Senin, 03 September 2012

JOHAN ASMARA: Bab Ngawur 6: Friend Or Foe?




“APPUUAA?! KE...KE-KENAPA FOTO A-AGNIS JADI WALLPAPER?!! ” pekik Jo, dengan mulut yang bergetar dan ber-air liur.

“ke-kenapa...ke-kenapa?! De-Deedi...tegaaa!!”

Hari yang cerah inipun hancur sudah bagi Jo. Di sudut kanan foto wallpaper ini ada pula disitu tulisan yang makin membuat Jo ingin mengamuk dan ingin meratakan menara effiel dengan tanah. “Agnis-Deedi, forever in lope”. Tertera dengan tinta berwarna merah jambu bikinan Photoshop.

(Itu sedikit flashback episode yang lalu. Ecek-eceknya kayak di film-film...hehe).

Ini tentu saja sudah mulai sore, jarum pendek jam di dinding itu sudah memelototi angka lima, sedangkan jarum panjang jam tersebut sudah tak ada lagi disitu, entah kemana dia pergi. Atau dia mungkin saja sudah dicopot dari jabatannya itu. Atau bisa saja dia sudah bosan menjadi staff dari jam dinding itu dan mencoba mencari pekerjaan lain yang dirasanya cocok. Yah, gara-gara jamnya gak ada lagi jarum panjangnya jadinya kita gak pernah tau ini sekarang udah menit keberapa. Jadinya ya menit jamnya itu kita kira-kira saja sesuai dengan perasaan kita. Terserah kita maunya sekarang jam berapa, banyak pilihan, bisa saja sedang jam 17.37 WDP atau mungkin sedang jam 17.14 WDP atau jam 17.59 WDP, pokoknya suka-suka kita. Jam di kamar ini memang sedikit aneh. Barangkali biar dibilang dia adalah jam dinding yang antik atau jam yang spesial, padahal tentu saja tidak. Oh iya, WDP itu maknanya ‘Waktu Di Paris’, ya.

Tapi kita kesini bukannya mau membahas perihal jam cacat tersebut. Namun yang penting coba sekarang liat itu disitu, di dalam kamar Deedi itu. Oh ternyata ada Jo yang sedang gusar dia, emosi juga, panas juga dan terlihat begitu meradang sejak tadi pagi. Lebih tepatnya sejak dia mendapati foto Agnis menjadi wallpaper di laptopnya Deedi. Pikiran Jo menjadi penuh dengan analisa yang macam-macam. Dia mencoba untuk berpikiran positif ke Deedi dan menganggap tak pernah melihat wallpaper laptop Deedi, tapi tentu saja itu mustahil bagi Jo. Mustahil bagi Jo untuk tak berpikiran macam-macam, tak gundah gulana, tak resah gelisah kalau sudah berkaitan dengan Agnis.

Makanya kali ini Jo berniat akan menunggu Deedi sampai dia pulang, meskipun dia pulang lewat tengah malam bahkan kalaupun Deedi pulang di shubuh hari pun Jo bertekad tetap akan menunggu. Jo tidak peduli lagi sekarang. Saat ini Jo hanya ingin memaki-maki dan menyumpah-serapahi Deedi. Jo udah mabuk kepalang dengan kemarahannya, terlena sama emosinya yang menyala-menyala macam tsunami. Hilang kontrol sudah dia.

Dari tadi pagi di dalam kamar kerjaan Jo hanya mondar-mandir kayak monyet sirkus yang disuruh mondar-mandir pergi ke pasar. Mudah-mudahan dengan sikap begini Jo bisa terlihat sangat gusar dan pembaca menjadi prihatin serta simpati sama Jo. Ada juga Jo mencoba untuk duduk istirahat karena capek berjam-jam mondar-mandir terus, tapi sesaat saja dia duduk, pikirannya pula yang jadi mondar mandir memikirkan wallpaper jahannam tersebut. Jadinya dia malah tambah emosi. Makanya Jo pikir lebih baik bangun dan mondar-mandir lagi, dengan begitu setidaknya Jo merasa sedikit lebih bisa ‘nentramin’ hati dan pikirannya. Meski capek dan kakinya mulai perih namun Jo tak peduli karena hatinya terasa lebih sakit....#sadaaappp

Namun tiba-tiba saja Deedi yang ditunggu-tunggu Jo ternyata hari ini pulangnya cepat, ini persis seperti sebuah pepatah,”buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya” #acuhkan hubungan logis pepatah ini dengan kisah ngawur kita...#. Deedi rupanya pulang cepat karena dia ketinggalan dompet, Hp, Ipad, BB, BC, Tablet, Dompet, sikat gigi, kaca mata, shampoo, krim anti-ultraviolet dan Galon air isi ulang.

Jo terperanjat saat Deedi membuka pintu kamar. Jo gak nyangka Deedi pulang cepat hari ini. 5 detik Jo dan Deedi membeku akibat mata yang saling menatap tak berkedip. Apalagi Jo yang pikirannya sedang kacau campur aduk. Sampai-sampai Jo tak bisa berkata-kata, apalagi berkalimat-kalimat. Jo sedang mencari-cari awal yang indah untuk memulai kemarahannya, dia bingung karena kepulangan Deedi yang tak terduga ini.

“Kenapa Jo?” Deedi memulai percakapan dengan agak heran. Dia berniat mencairkan suasana yang tadi membeku. Tapi Deedi jelas belum mengerti situasi, bukannya mencairkan malah mulai mendidihkan suasana. Jo diam saja, hanya menatap Deedi serius. Deedi jadi salahtingkah diolesi sedikit bingung tentu saja.

“...J-Jo? Kok diam?” kata Deedi pelan ditabur-taburi heran. Jo masih dia menatap Deedi lamat-lamat mirip tukang copet yang sedang menghipnotis korbannya, cuma bedanya Jo gak bilang, “tatap mata saya, tatap mata sayaaa....”. Bahkan gara-gara kelamaan dan serius natap Deedi jadinya Jo udah tau berapa buah jerawat segar dan berapa buah yang udah busuk di muka Deedi. Aib muka Deedi terbongkar sudah.

“Jojo?... Jojo?...” Deedi mendekat sambil mengguncang pelan badan Jo yang masih diam kayak botol sirup cap patung. Jo menepis tangan Deedi di pundaknya dengan kasar. Deedi Kaget dengan sikap Jo yang gak biasa ini. Situasi mulai semakin menghangat, sedikit lagi akan memanas.

“Hentikan sikap sok baikmu, Deed! Minta ditumbok kau ya, heh?!” Bentak Jo lembut. Deedi kaget. Tapi langsung ‘ngeh’ alias sadar situasi ketika dia melihat laptopnya yang hidup di atas meja. Alamak. Deedi syok!

“Aaahhh...te-tenang dulu Jo...” Deedi panik sendiri.

“Beee....reeeeng.....seeeeekk kau, Deed!” Jo mulai terbakar asmara, eh maksud saya terbakar amarah. Deedi mulai berkeringat panas.

“J-jo...de-denga....rr-ka....” mulut deedi agak bergetar-getar. Tentu saja bukan karena grogi tapi karena takut dan merasa bersalah sama Jo.

“Halah, mendengarkan bacotmu lagi?! Kau pengkhianat, Deed! Bangsat! Menggunting dalam lipatan! Pagar makan tanaman! Nyamuk dalam kelambu! Kerbau dalam kubangan!!”  jo berang. Maksud kata ‘berang’ itu berarti Jo sangat marah, bukan Jo menjadi berang-berang. Ini saya kasih tau biar gak ada yang berpikir bahwa Jo adalah siluman berang-berang.

Deedi terdiam dua ribu tujuh ratus tiga puluh bahasa. Nafas Jo memburu cepat, secepat kerbau berlari. Matanya memerah seperti mata yang kemasukan kerikil. Emosinya kini mulai meledak-meledak kayak ledakan tabung gas 3 Kg. Pokoknya ngeri-lah.

Reflek tangan Jo menyambar laptop Deedi dan membantingnya ke lantai. Di ludahi terus di injak-injak. Deedi shock tapi tak bisa berbuat apa-apa. Deedi hanya bisa mematung kayak patung.

“Apa kau nggak tau bahwa haram hukumnya meminang perempuan yang telah dipinang oleh orang lain, hah?! Haram, tau nggak?!”

“Iya Jo, tapi kan elo belum meminang dia, Jo...” kata Deedi dalam hati.

“Aku betul-betul gak nyangka Deed...selama ini hanya kau yang aku percayai, tapi perbuatan keji inikah balasanmu...?”

Deedi tertunduk membisu, membuta dan mentuli. Terus terang saya gak tau apa kata “mentuli” ada di kamus Bahasa Indonesia? #PR buat yang baca.

“Gak...gak Deed, aku gak rela melepaskan Agnis kepadamu...gak bakalan!” Jo kembali geram, tangannya mengepal keras. Jo segera mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya seperti mengambil suatu benda. Tak salah lagi yang diambil Jo adalah pisau! Lebih tepatnya silet. Karena Jo pikir tak ada senjata yang lebih tajam setajam silet. Tentu saja Jo ini terinspirasi dari salah satu acara nge-gosip di TV. Dan Jo ingin mengupas Deedi, menguliti dan mencukur rambut Deedi dengan siletnya. Keadaan mulai semakin tak terkendali.

Deedi terpukau sesaat, dan hampir terharu kagum memikirkan aksi Jo yang nekad begini demi cintanya ke Agnis. Cuma karena yang bakal menjadi korban adalah dirinya sendiri maka Deedipun segera tersadar dan membuang jauh-jauh perasaan terharu-kagumnya. Deedi-pun mulai agak kuatir dan mawas diri. Deedi gak pernah menyangka Jo bakal berbuat senekad ini. Jo yang biasanya hanya sibuk dengan urusan perawatan kulit dan rambut kok bisa menjadi se-beringas ini.

Jo mulai melangkah pelan dengan matanya yang memerah tadi. Maksud saya Jo melangkah dengan kakinya bukan dengan mata, masak itu aja gak ngerti? Dia kibas-kibas-kan siletnya ke arah Deedi, maksud Jo biar gayanya terlihat seperti seorang samurai yang sedang menebas-nebaskan pedangnya. Tapi gagal total, karena gayanya itu lebih tepat dibilang seperti pebulu tangkis pemula yang baru satu kali memegang raket. Kikuk sekali dia. Sebenarnya terlihat lucu, tapi situasi begini tentu tak cocok kalo Deedi menertawakan gaya Jo yang kaku begitu. Bisa-bisa Jo malah bunuh diri karena malu.

Jo sebenarnya gugup Juga. Wajar dong, inikan pengalaman pertama Jo menggunakan silet. Jangankan silet, pisau kue yang tumpul itu aja Jo gak pernah pegang. Makanya biar gak grogi dia mencoba memancing-mancing amarahnya sendiri dengan mengamuk dan menghancurkan benda-benda disekelilingnya. Tempat tidur, meja, barang-barang elektronik yang mahal dikamar itu dia bikin porak-poranda. Deedi hanya mampu berteriak-teriak sendiri ketika barang-barangnya satu persatu dicabut nyawanya oleh Jo. Bahkan kasur dan bantal Deedi tak luput dari amukan Jo, isi perut kasur dan bantal tersebut terburai-burai terkena jurus ngawur sabetan gila silet Jo.

“Jo...Jo!! tenang Jo! Masak kita bertengkar cuma gara-gara seorang cwek?! Sadar Jo, sadar!”
“Ciaaatt...ciaaatt” Jo sepertinya tak peduli dengan omongan Deedi. Jo melompat kesana kemari sambil menyabet siletnya kesana kemari seperti seorang samurai yang menggunakan pedangnya, meski sayang faktanya Jo lebih terlihat seperti orang yang sedang menggunakan raket listrik buat ngusir nyamuk.

“Joo...tenang Jo! Mari kita musyarawarah untuk mufakat, Jo, sesuai dengan nilai-nilai pancasila yang tertanam di diri kita, Jo!...ingat pelajaran PPKN, Jo! Ingat mata kuliah Ilmu Sosial budaya Dasar di RKU, Jo! Mari kita cari solusinya bersama-sama...jangan mau kita mati bodoh gara-gara perempuan Jo! Mari kita pikirkan dengan kepala dingin solusinya bersama-sama...”

“Solusinya adalah nyawamu, Deed!! Chiaaaattt!...” Jo masih bersemangat melompat kesana kemari, guling sana sini, menyabet-nyabet ke arah Deedi yang terus kabur dan berkelit dari serangan maut Jo yang lucu.

“Kyaaa...kyaaa...” Deedi menjerit-jerit dengan suara yang aneh. Masak cowok teriaknya pake “Kyaa...kyaaa”. Aneh, kan? Tapi mau gimana lagi, Deedi maunya menjerit-jerit dengan tipe jeritan yang begitu. Ya sudahlah, itu terserah Deedi, yang penting dia menjerit.

Tok..tok...took...

Tok...tok...tok....

Sedang asyik-asyiknya bertempur Jo dan Deedi tiba-tiba terhenti oleh suara ketokan pintu kamar beberapa kali. Dan berselang beberapa detik kemudian pintu langsung dibuka oleh si-pengetok. Dia tak mau menunggu Deedi atau Jo membukakan pintu untuknya. Dan, oh rupanya pelaku pengetukan pintu barusan adalah sang kepala Marbot mesjid, Om Khaled. Dia langsung masuk dengan santai karena memang tak perlu tergesa-gesa, kan. Bagi yang belum kenal, silahkan mengecek biodata Om Khaleed ini di episode ngawur yang lalu.

“Assalamu’alaikum...maaf ya, Saya langsung buka pintunya ni. Tadi kedengaran dari luar kalau kalian lagi asyik main kejar-kejaran gitu...karena takut ketokan saya gak kalian dengar makanya saya langsung masuk saja....” kata Om Khaleed dengan lancar. Sepertinya dia udah terbiasa berkata-kata, tidak seperti bayi yang masih terbata-bata.

Terpaksa deh si Jo harus menghentikan aksi ‘mengerikan’nya beberapa menit ke depan. Buru-buru dia sembunyikan tangannya ke belakang, takut silet saktinya terlihat oleh Om Khaleed sang kepala Marbot yang paling disegani oleh marbot-marbot di daratan Eropa ini. Deedi yang tadi udah ngos-ngos-an berguling kesana kemari pun jadi bisa istirahat sejenak. Jo lirik Deedi dan ngasih kode alias isyarat mata. Jo gerak-gerakkan bola matanya ke Deedi yang bermakna,”...Kalo masih mau melihat bulan ntar malam, jangan berani buka mulut ke Om Khaleed!!”. Pesan bernada ancaman dari kode mata Jo tentu saja secara sempurna gagal dipahami oleh Deedi. Deedi hanya melongo kebingungan melihat Jo berperilaku aneh dengan matanya.

“Gak apa-apa kan saya ganggu permainan kalian bentar? Semenit aja...”

“Eh, ng-nggak apa-apa, Ustad...” kata Jo dan Deedi hampir bersamaan.

“Gini, insya Allah ntar malam saya akan berangkat pulang ke Nias...jadi selama saya tak disini saya nitip semua urusan mesjid ke kalian berdua, ya...”

“Hah, ada apa Ustad, kok tiba-tiba mau pulang kampung?” tanya Deedi dengan ekspresi wajah kaget dan penasaran, meski nyatanya itu hanya sekedar basa basi.

“Gak tiba-tiba juga sih, saya udah mesan tiket pulang dari sebulan yang lalu, cuma memang belum sempat ngasih tau kalian aja...” Jawab Om Khaleed dengan santai tanpa perlu marah-marah karena ngapain juga marah-marah tanpa sebab.

“Orang tua nyuruh pulang, Ustad?” lagi-lagi Deedi bertanya. Tentu saja masih sekadar basa basi sekalian untuk memperpanjang percakapan. Jo melotot ke Deedi tapi Deedi tak tau karena dia memang sedang tak melihat Jo, jadinya pelototan Jo jadi sia-sia. Jo jadi kobong dan garing sendiri. Kasian.

“Oh gak... gini Deed, sebenarnya saya insyaAllah nikah minggu depan makanya harus pulang untuk beresin persiapan ini itu di kampung...”

“Wuuiihh, selamat yang Ustad, kebahagiaan dan doa dari kami berdua untuk keberkahan pernikahan Ustad Om Khaleed...semoga menjadi keluarga yang sakkinah mawaddah wa rahmah ya, Ustad...” lanjut Deedi yang di-amiin-kan oleh Jo.

“ Amiin...makasih ya” kata Om Khaleed mantap sambil bersiap meninggalkan kamar Deedi. Deedi sebenarnya mau menghentikan Om Khaleed biar bisa ngobrol-ngobrol lebih lama, tapi Jo sigap segera membukakan pintu untuk Om Khaleed sehingga Om Khaleed merasa waktunya telah habis.

“Oke, itu saja yang mau saya sampaikan, saya ijin pamit, ya...” kata Om Khaleed di mulut pintu kamar. Jo tersenyum terkembang, kembali bersemangat. Deedi kembali berkeringat panas, bingung mikirin gimana nanti menghindari serangan maut Jo yang lucu. Sedetik Om Khaleed selangkah keluar kamar tiba-tiba dia berbalik lagi. Om Khaleed melongokan kepalanya ke dalam kamar.

“Oh iya, kelupaan... saya mau bilang juga tadi bahwa calon istri saya itu orang aceh juga, lho, seperti kalian...mungkin saja kalian kenal, hmm...namanya Agnis Nomica, kenal?”.


-The End... Hahaa, akhirnya abis juga ni cerita-

Banda Aceh, 2 September 2012
Lagi jam 01.29 pagi, lagi di kamar…

1 komentar:

  1. jiahhhh,,,endingnya gak macho bangettt,,,, ahhhh,,,pembaca kecewaaaa!!! #sambil nangis guling2 di meja kantor

    BalasHapus