Senin, 05 September 2011

Episode Muhammad Ahlan (Bab: kawan-kawan yang berpengaruh terhadap saya itu...)

3. Muhammad Ahlan a.k.a Ahlan, yang mempengaruhi saya untuk nggak nyontek kalau ujian.

Lihatlah langit. Biru sekali dia ya. Iya. Saat itu dialah yang sedang bermain bersama awan-awan. Bersama burung-burung juga. Bersama angin-angin sepoi juga. Mudah-mudahan mereka senang, insya Allah. Eh, tak lupa mataharipun sedang ikutkan dirinya bersenang bersama mereka, cerah. Ceria juga. Sehingga maunya dengan begitu biar dibilang bahwa hari ini adalah indah.

Coba lihat pula itu ikan-ikan di sungai, di laut juga, di danau juga, di air terjun juga, di selokan-selokan juga, setiap hari ada saja yang menangkap mereka. Aneh. Padahal mereka bisa saja kabur berenang di lautan yang luas, atau bersembunyi diantara karang bebatuan, namun mereka tak mau. Mereka sengaja berenang di permukaan, sehingga mudah kelihatan dan tertangkap. Mereka sengaja juga agar mudah terpancing. Oh mereka bilang mudah-mudahan dengan begitu si-penangkapnya bisa dirinya bersyukur karena mendapati diri mereka yang sedap jika dimasak, apalagi dipanggang. Itu ikan, sekarang lihat itu daun. Lihat itu pohon-pohon. Lihat itu juga burung-burung. Lihat itu biawak di selokan. Lihat-lihatlah. Oh bumi, se-begitu bagusnya kamu ini dibikin Allah. Subhanallah.

Dan lihat, itulah juga saya dan kawan-kawan sedang melaksanakan ritual sakral semesteran, ‘final’ alias ujian akhir semester. Lupalah saya pada semester berapa kisah ini terjadi. Yang pasti saat itu bumi masih berputar. Yang pasti malam dan siang juga masih saling berbagi untuk bergantian. Yang pasti para tumbuhan masih berfotosintesis. Yang pasti juga saat itu malaikat yang ada di kanan-kiri masih terus saja mencatat amal baik dan buruk setiap anak manusia. Oh begitulah.

Maka ketika saya bernafas memakai hidung, saat itu-lah juga di ruang kelas yang tidak mencekam saya dan kawan-kawan duduk di kursi bukan di meja. Duduk rapi. Kami bersiap menemui beberapa soal dari mata kuliah Mekanika Tanah. Semua manusia yang di dalam ruangan saya lihat begitu antusias dan bersemangat menghadapi ujian ini. Seolah-olah kalau ujian ini berhasil mereka bakal masuk surga. Biasa aja-lah. Saya saja, kalau saya mau, bisa saja saya buka baju dan meninggalkan kelas, tidak mengikuti ujian ini. Tapi herannya saya gak mau berbuat begitu.

Dan tepat-lah di belakang saya dia duduk disitu, tengoklah, yaitu seorang anak manusia. Bukan anak Jin–Alhamdulillah-. Karena kalau dia anak jin pasti nggak perlu ikut ujian final, kan? Maka adalah dia itu yang bernama Ahlan. KTP lengkap menyebutnya dengan Muhammad Ahlan. Seorang anak dosen senior di Fakultas Teknik. Yang baik perangainya. Yang rajin dan tekun orangnya. Yang terjaga shalat shubuh berjamaahnya. Yang dia telah menjadi juga salah seorang ketua bidang di salahsatu organisasi di Fakultas Teknik yang sedang saya Imami saat itu.

Saat itu, saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa ketika final sedang berlangsung pasti si-pengawas ujian sedang bernafas. Saya juga yakin semua peserta ujian final di dalam ruangan juga sedang bernafas. Ya, saya yakin sekali itu, insyaAllah. Penjelasan saya ini semoga menentramkan hati kalian yang barangkali sedang bertanya apakah kami masih bernafas ketika ikut ujian final itu? Maka jawabannya; iya, sesungguhnya kami semua sedang bernafas saat itu! Puas?!! #mohon abaikan paragraf ini…hehe

Ketika ujian berlangsung waktu semakin menunjukkan bahwa dia itu adalah cuek. Sombong sekali, ia terus berjalan tak peduli. Sehingga tanpa terasa 3600 detik lebih telah berlalu meninggalkan kami. Entah siapa yang menghitungnya. Pasti si-Jam yang bertengger di dinding kelas kami itu yang punya kerjaan! Dasar Jam, kerjaannya ngitung waktu terus! tak bisakah ia istirahat sejenak atau ngerjain kegiatan positif yang lain?! Huff…

Melihat waktu yang semakin menipis sebagai ketua yang baik maka saya bikin diri saya peduli kepada kondisi Ahlan di belakang saya itu. Kepedulian kepada sesama tentulah baik, apalagi peduli kepada kawan yang sedang dilanda ujian final begini. Apalagi Ahlan adalah anggota saya, wajar jika saya membantu, tentu dia akan kagum dengan kedermawanan saya. Ya, saya rasa demikian. Hehe.

“Gimana, Lan? Nomor sekian dan sekian udah?” Saya berbisik. Tidak mungkin saya teriak.

“ Belum, Fif” Ahlan ikut-ikutan berbisik. Ah, dasar Ahlan, gak kreatif!

“Oh, ane udah ni…ente lihat lembar jawaban ane aja. Bisa lihat, kan?” Berbisik sambil tetap waspada. Satu ekor mata berkomunikasi ke Ahlan di belakang dan yang satu lagi waspada was-was mengecek aktifitas pengawas ujian di depan. Aman.

“Gak apa, fif, ane kerjakan yang lain dulu”

“Ok, ntar klo udah masuk ke soal yang ini ente bilang sama ane ya…”

“ ….” .Ahlan cuma mengangguk tanpa suara. Karena ‘mengangguk’ memang tak butuh suara.

Kami pun kembali khusyuk menatap dan berkomunikasi dengan soal-soal ujian. Dan waktu lagi-lagi dia berlalu sok tak peduli. Ecek-eceknya dia sombong sekali begitu. Sehingga tinggallah waktu sekitar 10 menitan terakhir. Dialog saya dan Ahlan seperti diatas kembali berulang dengan redaksi yang hampir sama. Sikap Ahlan masih rada-rada sama. Ia tetap saja memberi sikap ngambang dan tidak konkrit, berkilah bahwa dia masih sedang mengerjakan soal yang lain. Saya heran dan mengkuatirkannya, karena waktu yang semakin menipis. Tapi oke-lah, semoga masih ada waktu.

Dan ketika kami masih asik bernafas maka tibalah saat itu, saat yang katanya waktu ujian sudah habis. Ahlan dan saya mengumpulkan lembaran jawaban kepada pengawas yang katanya ketat, padahal nggak. Sambil kami bikin badan kami keluar dari ruangan ujian melalui pintu, maka sesungguhnya bertanyalah saya padanya. Iya, kepada Ahlan.

“Gimana tadi nomor ini dan itu, siap?”

“ Gak, fif...” Ahlan menjawab dengan tenang dan senyum. Ahlan memang selalu begitu dia. Tenang-tenang saja selalu.

“Hah?! Gak siap?! Kok gak ente bilang, kan bisa liat jawaban ane, minimal liat rumusnya aja.”

“Nggak apa-apa…” Ahlan senyum-senyum ramah macam gadis penjaga kasir di supermarket.

“Jadi gimana dong soal nomor itu tadi?”

“Gak ada, fif...”

“Kosong jadi? Gak ente isi?!” saya menahan diri dari kaget dan tidak naik pikir.

“He…he...he…” mengangguk malu-malu, seolah-olah dia adalah perawan yang saya sedang mencoba melamarnya. Dan hari itupun selesai dengan saya yang masih terheran dengan perilaku Ahlan.

***

Di ujian-ujian berikutnya saya menjadilah dia yang penasaran, yang memperhatikan dia. Saya lihatlah dia yang di setiap ujian ternyata memang adalah dia yang selalu berusaha sendiri. Tidak dia bikin dirinya meminta bantuan ke kanan-kiri atau ke depan-belakang seperti lazimnya yang telah itu diperbuat oleh masyarakat yang dilanda ujian. Ahlan tetaplah dia yang kosongkan lembaran jawabannya ketika tidak bisa dia menjawab suatu soal. Dia tetap santai dan ringan saja begitu. Tidak dia tampilkan mukanya gundah kuatir jika tidak bisa mengisi lembar jawaban. Wow. Oh dia sudah berada pada kualitas manusia yang sudah bisa menghargai dirinya sendiri apa adanya. Meski apapun yang terjadi. Ia sudah tidak memandang nilai ujian diatas kertas itu sebagai penentu kemuliaannya. Toh buat apa nilai A jika ternyata didapat dengan jalan yang kotor dan rendah. Wow wow wow ini manusia levelnya sudah tinggi.

Aih Ahlan, tahukah kamu apa yang saya pikir saat itu? Saya menjadilah dia yang diam-diam heran dan kagum. Juga diam-diam iri. Di dunia yang ‘aji mumpung’ begini kamu masih berlaku seolah-olah dunia ini masih bermukjizat. Dunia yang segala sisinya sedang dibangun dengan ketidakjujuran begini kamu masih berlaku lurus seolah kamu itu masih di jaman Nabi. Oh.

Menjadilah saya itu yang diam-diam berpikir terus dalam malam-malam ke depan. Mengapakah kamu bisa begitu saya tidak, wahai Ahlan? Tak takutkah kamu nilai IPK yang rendah? Tak takutkah kamu untuk mengulang lagi Mata kuliah itu tahun depan? Tak berpikirankah kamu akan cibiran manusia lain sebagai seorang anak dosen senior di Teknik Sipil namun bernilai rendah? Ow ow ow, kamu membikin saya heran Ahlan, ah iya lebih tepatnya, iri.

Begitulah, saya akhirnya ditantang oleh diri sendiri. Saya menjadi dia yang begitu kagum dan iri dengan siapa itu tadi… iya, Ahlan. Setelah iri itu membuat jatuhlah saya ke dalam perenungan-perenungan diri. Sehingga berkeputusanlah saya bikin diri bahwa mau tidak mau saya harus meniru itu sikap Ahlan. Apapun itu yang dibilang orang sebagai konsekuensi, harus berani dihadapi.

Dan, Alhamdulillah. Ternyata memang menyenangkan. Meski awalnya saya menjadi dia yang kewalahan ketika ujian. Dan juga menjadi dia yang dipandang ‘sombong’ akibat diri yang tidak mengekspor dan mengimpor jawaban ke “negara-negara tetangga”. Namun akhirnya semua itu berjalan baik-baik saja. Tak ada takut meski harus mengulang mata kuliah. Tak ada itu sesal lagi meski nilai rendah setelah usaha maksimal. Oh meski ini hanya hal kecil, namun jujur itu ternyata memang bagus sekali untuk hidup. 

* Ah, Terimalah kasih, wahai Ahlan, semoga kamu diberkahi Allah. Aamiin77x…




Affif Herman, ST
Presiden dan Imam Besar Genk Motor Antar Jemput Istri (Genk Motor AJI)
Banda Aceh, 22 Juni 2011, sedang tengah malam.

3 komentar:

  1. woww...woww...saya kagum sekali dengan ahlan,
    saya waktu ujian juga tidak suka nyontek kawan kiri-kanan, karena saya selalu membawa textbook sendiri dan Mr. Google
    hehehe

    BalasHapus
  2. salam kenal ya, semoga terus berkembang dan ditunggu postinglainnya (PENGETAHUAN PINTARs BLOGWALKING)

    BalasHapus