Bab Ngawur III: Nemu Pertama
Siang itu Jo tentu tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi hari itu. Persis seperti Obama, Ban Ki Moon dan SBY yang gak pernah tau apa yang bakal terjadi sama Jo. Yang Jo tahu hari itu adalah rabu yang panas sekali di Darussalam. Wahai Matahari, kamu sengaja ya begitu, biar orang-orang jadi kepanasan? Iya katanya, Allah memang bikin dia begitu katanya. Justru berbahaya bagi bumi kalau saya tidak dibikin begini katanya. Trus biar orang juga tau kalo neraka itu ntar bakal lebih panas, Om. Oh, oke, pinter kamu ya.
Dan debu, adalah dia dipanggil ‘debu-debu’ kalau lagi ngumpul rame-rame. Mereka juga sibuk sekali di simpang Galon, berterbangan riang begitu di seputaran gerbang masuk ke kampus Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) itu. Nempel suka-suka di muka siapa saja yang dia mau. Yang mengakibatkan produk-produk pembersih wajah jadi laku. Nempel-nempel juga di baju-baju mereka. Biar nanti pakaian jadi banyak debu, jadinya laundri pun jadi ada yang mau datang oleh mereka yang merasa dirinya sibuk atau malas nyuci.
Di saat begitu pula ada Jo yang harus berjalan kaki dari rumahnya di Sektor Timur ke Simpang Galon. Sengaja Jo kesana agar dia bisa mendapati yang namanya Labi-labi (angkot), yang akan bersedia mengantar dia kesana. Kemana? Ke tujuannya, ke Pasar Aceh di pusat kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, di Pulau Sumatera, di Indonesia yang katanya kaya raya bak surga dunia ini. Karena katanya ini ‘surga dunia’ makanya siapa aja bisa keluar-masuk gitu, dari tukang tipu kelas kecil, sampe tukang tipu-tipu kelas super wahid. Dari yang tukang ngorup sampe yang tukang zina. Dari yang beriman sampe yang kafir. Semuanya boleh gitu masuk ke surga di dunia ini. Tapi ntar akan beda ceritanya kalo surga di akhirat, gak sembarang kepala bisa rasain hidup disana.
Lho? Eh, tunggu, tunggu! bukannya Jo sangat kaya raya katanya? Kenapa dia mesti nyari Labi-labi? Masak orang yang kaya raya gak punya mobil? Masak Jo kalah sama Dudi Herluno yang katanya seleb itu?
Iya…iya, tenang, sebagai penulis cerita ngawur ini, saya sudah mencoba untuk memaklumi jika kalian jadinya kebingungan dan bertanya begitu dalam perkara labi-labi ini. Jeritan hati kalian yang kebingungan itu wajar dan normal. Sebenarnya ada kejadian yang kalian tidak ketahui memang. Awalnya saya sengaja menutup-nutupinya, tapi kalian malah terus bertanya-tanya kebingungan begitu, seolah-olah kalian mau nunjukkin bahwa kalian adalah pembaca yang kritis, padahal cerewet. Jadinya ya mari saya kasih kalian tahu kejadian itu. Semoga nanti kalian jadi orang yang banyak tahu.
Ceritanya begini. Pada suatu hari mobilnya Jo ada kejadian yang tidak diduga-duga oleh Jo dan mobilnya. Mobil yang dia parkir di depan rumahnya itu semua ban-nya diambil diam-diam tanpa izin oleh entah siapa itu dimana dia. Se-isi komplek perumahan mewah itu gak geger dengan kejadian tersebut. Suasana menjadi terasa tidak mencekam, karena memang gak horor. Tak ada satupun warga yang juga berani ketawa-ketawa, karena memang gak ada yang lucu. Biasa aja mereka, namanya juga kan orang kaya raya, hilang satu beli seribu.
Polisi pun segera melakukan investigasi, dan semua warga kompak dan sepakat bahwa perbuatan ini hasil buah pikir dan adalah karya dari seorang yang dipanggil sebagai ‘Maling’. Polisi sepakat dengan kesepakatan warga tersebut. Namun sebagian kecil warga ada juga yang berasumsi kalo pelakunya adalah Zionist yahudi, karena mengacu ke perangai mereka yang mendapat pujian sebagai Maling Sejati. Namun kecurigaan ini tak bertahan lama, karena sebagian besar warga menolak dengan keras julukan tersebut, dan merasa tak pantas julukan itu dikasih ke Zionist Yahudi. Karena sebagian besar warga tersebut yakin bahwa Zionist yahudi itu lebih rendah, lebih loba, lebih serakah, lebih tamak daripada perangai maling. Pak Polisi juga mengangguk sepakat.
Lalu warga juga kompak dan sepakat bahwa mereka tidak tahu dan tidak mengenal siapa Maling itu, apa akun Pesbuk/twitternya, berapa nomor hapenya, dimana dia tidur-tiduran kalo lagi capek, atau di mesjid mana dia shalat untuk sekedar menyamarkan kedoknya di mata publik. Dan bapak Polisi lagi-lagi ikut sepakat dengan para warga tersebut. Disini terlihat bahwa warga dan Polisi sangat kompak dan saling bekerjasama, akur istilahnya. Sungguh ini sebuah pemandangan kehidupan sosial yang sangat Pancasilais dan UUDis Empat Limais.
Tak hanya ban, Maling rupanya juga dengan sukarela mencopot setir mobilnya Jo. Dan kaca belakang mobil Jo yang berdebu juga sempat-sempatnya ditulisin sama si-Maling pake jarinya, kayak ninggalin pesan gitu. “Affif love Munawwarah” gitu tulis si-maling, seolah-olah si-Maling mau memberikan kesan bahwa Affif-lah yang melakukan perbuatannya itu. Perilaku Maling ini sudah dikenal sejak zaman dahulu kala dengan istilah “lempar batu sembunyi tangan”. Tapi tentu saja Jo paham, bahwa Maling hanya mau mengelabui dan menguji kecerdasannya. Menurut Jo, Affif gak bakalan dia begitu. Dia itu oke dia, gumam Jo, gak bakalan si-Affif nulis pake jari begituan di kaca mobilnya, tapi pasti pake cat semprot!! Jadi usaha untuk ngalihin isu oleh si-Maling jelas sia-sia, persis seperti yang pepatah pernah bilang, “gara-gara nila setitik, hancur susu sebelanga”. Pinter… (maksudnya, pinter ngawurnya!hehe)
Wahai engkau Maling, mengapakah dikau tega nian memisahkan ban mobil Jo dari badannya?
“Buat beli Blackberry dan laptop, Om” katanya.
Belumkah punyakah hape ya dikau, wahai Maling?
“Punya Om, cuma hape saya yang sebelumnya-kan harganya 200 ribuan, Om, gak oke. Gak bisa BB-an, FB-an, Twitteran, dan lain-lain yang oke-oke, Om” katanya.
Jeh, yang penting kan masih bisa untuk dikau bikin dia menelpon dan SMS gitu, Mal!!…trus laptop itu untuk apa, kerja?
“gak Om, buat gaya aja ntar waktu nongkrong di warkop-warkop, kan pakek leptop gitu jadinya keliatan ecek-eceknya kayak anak modern jaman kini yang berpikiran Global. Eksis gitu, Om… Kalo dibilang butuh yah gak butuh sih, tapi semua orang pada makek laptop Om, masak saya gak makek…yah, palingan bisa buat nonton pilem dan maen poker-lah” katanya mantap.
Owalah, Mal...gak segitunya juga-lah.
“Iya, serius, Om… kan saya ini sudah terpengaruh dengan gaya hidup yang harus nunjukkin kesan ke orang-orang bahwa saya itu gawul, sukses dan eksis gitu, Om… Apalagi ini kan lagi jamannya gaya-gayaan hidup hedon Om, pamer ini pamer itu biar keliatan oke gitu… Nah untuk ngeladeni nafsu saya yang begitu, ya saya nyolonk Om, mau gimana lagi, ngorup saya gak ada bakat, Om…” katanya tegas.
Aih mak, Mal, tak ada itu untung-untungnya dikau meladeni ‘kesan sukses’ atau apalah dari orang lain, apalagi sampe lakuin yang haram gitu… Kayak jadi korban sinetron-sinetron sampah juga kamu, Mal.
Diam saja dia. Buka Pesbuk, trus apdet status kata-kata mutiara.
Okelah, kita tinggalin saja si-Maling korban budaya hedon bikinan kapitalis itu. Mari kembali ke si-Jo lagi, soalnya kalo terus-terusan gak fokus gini saya jadinya makin ngawur dan bertele-tele tanpa arah gitu.
Cuma jadinya Jo kan gak bisa dong pake mobil siang ini. Jadinya Jo mesti jalan kaki. Jo gugup, salah-tingkah dengan kondisi begini, Jo gak pernah jalan kaki di tengah terik begini. Jo adalah lelaki yang peduli abis sama kulit dan performance-nya. Konon, kulitnya Jo sangat jarang bisa disentuh secara langsung oleh sinar matahari. Bahkan kalau mau di dengar-dengar, bahwa ada burung yang bawa kabar kalau Jo rutin tiap minggu luluran dan mandi kembang. Ini semua Jo kerjakan demi kesehatan kulitnya. Jo bukan lelaki sembarangan dalam merawat kulitnya.Memang terkesan Jo adalah mentel, tapi mau gimana lagi, memang Jo sudahlah begitu dia orangnya. Orang kaya sih.
Dulu pernah kulit Jo lecet ketika ngupasin Durian. Jo langsung panik setengah mati, menjerit-jerit kayak orang kesurupan. Berlari keluar rumah dan berguling-guling di jalan di depan rumahnya, persis kayak kerbau yang lagi guling-gulingan di kubangan lumpur. Ini Jo lakukan biar semua orang tau kalo kulit Jo lecet. Memang gak penting bagi orang-orang, tapi bagi Jo itu penting, biar eksis katanya. Trus Jo apdet status di pesbuk, Jo nulis, “Aduh, kulit guwe lecet nich…pake obat apa eaa? ada saran dari temen2 gag??” Lalu setelah itu segera Jo perintahkan sopir pribadinya untuk membawa Jo ke IGD RSU Zainal Abidin. Dan seperti dugaan kalian, bahwa gak ada satupun dokter yang masih waras yang ngeladenin Jo. Sopir Jo saat itu mau ketawa, tapi tertahan, takut dipecat di tempat.
*****
Jujur saja, Jo jadi nekad begini, panas-panas, keluar nyari labi-labi karena Jo ada hal yang sangat penting yang harus dia kerjakan di sana, di Pasar Aceh. Ini sangat penting dan gak bisa Jo tunda, apalagi kalo sampai telat nanti. Bisa-bisa kredibilitas Jo dipertanyakan oleh orang yang dia bikin janji di Pasar Aceh itu yang katanya Bisnisman dari luar negeri, dari Ethiopia kabarnya. Ada transaksi penting yang harus segera Jo lakukan. Meski panas begini makanya Jo harus pergi tetap, meski juga harus jalan kaki dari Darussalam ke Pasar Aceh, tekad Jo terdengar mantap. Tapi hatinya ragu-ragu.
Di Simpang Galon Jo segera saja mencari abang Sopir labi-labi yang mau ikhlas untuk mengantarnya nanti. Dan Alhamdulillah Jo memang mendapati dirinya berhasil menemukan labi-labi yang sedang markir, nungguin penumpang untuk mau diajak jalan-jalan bersama dia dari Darussalam ke terminal labi-labi di pusat kota Banda Aceh. Jo segera menghampiri labi-labi itu disana.
Sambil jalan, Jo melihat di sebelah kiri kaca labi-labi itu ada gambar. Gambar laki-laki yang raut wajahnya dibikin sedih. Diatas kepala gambar laki-laki yang sedang bersedih itu tertulis “Cinta Tak Berbalas”. Ooo…wajar dia bersedih kata Jo dalam hati.
Di sebelah kanan kaca labi-labi ternyata juga ada itu tulisan, dan gambar juga. Gambar bendera dua biji itu. Diikuti kalimat juga disampingnya. Yang paling atas rupanya itu dia bendera Palestina, diikuti dengan kalimat, “Free for Palestine!!”. Dan tentu tak salah lagi gambar di bawah bendera Palestine itu, di baris kedua itu, benderanya Israel. Negara pendusta yang paling serakah dan penjajah kelas wahid di planet bumi ini. Namun di bendara Israel ini ada garis merah tebal menyilang secara diagonal, semacam simbol yang bermakna ‘dilarang’ begitu. Disamping bendera negara gak tau malu itu tertulis, “Boycot Zionist product, beu hanco awak nyan, Tengku!!”. Wow!
“Abang sopir siapa namanya ya?” Tanya Jo ketika menghampiri labi-labi itu. Sok akrab, sok hangat.
“Kota, dek?” jawab abang sopir yang malah balik dia bertanya. Maksudnya bertanya apakah Jo mau ke kota bareng dia. Tapi ketus dia.
“Abang sopir namanya siapa ya?” masih sok akrab, sok kenal, sok hangat.
“Ke kota, dek??” si-sopir masih dengan pertanyaannya, gak open sama pertanyaan Jo. Masih acuh, sikap khas kebanyakan sopir lokal yang menganggap penumpang hanyalah seonggok duit 2-3 ribu rupiah. Jadi penumpang itu gak perlu terlalu dilayani.
Merasa pertanyaannya gak di gubris, Jo jadinya pergi dan memilih labi-labi lain yang juga markir didekat situ. Dia merajuk pertanyaannya tidak dijawab sama abang Sopir ‘Cinta Tak Berbalas’ tadi. Jo pun langsung naik ke labi-labi yang lain tadi. Abang sopir ‘Cinta Tak berbalas’ heran juga dia kenapa calon ‘uang 3 ribu’nya malah pindah ke mobil orang lain. Dia gak nyadar kalo pelayanannya tadi kurang oke sama pelanggan.
Jo duduk di dekat pintu masuk disebelah kanan. Jo berharap biar ntar dia dekat sama angin, soalnya di dalam labi-labi ini pengap udaranya. Apalagi Labi-labi ini dibiarin dia markir dipinggir jalan, dibawah terik matahari. Sempurna sudah bagi siapa saja dia yang mau mandi sauna.
Dalam kondisi yang tersiksa akibat kepanasan, akhirnya Jo baru sadar ternyata ada orang lain di dalam labi-labi itu. Tak salah lagi dia pasti perempuan, soalnya tak memakai peci dia, tapi jilbab. Tentu awalnya Jo belum tau dia bahwa adalah Agnis Nomica itu, yang nanti malah akhirnya membikin Jo menjadi terinspirasi untuk berusaha mau merubah dirinya. Agnis duduk di ujung bagian terdalam gerbong labi-labi. Bersandar dia di dinding pembatas antara penumpang dengan sopir. Yang duduknya memotong silang secara diagonal dengan posisi Jo.
Kalian pasti gak tau jika saya gak kasih tau, bahwa rupanya Agnis disitu sedang sibuk mengulang hafalan Qur’annya sambil nunggu labi-labi ini dibikin jalan. Jo awalnya dia merasa aneh mengapa mulut perempuan itu komat-kamit, suaranya samar-samar, kirain lagi mau menjampi-jampi dirinya. Namun Jo baru ‘ngeh’ ketika Jo liat si-perempuan itu kadang-kadang membuka-buka Qur’an saku yang sedang dipegangnya. Terus merem sambil komat-kamit lagi. Buka Qur’an lagi, merem komat-kamit lagi, trus buka Qur’an lagi, merem komat-kamit lagi, trus buka Qur’an lagi, merem komat-kamit lagi. Halah, pokoknya begitu terus-lah, kerjaannya berulang-ulang, masak kalian gak ngerti!. “Oh dia lagi ngafalin Qur’an eaaa?!!” teriak-teriak jo dalam hati. Jujur, Jo heran juga sih, ngapain dia ngafalin Qur’an sih?.
Sekitar 15 menit sudah berlalu, Jo sambil pura-pura cuek tapi dia sesekali merhatiin itu perempuan yang sengaja berjilbab, dan tanpa Jo sadari benih-benih kagum rupanya ada yang terlepas dari tangan Jo dan tersemai begitu ke hamparan hatinya Jo. Ow ow ow…
Jo heran saja dia, kalo sama cewek-cewek yang lain dia bisa langsung nyapa dan cekikik-cekikikan bareng walau belum kenal, tapi kalo sama perempuan yang begini Jo rasanya segan benar. Biasanya juga kalo ada cewek-cewek ABG gaul yang rata-rata bermahzab Labil plus alay, mereka akan langsung bertanya nomor Hape Jo, minta PIN BB juga dan minta foto bareng sama Jo. Tapi kenapa perempuan ini gak peduli sedikitpun sama ke-modisan, kemulusan kulit, dan ketampanan Jo yang kinclong, yang menurut Jo persis seperti para boysband atau Selebritis dunia. Persis gitu seperti artis-artis Korea Utara, Myanmar dan Vietnam. “Apa tuh cewek gak normal eeaaa?!” teriak-teriak Jo dalam hati. Kenapa ya Jo mesti teriak-teriak di dalam hati? Entahlah, sayapun gak tau persis.
Jilbab yang menutup rapat tubuh perempuan itu juga bikin Jo heran. “Ini kan sedang panas-panasnya, kok dia tahan eaaa? Modelnya juga kok gak modis, kan sekarang udah banyak itu jilbab-jilbab modis warna warni yang bisa dikreasikan sesuai dengan trend jaman. Kok dia masih berjilbab polos dan hanya menerus panjang hingga ke pinggang eaa? Kan gak modis banget, gak gawul, githo…” Raungan heran jo dalam hati.
Namun sedikit-dikit malah jadinya Jo itu salut juga dia. Ada gitu ya perempuan yang tidak terlalu peduli dengan tren masa kini. Mungkin ini yang namanya megang prinsip gitu ya? Atau ini zuhud? Atau ini yang namanya tawadhu? Atau mungkin ini Qana’ah? Atau Ghibah? Tanya-tanya bingung Jo dalam hatinya, lagi-lagi sambil teriak-teriak.
Jo jadinya asyik sendiri diam-diam mencuri-curi pandang ke perempuan yang tak lain adalah Agnis Nomica tersebut. Jo biasalah dia umbar-umbar pandangannya begitu. Mana tahu itu Jo kalo agamanya nyuruh jagain tuh pandangan matanya sama yang bukan mahram. Jo kan merasa dia orang Islam yang berpikiran modern, maju, pergaulan luas, tercerahkan, sehingga Jo mana itu akrab sama istilah-istilah ‘menundukkan pandangan’ begitu. Kaku dan konservatif sekali pikirnya. Sementara itu Agnis Nomica asyik komat kamit dengan hafalannya gak peduli sekitar. Dia mana tau kalo Jo rupanya mulai menghidupkan debar-debar irama di hatinya. Gara-gara debaran hatinya, bagi Jo labi-labi sekarang jadinya dingin deh, serasa di dalam kulkas. Bunga-bungapun rasanya sedang bermekaran, dan mungkin langit di luar sana juga sedang berpelangi. Ah serasa sedang berdua di mobil pengantin, bayang-bayang Jo. Gawat…gawat, bujang 37 tahun itu mulai ngawur. Jo mulai melamun, senyum-senyum sendiri dia. Edan.
“Kriiingg!...kriiiing!!” Jo sedikit kaget, balon lamunannya meletup buyar. Hape Agnis teriak-teriak memanggil-manggil pemiliknya.
“Wa’alaikumussalam…iya, kak?” jawab Agnis. Jadinya Agnis ngobrol begitu dengan orang yang entah dimana yang dengan sengaja membikin Hape agnis teriak-teriak. Sepertinya ada yang sedikit curhat setelah dia basa basi sama Agnis. Jo ya nyolong-nyolong dengar dia sama Agnis yang lagi ngomong sendiri sama hapenya. Alhamdulillah, Agnis tidak dituduh gila karena ngomong-ngomong sendiri, senyum-senyum sendiri, ngangguk-ngangguk sendiril. Hape telah menyelamatkan Agnis dari tuduhan gila orang-orang sekitarnya.
“Iya, kak, benar yang kakak bilang, banyak dari kita udah gak nyadar mana yang jadi kebutuhan, mana yang cuma keinginan… bahkan yang udah ngaku aktifis da’wah pun udah gak kalah hedon gaya hidupnya, kak…” Agnis ngomong bareng sama hapenya sambil sesekali ngangguk-ngangguk, dia pikir orang yang di dalam hapenya itu bisa liat dia ngangguk-ngangguk.
“…Kita jadinya kayak udah di’dikte’ kalo mau bahagia harus punya ini, harus punya itu, kalo mau keliatan sukses harus kendarai yang ini, harus tinggal di tempat yang begini, yang ada ini ada itu…hehe, iya kak, kan malah jadi siksaan tuh bagi yang mikirin yang begituan terus siang-malam, tiap hari…malah jadinya kita lupa bersyukur sama yang kita punya hari ini…hehe“
Jo jadi hening dia. Jo diam-diam menjadi mikirin dia apa yang sedang diomongin Agnis dengan orang yang entah dimana itu. Meski terdengar samar karena Agnis membikin suaranya pelan, tapi Jo dengar kok. Meski gak paham-paham benar, tapi rasanya jo ngerti kok maksudnya. Malah rasanya Agnis dan seniornya itu seolah-olah lagi ngomongin tentang Jo. Jo merasa adalah benar bahwa dia selama ini masih begitu, masih sibuk ngurus kesan orang lain ke dia. Jo mulai merenung juga dia, ecek-eceknya Jo baru nemuin sesuatu yang belum pernah dia dapatin selama ini.
“DDHUUUAGGHHH!”
“Wadouh!” Jo menjerit sambil reflek megangin jidat.
Tiba-tiba kepala Jo kejedot sesuatu gitu. Jadinya renungan Jo yang oke tadi buyar. Sepasang makhluk cebol penghuni alam Sekolah Dasar tiba-tiba melompat masuk ke labi-labi sambil kejar-kejaran setengah berlari. Jadinya karena memang dasar anak-anak tanpa sengaja tasnya terbentur ke kepala Jo yang sedang melamun. Dan menariknya bahwa oleh karena takdir, tas bocah itu hari ini sedang membawa hasil kerajinan tangan mereka kemarin, Vas Bunga sebesar ember dari tanah liat asli. Pinter.
“Eh, Kak Agniiiisss!!” teriak 2 bocah itu bersamaan yang ternyata sudah mengenal Agnis itu.
“Eh, Bumi, Aisyah, kebetulan… baru pulang ya?”
“hehe, iya kak…” jawab Bumi, bocah laki-laki yang di dalam tasnya ada Vas Bunga tadi. Sambil mereka bikin diri berdua salam ‘meutuah’ ke Agnis, sehingga seolah-olah terlihat bahwa mereka adalah anak-anak berbudi luhur yang menghargai orang yang lebih tua. Rupanya setelah Jo selidiki dari cipika-cipiki mereka ternyata kebenaranpun terungkap, bahwa kedua bocah itu adalah santri yang belajar ngaji sama Agnis.
Aisyah, bocah perempuan itu langsung duduk disamping Agnis. Bumi duduk agak dekat sama Jo, melirik Jo sekilas, senyum-senyum lalu kembali bergabung ngobrol sama Agnis dan Aisyah. Jo membalas senyum Bumi dengan semanis mungkin, secara tak langsung Jo sangat berterimakasih sama bocah-bocah ini. Karena mereka telah membikin Jo tau nama perempuan yang bikin dia penasaran sedari tadi. Agnis, iya, Agnis namanya, Jo langsung saja dia mengukir nama itu. Iya, di hati.
“Eh, Kak, gue kemarin ada baca gitu di koran, ada yang nulis kalo kehidupan orang Jepang itu lebih Islami dibandingin sama kehidupan orang-orang Islam sendiri. Katanya orang-orang itu disiplin en sopan, suka tolong-menolong, suka kerja keras, teratur kotanya, bersih kotanya, taat hukum masyarakatnya…pokoknya Islami-lah katanya. Ada juga yang bilang nemuin yang begitu di Amerika juga…tu maksudnye gimane sih kak, gue kurang nyambung juga gitu ya, padahal kata bu guru gue tu kan cerdas tapi gue gak nyambung…menurut kakak gimana gitu?” tiba-tiba Bumi membuka obrolan serius. Seserius dia mencontoh gaya ngomong “gue-elo” ala ABG di sinetron-sinetron sampah di Indonesia.
“Hm…gimana ya…menurut kakak yang begitu itu sih keliru, Bum. Apalagi kalo ada yang bilang bahwa orang jepang lebih islami dari orang Islam sendiri…” kata Agnis santai, sambil sedikit memperbaiki posisi duduknya. Bumi pasang tampang nunggu lanjutan penjelasan Agnis,
“Kan seorang Muslim juga dituntut begitu, kan, seperti; humanisnya, suka bekerja keras, gak zalim, dan lain-lain…semuanya wajib dimiliki sama orang Muslim kan. Tapi landasan kita itu adalah iman, bukan karena nilai kemanusiaan semata…Toh, di banyak negara Islam kita juga bisa lihat kok Muslim yang baik begitu…” Agnis berhenti sejenak, ada oknum lalat yang tiba-tiba lalu lalang di depannya. Bumi dan Aisyah pun sigap dan tegas bersikap. Walhasil, alam lalat itupun berpindah, dari alam dunia yang fana ke alam yang tak usah saya tulis lagi…*gak tega.
“Kalo cuma perihal kondisi di Jepang atau Amerika yang katanya teratur, bersih dan sebagainya, itu kan hanya terkait dengan nilai-nilai yang universal saja, yang inklusif, yang memang ada pada setiap manusia. Sebab memang udah dari sononya manusia tu suka sama yang namanya keteraturan, kebersihan atau keindahan begitu… itu hal yang biasa kali Bum, yang punya nilai begitu bukan umat Islam doang, dan juga gak ada salahnya bagi umat Islam mencotoh hal yang baik begitu, kan…Jadi menurut kakak, gak bener deh kalo ada yang bilang orang Jepang lebih Islami dari orang Islam sendiri, karena Islam bukan cuma buat ngurusin kebersihan dan keteraturan kota doang, Islam tetap berdiri di landasan iman, Bum…Kalo gak beriman yah tetap gak Islam...” lanjut Agnis.
Aisyah dan Bumi ngangguk-ngangguk paham. Dan Jo juga ikut-ikutan mengangguk sambil senyum-senyum, biar keliatan ecek-eceknya juga paham. Tapi di dalam hati Jo teriak, “Plis deh, lagi ngomongin apaan seeh?!”.
Bumi dan Aisyah berpaling ke Jo, berharap mungkin ada tambahan dari Jo. Apalagi mereka lihat dari gaya Jo dari ujung jempol ke pucuk rambut keliatannya sangat ‘wah’ dan keliatan intelek gitu. Tapi tentu saja harapan Bumi dan Aisyah adalah hanya harapan yang sia-sia belaka. Jo cuma senyam-senyum doang dia, gak tau harus bilang apa gitu. Jo pun segera diabaikan.
“Trus, kalo perihal HAM itu gimane nurut kakak? Apalagi kan kemaren gue juga sempat merhatiin koran heboh ama kasus pembinaan anak PUNK gitu, trus tiba-tiba banyak yang congornya membacot ngait-ngaitkan hal itu dengan masalah pelanggaran HAM ini itu gitu…” Bumi nambah nanya. Aisyah ngangguk, pertanda setuju juga sama pertanyaan Bumi. Jo juga ikutan ngangguk, tapi gak jelas kenapa.
“Yah, menurut kakak sih intinya, sebagai Muslim kita seharusnya melihat konsep HAM itu dari kacamata Islam, bukan malah sebaliknya, Islam yang diliat dari kacamata HAM… jangan sampe, kalo Islamnya yang gak cocok sama HAM trus Islamnya yang harus dirubah ngikutin HAM…owalaah, kebalik itu, kan… hehe”
Lagi-lagi Aisyah dan Bumi ngangguk-ngangguk. Dan Jo juga lagi-lagi ikut-ikutan, sambil senyum-senyum, biar keliatan ecek-eceknya juga ngerti.
Begitu seterusnya, di dalam labi-labi itu terus terjadi diskusi ini itu. Seiring bumi yang sedang berputar, selagi bulan masih malu-malu untuk keluar, Aisyah dan Bumi terus antusias nanya ini itu lagi sama Agnis. Bahkan mereka sampe membahas soal-soal trigonemetri dan kalkulus. Jo gimana? Jo sudah dianggap tidak ada oleh Bumi dan Aisyah. Eh bentar…bentar, emang ada gitu anak Sekolah Dasar membahas trigonometri sama kalkulus? Yaelah, ini-kan sengaja saya nulis begitu, biar Jo keliatan hancur lebur begitu dia. Ecek-eceknya saya sengaja membunuh citra diri Jo, menginjak dan mengiris-irisnya begitu. Tapi tenang saja-lah, ini kan baru bab 3, hargailah proses perubahan pada seseorang, termasuk Jo. Mungkin saja nanti Jo akan berusaha berubah seiring waktu. Jadi janganlah terlalu cepat menghakimi tentang Jo sampai detik ini.
Namun begitulah kisah Jo menemukan Agnis itu bermula. Itulah saat dimana Jo merasa dirinya itu boleh dibilang itu, iya, dibikin kagum saat pertama kali bertemu Agnis, iya, lengkapnya Agnis Nomica. Jo gak peduli meski dia dilecehkan dan gak dianggap oleh Bumi dan Aisyah. Jo hanya berusaha fokus pada apa yang dia rasakan di dalam hatinya.
Dan sejak pertemuan dengan Agnis itu-lah memang Jo telah menjadi dia yang bikin dirinya ada menyadari sesuatu. Ada ternyata hal berharga yang sepertinya dulu Jo lewatkan dalam hidupnya. Dan seperti yang sudah pernah saya bilang di episode-episode ngawur sebelumnya, Jo akhirnya menjadi dia yang berusaha merubah dirinya. Jo berusaha memperbaiki kualitas ber-Islam-nya, tentu termasuk kualitas hidupnya juga. Sehingga sejak saat ini Agnis resmi sudah menjadi inspirasi bagi Jo, juga harapan ke depan bagi Jo yang telah berumur 37 tahun dan masih bujang ini. Harapan apa itu? Entahlah, saat ini hal tersebut masih gelap bagi kita. Karena hingga saat ini Jo nyatanya masih saja begitu. Iya, masih saja menyimpan Agnis di dalam hati.
#Bersambung… sori kebanyakan, rencana awalnya tetap istiqomah sama 2-3 halaman doang...:))
Februari 2012
Lagi di kamar…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar