Ngomongin
masalah rokok emang (jika mau) akan memakan waktu yang banyak. Membahasnya akan
bersinggungan dengan banyak aspek dan berbagai kepentingan. Sejarah, ekonomi,
sosial, gaya hidup dan kesehatan, bahkan masalah moral bisa kita kaitkan dengan
urusan hisab-menghisab ini.
Di
balik banyaknya pengaruh negatif yang disebabkan oleh rokok, dan dibalik
berbagai cara pembelaan oleh para pemilik bisnis ini, ada hal yang membuat saya
pribadi sangat merasa prihatin. Yakni masalah anak-anak muda dan remaja yang sudah
merokok sejak dini. Bahkan anak-anak yang masih menduduki Sekolah Dasar sudah
mencoba-coba merokok meski masih dalam taraf main-main atau iseng. Wajar jika sampai
timbul istilah "Indonesian's Smoking Generation" pada salah satu
artikel yang pernah saya baca. Yang menggambarkan betapa memprihatinkannya
perilaku merokok di kalangan kaum belia di Indonesia.
Saya
yakin secara umum anak-anak muda/remaja kita yang baru mulai merokok setidaknya
tahu bahaya rokok. Apalagi setiap bungkusan rokok memiliki sejenis peringatan
efek dari perbuatan tersebut, bahkan disertai gambar-gambar horor. Namun jika
kita perhatikan, gambar-gambar yang menakutkan di bungkusan tersebut seolah tidak
memberikan pengaruh yang berarti bagi para remaja kita. Mereka juga tidak
peduli bahwa jumlah kematian akibat asap rokok bahkan melampui kematian akibat
AIDS. Yang menyebabkan 3 juta kematian pertahun pada 1990-an. Bahkan menurut
harian Kompas (31 Mei 1996) diperkirakan antara tahun 1995 hingga tahun 2000-an
akan terdapat 15 juta kematian karena asap rokok. Belum lagi kita uraikan
efek-efek mengerikan yang lain yang memicu penyakit seperti kanker pada saluran
pernafasan, diabetes, jantung koroner, gangguan pada paru-paru dan lain-lain. Para
remaja tetap saja tak berdaya dihadapan adiksi nikotin dan gencarnya
mitos-mitos kehebatan rokok pada iklan-iklan di berbagai media.
Di
sisi yang lain perusahaan-perusahaan rokok kok rasanya 'pede' saja membubuhi
peringatan-peringatan (berserta gambar) dari efek merokok tersebut. Seolah
memang tak akan menggangu bisnis mereka. Namun fakta di lapangan memang
berbicara demikian, peminatnya malah bukannya berkurang, tetapi terus bertambah
dari hari kehari. Persentase perokok baru, khususnya di negara-negara
berkembang terus naik dan menjanjikan.
Perusahan-perusahaan
rokok multinasional terlihat betul-betul sedang bersemangat menjadikan negara
berkembang di Asia-Afrika, dan secara khusus Indonesia sebagai lahan baru dalam
mengeruk keuntungan, mengingat laba yang mereka peroleh dari negara-negara Barat
terus berkurang. Melihat Indonesia yang memiliki jumlah manusia yang melimpah, tentu
potensial untuk menjadikannya sebagai masa depan bisnis mereka. Sehingga tak
berlebihan jika para aktifis anti rokok sampai-sampai mengeluarkan statemen
bahwa ekspansi perusahaan rokok saat ini sebagai Perang Candu abad 20.
Dunia
periklanan industri rokok memang paling lihai dalam 'merayu' mangsanya agar
selalu istiqamah atau memulai menghisap rokok. Pariwara rokok bertubi-tubi
merayu dari berbagai arah dan tanpa mengenal waktu dan tempat. Iklan di
televisi, radio, billboard-billboard
raksasa di jalanan, event-event seni dan kebudayaan. Bahkan pada daerah-daerah
yang terpencilpun industri ini menjajakan dagangannya dengan jumawa. Ah iya,
saya hampir kelupaan menambahkan, bahkan pada event-event olahragapun iklan
rokok menjadi rajanya sponsor. Sebuah ironi bukan?
Karena
iklan adalah ujung tombak industri ini maka wajar mereka menghambur-hamburkan
uangnya dalam dunia periklanan ini. Dr. Ronald Hutapea Ph.D di bukunya 'Why
Rokok?' menyebutkan biaya yang digunakan untuk mempromosikan rokok di seluruh
dunia (pada tahun 1993) mencapai 2,5 milyar dolar setara dengan sekitar 5
triliun rupiah dengan kurs saat itu. Jumlah itu cukup untuk memberi imunisasi
lengkap pada bayi-bayi yang baru lahir di seluruh dunia untuk melawan penyakit
yang masih menghantui seperti polio, difteri, tetanus, campak dan TBC. Dan
ternyata hampir di semua negara biaya promosi rokok ini jauh lebih besar
daripada dana pemerintah untuk kesehatan. Ironis.
Akhirnya
iklan-iklan penjaja nikotin ini sukses besar membujuk perokok-perokok baru yang
sebagian besar justru berusia masih muda dan sangat belia. Ditambah lemahnya
regulasi masalah rokok ini di negara Indonesia membuat industri ini makin
semangat "menipu" anak-anak muda dengan ilusi bahwa merokok adalah
lambang kejantanan, kenikmatan, kebebasan, citra dan gengsi.
Semoga
berbagai pihak, baik dari kalangan masyarakat, relawan/aktifis, sampai ke
Legislatif dan Eksekutif di negara ini lebih menaruh perhatian serius dan
saling bekerja sama dalam masalah ini. Jangan sampai terbentuk generasi muda
yang lemah secara fisik, tak kritis, dan mudah tergoda oleh hal-hal yang justru
merusak masa depan mereka sendiri. Ketegasan Pemerintah sangat kita harapkan,
betul jika negara kita memerlukan devisa dan pajak, namun tentu tak bijak jika
harus mengorbankan masa depan generasi muda kita.
Sekian.
Bandung, 22 September 2015
Affif
Herman