Ada yang membikin saya teringat-ingat
pada beberapa pertemuan dengan kawan-kawan menjelang hari raya Idul Adha 1433H
yang lalu. Sebenarnya bukan hal yang terlalu penting juga, soalnya pertemuannya
cuma berbentuk ngopi bareng di warkop saja. Tapi setelah dipikir-pikir kayak-kayaknya
penting juga untuk diangkat sesekali. Yah, minimal biar gak lupa saja.
Ecek-eceknya biar menjadi catatan harian gitu, lah. Meski paling juga gak ada
yang baca. Hehe.
Baik ketika itu di Banda
Aceh maupun di Blangpidie, baik ketika ngopi dengan kelompok A maupun dengan
kelompok B atau Y. Wajahnya (dibaca: Rupanya) secara garis besar dan juga garis
halus dan garis putus-putus, ngopi bareng itu ada memiliki yang namanya benang
merah yang sama. Yakni perihal yang membahas curhatan beberapa kawan-kawan tentang
jabatan ‘single’ yang masih terukir indah didadanya. Bahkan sebagian
kawan-kawan ngopi tersebut secara umur malah jauh lebih tua dibandingkan saya
yang terlihat agak muda (jika dilihat dari 17 tahun yang lalu hehe).
Setelah menyimak kesana
kemari, kemari kesana, kesana-kesini, setidaknya saya mendapatkan beberapa pandangan
dan secuil kesimpulan atas perihal mengapa jabatan ‘bujangan’ yang sedang
mereka derita itu masih mereka pertahankan sedemikian rupa. Semoga saja ini nanti
menjadi catatan sejarah yang penting di dunia perlajangan di masa yang akan
datang. Mudah-mudahan.
Pertama, yang saya
tangkap, rupanya pada sebagian besar lajang-lajang ini perkara finansial atau barangkali
perihal mahar bukanlah masalah yang begitu berarti. Mereka ini sejatinya adalah
orang-orang yang sudah memiliki penghasilan, baik sebagai abdi yang dibayar oleh
negara maupun sebagai orang yang kesana-kemari yang negara gak pernah peduli
padanya. Laptop mahal, Hp mentereng dari berbagai jenis, gadget-gadget keren, jam
tangan anti-hujan, anti-api dan anti-ludah, bahkan diantara mereka udah ada yang
memiliki rumah dan mobil, pokoknya semuanya mereka punya. Mereka beruang! Eh,
maksud saya berduit! Nah, itu buktinya, ternyata memang masalah finansial
bukanlah hal yang utama bagi mereka. Mereka lelaki yang sudah mampu. Cateeet!
Dan hasil dari sebagian
besar obrolan dengan mereka ternyata saya memang paling sedikit menerima
komplain atau keluhan perihal tingginya mahar atau masalah finansial. Kalaupun
ada komplain namun itu tak menjadi permasalahan yang dominan dalam usaha mereka
untuk meluluh-lantakkan benteng kelajangan itu. Sehingga sementara ini wajar
jika saya sepakat berasumsi secara asal-asalan dan suka-suka bahwa anggapan
umum yang sangat populer beberapa dekade belakangan, yang berbunyi, “Tingginya
mahar membikin lajang-lajang menangis...” adalah agak sedikit keliru. Meski
tidak sepenuhnya keliru, namun ada keliru sedikit. Pokoknya tidak keliru 100
persen, namun tidak benar 100 persen juga. Kira-kira begitulah, mohon dipahami.
Dari hasil investigasi
saya yang tentu saja tak ilmiah ini, permasalahan terbesar ‘bujang jenis
pertama’ ini sebenarnya adalah pada saat mengambil keputusan untuk menikahi
siapa. Mereka masih mesra berkutat dengan pertanyaan “Menikahi siapa, ya?”. Pertanyaan,
“Menikahi siapa, ya?” itu sepertinya bergaung-gaung dikepala mereka. Sehingga
kita bisa mengambil dugaan, bahwa mereka sedang di landa badai kebingungan dalam
mencari serta menentukan siapa muslimah yang tepat untuk mereka tasbihkan secara
sah sebagai istri terkasih. Tempat berlabuhnya hati, bersandarnya kasih. Tempat
yang pas menanamkan cinta, demi memetik yang namanya ridha dari Ilahi. Hahaa...Sihhiiy,
serasa jadi kang Abik.
Kalo cuma tahap memacari
perempuan itu mah mudah bagi laki-laki. Gampang. Tetapi giliran untuk memutuskan
perempuan yang pas untuk dijadikan kawan seperjuangann dalam hidup, dalam susah
lagi suka, ini baru menjadi perkara yang ribet bagi kaum ini. Banyak sekali
pertimbangan ini itu yang mereka pikirkan. Di kepalanya bakal bersiliweran pertanyaan
ini itu, seperti, “Cocokkah dia? Pantaskah menjadi ibu bagi anak-anaknya nanti?
Penyayangkah? Bisa menjaga dirikah dia? Baikkah agamanya? Bisa dipercayakah?
Bisa masakkah? Bisa minumkah?” Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang macam-macam,
tergantung siapa lelakinya. Kalo lelaki itu bodoh maka pertanyaannya juga yang
bodoh-bodoh. Kalo lelaki tersebut baik maka pertimbangannya juga yang
menurutnya apa yang baik-baik saja. Yang baik agamanya maka tentu pertanyaannya
berbeda dengan lelaki yang tidak peduli sedikitpun perihal agamanya. Pokoknya
beda-beda-lah. Namun catatan pinggir saya yang lain adalah, semakin melankolis seorang
lelaki maka akan semakin macam-macam pula yang dia pikirkan dan pertanyakan. Persis
seperti ‘anak muda’ yang di sinetron-sinetron, yang suka ngomong-ngomong sendiri
didalam hati. Yang suka banyak prasangka yang enggak-gak. Bahkan saya sempat
terpikir bahwa mungkin tipe lelaki yang melankolis adalah tipe lelaki yang
paling menderita di dunia.
Jadi, secara garis besar
ya begitu, menetapkan siapa yang pantas menjadi istri jauh lebih berat dan memusingkan
kaum yang umumnya memiliki ego tinggi dan sok paten ini. Secara teori mereka
tahu persis kriteria perempuan yang baik, namun bingung menentukan dan
memutuskan siapa perempuan yang baik itu. Bahkan bingung hingga pada tahap mau
mencari dimana calon istri yang baik itu.
Makanya meski umur udah tua,
lebih dari 25 tahun, atau bahkan diatas 30 tahun masih banyak lelaki yang bergelimpangan
di jalan kelajangan. Kalau saja mereka udah menemukan perempuan yang cocok,
maka hanya perlu waktu seminggupun mereka siap segera menikahi, tak peduli
berapapun mahar yang harus dikeluarkan. Mau 50 atau 100 mayam emaspun mudah
baginya. Bahkan fakta membuktikan kaum ini siap merampok atau berbuat tanpa
otak hingga diluar aturan agama hanya untuk menikahi orang yang udah dirasanya
cocok. Uang bisa dicari, tapi hati? #sedeeeepp...
Yang kedua adalah perkara
yang juga sering saya dapatkan sehingga wabah kelajangan semakin mekar kayak
bunga bangkai di pedalaman hutan Sumatera. Yakni perangai “Over-Fisik Oriented
(OFO)”. Kata “over” ini kalo di teknik sipil sering kami pakai untuk
menjelaskan kondisi yang ‘berlebihan keterlaluan’ sehingga membahayakan
keamanan konstruksi. Nah, wajah-wajahnya (baca: rupa-rupanya) penyakit OFO ini
sedang hangat mewabah di kalangan kaum laki-laki. Wabah ini menyerang siapa
saja. Tak pandang dia bulu, baik yang ‘berjenggot’ maupun yang tanpa jenggot (yang
mulus kayak cewek) bisa terkena wabah ini. Kalo dikalangan para ‘jenggotan’
saya menduganya mungkin wabah ini menyebar akibat kelewat banyak baca serta
nontonin film-film sejenis Ayat-Ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih yang
konon katanya reliji itu. Tentu saja anggapan saya ini bisa saja salah, meski
bisa juga benar sedikit. Namanya juga menduga-duga.
Bagi saya tidak ada masalah dengan mengharapkan
perempuan yang fisiknya baik serta yang sehat jasmaninya. Toh setau saya hal
tersebut tidak ada larangannya. Namun yang saya maksud dengan ‘over’ diatas
adalah ketika fisik sudah menjadi satu-satunya pertimbangan dan penentu.
Diperparah lagi dengan tambahan syarat-syarat seperti; harus langsing, harus
putih, harus berambut lurus, harus begini harus begitu...Hei..heiii... emangnya
perempuan itu burger yang bisa dipesan-pesan se-enak jidatmu, Tuan? Bagi saya, perangai
yang begitu udah gak wajar, tapi kurang di-ajar. Yang lebih aneh dan janggalnya
lagi, lelaki yang mesan-mesan begitu juga gak ‘profitable’. Barangkali inilah
akibat jika tidak punya cermin di rumah, jadi jarang ngaca. Itu saja.
Trus, para lajang ini
kadang juga memperparah kelajangan yang dideritanya dengan sidrom yang lain.
Yakni sindrom “POKOKNYA HARUS DENGAN FULANAH Z (PHDF Z)!!”. Pemilik sindrom ‘PHDF
Z’ ini biasanya memiliki kalimat sakti begini,” Kalau bukan dengan Fulanah Z
maka apalah arti hidupku ini, lebih baik kupergi meninggalkan dunia ini.” Atau
begini, “Tanpa Fulanah Z aku bakal hancur bagai kue bakwan yang hancur
dicabik-cabik merpati.” Dan kalimat-kalimat sakti lain yang sejenis dengan yang
di atas.
Makanya, meski sudah ditolak
dia tetep ‘keukeuh’ sama Fulanah Z. Hadeuuh...saket kepala awak. Bahkan sama
Ibundanya yang udah ngejaga dia dari kandungan aja dia gak sebegitu lebaynya.
Kenapa sama perempuan yang belum pernah berkorban seharipun atau sedikitpun
atas hidup kita, kita malah menjadi gak jelas begitu? Disini saya berpikir
bahwa menikah bukan lagi tujuannya, tapi Fulanah Z lah yang jadi tujuannya
satu-satunya. Makanya pemilik sindrom ini seolah-olah memiliki alasan syar'i untuk
semakin berlama-lama melajang-ria.
Jadi, untuk pemilik
sindrom ‘PHDF Z’ ini saya kasih rumus umum saja dari salah satu kitab rahasia
karangan saya, “Kitab Lelaki di Ujung Asmara”. Kitab yang belum pernah terbit
dan belum pernah tenggelam. Yang didalamnya tertulis bahwasanya,” Kita, para lelaki
boleh melamar siapa saja yang kita mau. Namun mereka, para perempuan, boleh
menolak lamaran siapa saja yang mereka mau...” Ini kaidah umum yang harus diingat-ingat
oleh kaum saya. Karena saya yakin perempuan yang baik juga bakalan memilih dan
memutuskan lelaki yang baik untuk dia serahkan dirinya. Jodoh memang Allah yang
atur, namun harus diingat bahwa itu bukanlah pengaturan yang serampangan, kan.
Terakhir, akhir dari
amatan saya, saya mungkin kepingin bilang, bahwa para lajang-lajang beriman ini
sebenarnya hanya keliatan tegar di permukaan saja. Apalagi kadang-kadang mereka
sesumbar “single tapi hepiii”, namun kenyataannya kalo kita congkel hatinya pake
garpu maka barangkali terukir disitu kata ‘maaak, heeelp awquuuh! Awquh
galaaauuww!’.
Tetapi tentu saja perayaan
kegalauan dari para lajang-lajang ini berbeda-beda. Ada yang galau kayak bebek
lalu sengaja dia rembeskan kemana-mana melalui berbagai macam media. Saya
kurang begitu tau dengan niat apa mereka begitu. Tipe yang begini setau saya
banyak. Namun di sudut yang lain setau saya ada juga yang galaunya hanya dia
rayakan dengan doa-pinta kepada Rabbnya saja. Kalaupun dia curhat-curhatan maka
kegalauannya itu hanya dia utarakan pada orang-orang yang bisa dipercayai agamanya.
Itupun dengan maksud agar nanti dicarikan solusinya, bukan hanya untuk
menikmati kegalauan dengan selera rendah yang gak penting.
Trus, saya entah kenapa
merasa yakin bahwa para lajang ini sebenarnya paham dengan masalahnya dan tau apa
yang harus dia lakukan. Makanya saya segan untuk ngasih saran ini-itu disini. Saya hanya bisa kasih yang namanya doa selalu agar
semua kawan-kawan saya itu selamat imannya, diberkahi hidupnya dan segera berakhir
lajangnya. Salam Super-man!
Affif, Brawe, 05 Nov 2012
Panglima Besar Genk Motor
Antar Jemput Istri plus Anak