Asam-keu-eung, Bu Sie Itek, Gulai Kambing, Pliek-U, Mie Goreng Aceh, dan lain-lain. Termasuk juga macam-macam kue seperti Timphan, Pulut Bakar, Kue Lapeh, Boh Godok, dan lain-lainlah juga.
Nah, seminggu ini Fabrian-lah yang sering nolongin dan menjadi pemanduku di kota yang masih sangat asing bagiku ini. Awalnya kami bertemu secara kebetulan saja di lokasi pembuangan sampah di sebelah barat kota Lugano. Saat itu aku sedang tersesat dan Ia sedang melamun disitu. Dan disitulah terjadi pertemuan pertama kami. Setelah memberitahu dan mengantarku ke salah satu hotel di Lugano Fabrian menjadi sering datang berkunjung dan bertemu denganku dalam seminggu ini. Seolah dia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah dia sebagai lelaki yang baik-baik.
Fabrian itu anak bule sejati. Ini bisa dibuktikan dari rambutnya yang pirang, kulit merah macam kulit kerbau yang albino, badan tinggi jangkung dan sangat fasih berbicara bahasa Inggris, Jerman, Papua Nugini, Mexico, Yunani, Itali dan Tibet. Fabrian si bule pun ternyata cukup cakap berbicara dalam bahasa Indonesia, mirip burung beo yang sudah diajarin ngomong selama 17 tahun gitu. Ini berakibat aku dengan mudah bisa berkomunikasi dan menjadi lebih sedikit akrab dengannya dibandingkan dengan Obama dan bule lain di Lugano.
Pernah suatu waktu kami ngopi bareng di sebuah kafe kecil di pinggir kota Lugano. Aku iseng menanyakan dengan perasaan tidak kagum mengapa dia bisa menguasai banyak bahasa. Tapi pertanyaan itu malah membuat suasana santaiku menjadi tidak nyaman dan membosankan.
Bosan, karena ternyata itu merupakan cerita sejarah bertele-tele dan nggak penting tentang perjalanan hidupnya yang sangat panjang dan tidak berliku-liku. Aku malah menjadi sangat menyesali diri telah menanyakan hal tersebut padanya. Ah dasar Fabrian, kopi yang manis dan nikmatpun menjadi pahit rasanya.
Fabrian dengan bersemangat bercerita tanpa menghiraukanku yang mulai mual-mual karena bosan yang overdosis. Dia dengan bersemangat memulai kisah bagaimana ketika yang entah di tahun berapa dia telah dititip oleh orang tuanya ke panti anak-anak terlantar di kota Manchester, Inggris, karena orangtuanya yang kaya raya itu sibuk mengurus bisnis ini-itu. Menurut perkiraan waktu yang tidak akurat, saat itu ia masih berumur sekitar 1,75 tahunan dan ia sedang tidak lucu-lucunya karena ia memang bukan anak yang lucu. Sehingga orang tuanya tanpa berat hati menitipkannya ke panti tersebut. Oh nasib kamu Fabrian oh.
Perihal asal muasal dirinya ini terus diceritakannya selama berjam-jam. Ia berkisah bagaimana ia terus-terusan dibuang dari satu panti ke panti yang lain. Dari panti yang berada di kawasan Eropa hingga panti anak-anak terlantar yang ada di benua Amerika. Dari panti para anak yatim hingga panti pusat perbaikan mental pecandu narkoba pun sudah pernah ia tinggali.
Pernah ia bertanya kepada pihak berwenang di beberapa panti yang sempat menampungnya bahwa mengapa ia terus-terusan dipindah-pindah, bahkan menurutnya ini lebih tepat jika disebut ‘dibuang’. Dan ia mendapatkan jawaban yang nyaris sama. Bahwa ia dianggap sangat membosankan, tidak menarik untuk dipelihara. Dan Fabrian tidak syok mendengar jawaban tersebut.
Lebih dari 3 jam Fabrian masih terus bercerita. Dia adalah yang tidak peduli bahwa aku sudah menambah 3 gelas kopi, 2 gelas teh dingin dan telah menguap-nguap macam kuda nil yang diakibatkan oleh apa yang disebut dengan bosan yang mendalam. Dan akhirnya aku sadar dan mengerti mengapa ia terus saja dibuang ke berbagai Negara oleh panti-panti yang pernah menampungnya. Karena jika saja aku mampu, maka saat itu aku juga terpikir untuk segera membuangnya ke Somalia.
------------o0o--------------
Namun lihatlah, kini sudah sebulan di Lugano aku mulai mendapat masalah. Pertama, dari pihak hotel yang mulai muak dan mual denganku karena akibat menggunakan ruang tunggu hotel sehingga itu menyebabkan sofa dan karpet mereka kotor. Ditambah lagi tendaku yang merusak dekorasi ruang tunggu yang sebenarnya bergaya sangat eropa, elegan dan elit itu. Ditambah lagi mereka komplain dengan jemuran pakaianku yang sering bertengger di kamar mandi hotel tersebut.
Masalah kedua adalah, aku mulai bermasalah dengan pihak Administrasi Kependudukan Lugano karena nggak membuat KTP dan Kartu Keluarga setempat. Bahkan mereka sedikit mencurigai bahwa aku terkait dengan Organisasi Pendangkalan Budaya Lokal (OPBL) yang sedang mereka resah-risaukan. Mereka sangat kuatir makanan khas di Lugano tersingkirkan dengan masuknya makanan khas Aceh yang sedang gencar-gencarnya kupromosikan di kampus SIU.
Asosiasi Penjaga Kelestarian Kebudayaan Asli Lugano (APK2AL) yang anggotanya terdiri dari ibu-ibu PKK setempat juga mulai mencari-cari kelemahanku dan menyebarkan tuduhan macam-macam yang sangat manusiawi padaku. Kalian tahulah bagaimana kehebatan gosipnya ibu-ibu PKK yang sangat berbau intrik, tipu muslihat dan aura sirik iri dengki tersebut. Huff, Lugano menjadi semakin panas untuk kutinggali.
Masalah ketiga yang lebih parah adalah Fabrian. Iya, bule kampung itu. Beberapa puluh menit yang lalu ia melamarku dan aku mengutuk dengan keras perbuatannya itu sehingga terjadi adu mulut yang nggak penting. Kami jadi saling emosi ujung-ujungnya.
“Aku ingin menikahimu, pasti kamu kaget dan menerimaku…” katanya dengan pede saat itu. Padahal aku sedang menyuci sambil sejenak menghilangkan beban di kepala di pinggir sungai di tengah kota Lugano yang katanya romantis itu.
“Hah? Apa-apaan kamu, Fab?! Jangan main-main ah… Aku sedang malas bercanda ini.” jawabku ketus.
“Tidak main-main, jangan malas, ayo kita menikah sekarang...”
“Apaan sih, Fab, aku ini kan nggak menaruh perasaan apa-apa sama kamu. Kita ini sekedar teman saja!” sambil mengucek baju cucian dengan lebih kencang dan keras, aku mulai jengkel.
“Tapi aku menaruh perasaan apa-apa sama kamu, dan kita bukan sekedar teman saja, gitu...”
“Kita ini nggak cocok, Fab…” aku masih mencoba bersabar. Menahan diri.
“Mari kita cocokkan.”
“Aku ini beda dengan kamu, kamu bule…”
“Baiklah, aku akan operasi plastik kayak Maikel Jeksen untuk menjadi orang Indonesia”
“Aku ini benci bule, Fab.”
“Akan kubunuh semua bule…e-eh?! Eh, i-iya, akan kubunuh semua bule selain aku...”
“Aku ini ada penyakit yang kalau kumat suka makan kuping kelinci dan kuping laki-laki.”
“Iya sama, aku juga suka kuping meski kasihan si kelinci kehilangan kuping. Kita kompak dan cocok ya! Wow!”
“Aku tak mencintaimu, Fab…!”
“Maka cintailah aku.”
“Aku benci kamu.”
“Benci itu jangan, tak baik. Bencilah koruptor”
“Ah kau membuatku sakit kepala, Fab!!”
“Oleskanlah balsem panas”
“Arrrrrgghh… Plis deh, Fab!!!” Aku mulai tak tahan. Berang, sambil berdiri dan menghempaskan cucian dengan keras ke lantai. Jengkel sudah berada pada jidat. Aku berdiri di hadapannya dengan panas, sepanas bakso goreng yang baru saja digoreng dengan minyak mendidih.
“Gini Fab, aku ini sedang nyuci! Pake otak kalo mau ngelamar anak orang! Apa nggak pernah diajarin, heh?! Kau cuma nurutin moncong monyongmu saja!” Aku sudah kehabisan stok sabar, muntab menghampiri dan lupa dengan kata-kata sopan. Panas.
“Emang ngelamar anak orang gimana? Tahun lalu aku melamar anak orang di acara penguburan ibunya, eh juga kena damprat. Jadi gimana dong?”
“Aarrgghh apa ada otak Kau, Faab?!!”
“Ada.”
“Aaarggghhh…!!” Aku betul-betul mendidih, super muntab! Kutendang-tendang cucian ke sungai dengan keras saking dongkolnya. Meski setelah itu akupun buru-buru segera terjun ke dalam sungai lagi untuk mengutip baju itu agar nggak hanyut. Dan Fabrian cuma melihat santai aku yang berenang kesana-kemari mengutip pakaian tadi. Aarrgghh.
Dan akhirnya kutinggalkan Fabrian disitu sendiri. Dipinggir sungai itu, yang dia-nya saat itu sedang menunaikan hajatnya di dalam jamban dengan tentram tanpa rasa bersalah. Ingin sekali kusiram jamban yang sedang dihuni Fabrian itu dengan bensin dan segera membakarnya beserta isi didalamnya. Tapi untunglah masih ada setetes sabar didalam sanubariku yang terdangkal. Oh.
Dan kini aku telah kembali ke hotel. Aku mengambil keputusan untuk kembali ke kampung halaman saat ini juga. Aku semakin tak tahan dengan situasi yang membuat stres dan memusingkan ini. Kubereskan semua barang-barangku ke dalam koper, termasuk cucian yang masih basah tadi. Aku langsung menuju bandara. Dan pulang.
Affif Herman, 2011. Lagi dikantor, mau pulang.
Edisi Revisi, atas bantuan kepala sekolah menulis saya, bu Ade.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar