Selasa, 28 Juni 2011
Lagi Bad Mood
(Dua hari yang lalu, sueeerrr, saya di datangi bad mood. Mau ngapa-ngapain malasnya minta ampun. Mau ngobrol2, jalan2, makan2, juga gak nafsu semua. Maka itulah perasaan badmoodnya saya coba ditumpah-tuangkan dalam bentuk puisi jadi-jadian begini...hehe)
Oh bad mood…
Sedang bad mood saya ini
Jadinya malas ngapa-ngapain
Jadinya suntuk sekali begitu
Oh bad mood,
Mengapa kamu hadir?
Mengapa kamu datang?kan tidak ada yang mengundang?
Jadi mengapa kamu kesini? Dasar nggak tau malu!
Oh bad mood,
Kamu membuat hari-hariku tidak nyaman untuk di jalani
Kamu membuat saya jadi malas sehingga disebut pemalas
Kamu, kamu dan kamu membuat saya jadi terasa jenuh begitu.
Oh bad mood,
Sungguh celakalah orang-orang yang celaka,
Sungguh terkutuklah orang-orang yang terkutuk,
Sungguh terpujilah orang-orang yang terpuji.
Oh bad mood,
Pergilah!
Pergilah!!
Pergilah!!!
Huss… huss…huss... !!
Senin, 27 Juni 2011
Kamis, 23 Juni 2011
Lanjutan :Episode kawan2 yang berpengaruh terhadap saya itu
Poto si-Adex, hasil nyolonk di FB
2. Indra Satria alias Adex, yang mempengaruhi saya untuk bermain gitar lebih baik.
Ini kisah lama. Kisah dimana saat itu daun-daun yang telah uzur akan turun ke bumi tanpa memakai tangga. Hujan juga selalu begitu. Embun juga turun tidak memakai tangga. Dan lain-lain. Ini cerita jaman dulu yang saya rasanya -setidaknya menurut saya sendiri hehe- masih sangat manis akibat masih SMA, akibat belum ada jerawat, akibat belum banyak tumbuh jenggot yang ternyata nyatanya malah membikin lebih keren. Yang menyedihkan cuma dulu itu saya belum menikah saja. Oh.
Saat ikan-ikan sedang asyik berenang di lautan, saat itu juga saya adalah dia anak SMA yang telah membeli gitar dengan uang jajan yang telah ditabung pada suatu tempat yang rahasia yang tidak mau kuberitahukan padamu agar tentram jiwa ini jadinya. Dan lihatlah bagaimana setelah itu saya menjadi sangat giat dan rajin belajar gitar demi sebuah cita-cita yang mulia, menjadi gitaris yang hebat aduhai. Menjadi gitaris hebat sakti mandraguna yang dapat kiranya mengharumkan nusa, bangsa dan Negara kepulauan nusantara dari Sabang sampai Meurauke, sampai Malaysia juga, Papua Nugini juga iya. Juga agar menjadi gitaris yang populer membanggakan hati keluarga dan handai taulan sanak-saudara sekampung halaman.
Anginpun berhembus menyuruh para rumput agar mau bergoyang. Begitulah, hingga sampai akhirnya waktu mengatakan bahwa saya merasa telah menjadi hebat bermain gitar gitu. Terus merasa begitu saya, sampai kalian melihat saya menjadi seolah-olah tidak terkalahkan di SMA paling ternama di Abdya, ditempat saya menyedot macam-macam ilmu selain ilmu hitam, juga ilmu merah, juga ilmu hijau.
Lihatlah genjrengan gitar saya yang garang. Hentakan kocokan yang juga mantap, disertai permainan melodi-melodi asal cepat saja. Jika memakai distorsi maka saya senang dengan soundnya yang terdengar “kotor”/rusuh, biar terdengar sangat nge-rock begitu padahal tidak. Terus begitu saya, dimana saja. Saya bergitar dimana suka, memperlihatkan kemampuan diri yang terasa ‘wah’. Sehingga tentu saja kepada diri saya didapati puja-puji yang datang bergelimang-geripah membuat hati senang gempita melayang berbunga-bunga adanya. Menjadi gitaris ternama pujaan anak muda nusantara semakin dekat waktunya. Masa depan dunia pergitaran terasa begitu cerah. Aduhai.
Namun adalah begitu selalu Allah membikin sesuatu kepada seseorang yang sudah merasa sombong dirinya, mulai tinggi hatinya, merasa besar kepalanya. Ketika daun-daun melakukan proses fotosintesis, tanpa kuketahui ternyata diam-diam ada orang yang bernama Adex yang edannya merupakan kawan satu kelas saat itu. Yang sehingga tibalah suatu waktu saya pertama kali mendapati mata yang melihat dan mendapati telinga yang mendengar si-Adex yang low profil itu memainkan gitar. Dan jika kamu tega maka lihatlah saya ketika itu yang tiba-tiba terdiam lesu karena melihat Adex memainkan gitar dengan sangat lihai, tentunya melebihi saya yang telah terlebih dahulu bergaya di depannya. Huff. Maka seketika itu juga jatuhlah sudah si-sombong ke dasar jurang, yang dibawah jurangnya kebetulan sekali ada yang sengaja menanam pohon-pohon kaktus yang sedang mekar-mekarnya berduri. Tenggelam juga si-tinggi hati ke dasar palung-palung laut yang gelap tak berujung, habis, dimakan plankton-plankton yang kelaparan. Kempis juga sudah si-besar kepala itu macam balonku ada lima yang diletuskan dengan api rokok murah merek SABAR-SUBUR yang menyala-nyala. Dan suram-lah pula dunia pergitaranku seketika, sangat menyesakkan.
Oh Adex itu adalah dia yang bermain gitar dengan sangat memakai feeling, begitu halus, detail, sederhana dan clean. Wow, terdengar bagus sekali, jauh lebih berkualitas permainannya. Berbeda sekali dengan permainan “kotor” saya yang ternyata hanyalah untuk menutupi kelemahan saya yang sebenarnya tak bisa bermain gitar dengan bersih (clean). Dan kesalnya dulu dia (Adex_red. hehe) hanya diam-diam saja. Seolah-olah dia adalah jagoan pilem India yang selalu datang belakangan untuk kemudian mengalahkan musuh-musuhnya. Amatir. Ya, amatir sekali saya. Sesak. Ya, sangat menyebalkan.
Begitulah akhirnya, ketika ikan-ikan lele bersenang-senang bermandikan lumpur, Adex secara tak langsung telah membuat sayang merenung pada malam-malam yang tak bisa tidur akibat banyak nyamuk. Melihat kembali kedhaifan diri untuk menyadari bahwa di atas langit selalu ada langit lagi yang lebih tinggi. Alhamdulillah, tidak terbersit di dalam sanubari saya yang terdangkal untuk berbuat nekad seperti meminum obat nyamuk semprot akibat kejadian ini. Juga tak terbersit di pikiran saya untuk menangis berhari-hari sambil mengurung diri di dalam kamar berpeluk akan bantal guling akibat kesal dan sakit hati. Juga lagi tak terbersit di pikiran saya untuk menjadi peminta-minta di simpang-simpang jalan akibat putus asa karena cita-cita menjadi gitaris ternama telah lenyap habis dimakan semut-semut merah di dinding. Alhamdulillah hal-hal macam itu tidak terbersit dipikiran saya.
Sejak saat itu-lah, saya-lah orang itu yang mencoba berusaha dalam sepi untuk memperbaiki kualitas diri untuk bisa bermain gitar lebih bagus lagi. Dengan masih menyimpan malu yang pahit, saya kembali coba bikin diri bermain dengan perasaan yang bagus dan senang, meski tanpa niat untuk mengalahkan Adex. Niat untuk mengalahkan kualitas permainan gitar Adex adalah hal yang sia-sia saja saya pikir, hal yang seperti itu malah hanya membuat permainan gitar kita semakin tak bagus. Menurut saya sebuah permainan gitar yang bagus itu lahir dari kenyamanan perasaan ketika memainkannya.
Meski sekarang saya tak lagi aktif bermain gitar dan latihan band seperti dahulu kala namun sebenarnya saya harus berterimakasih kepada Indra Satria alias Adex saat itu, bahwa begitulah saat itu saya menjadi dia yang mau bercermin diri dan membuat diri malu karena sombong hati. Dan sedikit demi sedikit saya belajar menyemangati diri untuk mau belajar lagi, belajar gitar lagi dulu itu. Jangan malu. Jangan lesu. Jangan begitu, belajar-lah lagi. Ah, ini menjadi sebuah pelajaran yang baik untuk saya saat itu. Begitu-lah.
Poto jaman. hehe.
(...hehe Insya Allah masih bersambung ke kawan2 yg lainnya)
Affif Herman
President dan Imam sangat Besar seumur hidup Ikatan Suami Nusantara Pemerhati Istri.
Banda Aceh, 22 Juni 2011, tiba2 jam 18.27 WIB.
2. Indra Satria alias Adex, yang mempengaruhi saya untuk bermain gitar lebih baik.
Ini kisah lama. Kisah dimana saat itu daun-daun yang telah uzur akan turun ke bumi tanpa memakai tangga. Hujan juga selalu begitu. Embun juga turun tidak memakai tangga. Dan lain-lain. Ini cerita jaman dulu yang saya rasanya -setidaknya menurut saya sendiri hehe- masih sangat manis akibat masih SMA, akibat belum ada jerawat, akibat belum banyak tumbuh jenggot yang ternyata nyatanya malah membikin lebih keren. Yang menyedihkan cuma dulu itu saya belum menikah saja. Oh.
Saat ikan-ikan sedang asyik berenang di lautan, saat itu juga saya adalah dia anak SMA yang telah membeli gitar dengan uang jajan yang telah ditabung pada suatu tempat yang rahasia yang tidak mau kuberitahukan padamu agar tentram jiwa ini jadinya. Dan lihatlah bagaimana setelah itu saya menjadi sangat giat dan rajin belajar gitar demi sebuah cita-cita yang mulia, menjadi gitaris yang hebat aduhai. Menjadi gitaris hebat sakti mandraguna yang dapat kiranya mengharumkan nusa, bangsa dan Negara kepulauan nusantara dari Sabang sampai Meurauke, sampai Malaysia juga, Papua Nugini juga iya. Juga agar menjadi gitaris yang populer membanggakan hati keluarga dan handai taulan sanak-saudara sekampung halaman.
Anginpun berhembus menyuruh para rumput agar mau bergoyang. Begitulah, hingga sampai akhirnya waktu mengatakan bahwa saya merasa telah menjadi hebat bermain gitar gitu. Terus merasa begitu saya, sampai kalian melihat saya menjadi seolah-olah tidak terkalahkan di SMA paling ternama di Abdya, ditempat saya menyedot macam-macam ilmu selain ilmu hitam, juga ilmu merah, juga ilmu hijau.
Lihatlah genjrengan gitar saya yang garang. Hentakan kocokan yang juga mantap, disertai permainan melodi-melodi asal cepat saja. Jika memakai distorsi maka saya senang dengan soundnya yang terdengar “kotor”/rusuh, biar terdengar sangat nge-rock begitu padahal tidak. Terus begitu saya, dimana saja. Saya bergitar dimana suka, memperlihatkan kemampuan diri yang terasa ‘wah’. Sehingga tentu saja kepada diri saya didapati puja-puji yang datang bergelimang-geripah membuat hati senang gempita melayang berbunga-bunga adanya. Menjadi gitaris ternama pujaan anak muda nusantara semakin dekat waktunya. Masa depan dunia pergitaran terasa begitu cerah. Aduhai.
Namun adalah begitu selalu Allah membikin sesuatu kepada seseorang yang sudah merasa sombong dirinya, mulai tinggi hatinya, merasa besar kepalanya. Ketika daun-daun melakukan proses fotosintesis, tanpa kuketahui ternyata diam-diam ada orang yang bernama Adex yang edannya merupakan kawan satu kelas saat itu. Yang sehingga tibalah suatu waktu saya pertama kali mendapati mata yang melihat dan mendapati telinga yang mendengar si-Adex yang low profil itu memainkan gitar. Dan jika kamu tega maka lihatlah saya ketika itu yang tiba-tiba terdiam lesu karena melihat Adex memainkan gitar dengan sangat lihai, tentunya melebihi saya yang telah terlebih dahulu bergaya di depannya. Huff. Maka seketika itu juga jatuhlah sudah si-sombong ke dasar jurang, yang dibawah jurangnya kebetulan sekali ada yang sengaja menanam pohon-pohon kaktus yang sedang mekar-mekarnya berduri. Tenggelam juga si-tinggi hati ke dasar palung-palung laut yang gelap tak berujung, habis, dimakan plankton-plankton yang kelaparan. Kempis juga sudah si-besar kepala itu macam balonku ada lima yang diletuskan dengan api rokok murah merek SABAR-SUBUR yang menyala-nyala. Dan suram-lah pula dunia pergitaranku seketika, sangat menyesakkan.
Oh Adex itu adalah dia yang bermain gitar dengan sangat memakai feeling, begitu halus, detail, sederhana dan clean. Wow, terdengar bagus sekali, jauh lebih berkualitas permainannya. Berbeda sekali dengan permainan “kotor” saya yang ternyata hanyalah untuk menutupi kelemahan saya yang sebenarnya tak bisa bermain gitar dengan bersih (clean). Dan kesalnya dulu dia (Adex_red. hehe) hanya diam-diam saja. Seolah-olah dia adalah jagoan pilem India yang selalu datang belakangan untuk kemudian mengalahkan musuh-musuhnya. Amatir. Ya, amatir sekali saya. Sesak. Ya, sangat menyebalkan.
Begitulah akhirnya, ketika ikan-ikan lele bersenang-senang bermandikan lumpur, Adex secara tak langsung telah membuat sayang merenung pada malam-malam yang tak bisa tidur akibat banyak nyamuk. Melihat kembali kedhaifan diri untuk menyadari bahwa di atas langit selalu ada langit lagi yang lebih tinggi. Alhamdulillah, tidak terbersit di dalam sanubari saya yang terdangkal untuk berbuat nekad seperti meminum obat nyamuk semprot akibat kejadian ini. Juga tak terbersit di pikiran saya untuk menangis berhari-hari sambil mengurung diri di dalam kamar berpeluk akan bantal guling akibat kesal dan sakit hati. Juga lagi tak terbersit di pikiran saya untuk menjadi peminta-minta di simpang-simpang jalan akibat putus asa karena cita-cita menjadi gitaris ternama telah lenyap habis dimakan semut-semut merah di dinding. Alhamdulillah hal-hal macam itu tidak terbersit dipikiran saya.
Sejak saat itu-lah, saya-lah orang itu yang mencoba berusaha dalam sepi untuk memperbaiki kualitas diri untuk bisa bermain gitar lebih bagus lagi. Dengan masih menyimpan malu yang pahit, saya kembali coba bikin diri bermain dengan perasaan yang bagus dan senang, meski tanpa niat untuk mengalahkan Adex. Niat untuk mengalahkan kualitas permainan gitar Adex adalah hal yang sia-sia saja saya pikir, hal yang seperti itu malah hanya membuat permainan gitar kita semakin tak bagus. Menurut saya sebuah permainan gitar yang bagus itu lahir dari kenyamanan perasaan ketika memainkannya.
Meski sekarang saya tak lagi aktif bermain gitar dan latihan band seperti dahulu kala namun sebenarnya saya harus berterimakasih kepada Indra Satria alias Adex saat itu, bahwa begitulah saat itu saya menjadi dia yang mau bercermin diri dan membuat diri malu karena sombong hati. Dan sedikit demi sedikit saya belajar menyemangati diri untuk mau belajar lagi, belajar gitar lagi dulu itu. Jangan malu. Jangan lesu. Jangan begitu, belajar-lah lagi. Ah, ini menjadi sebuah pelajaran yang baik untuk saya saat itu. Begitu-lah.
Poto jaman. hehe.
(...hehe Insya Allah masih bersambung ke kawan2 yg lainnya)
Affif Herman
President dan Imam sangat Besar seumur hidup Ikatan Suami Nusantara Pemerhati Istri.
Banda Aceh, 22 Juni 2011, tiba2 jam 18.27 WIB.
Selasa, 21 Juni 2011
Cinta Terkembang jadi Kata
Selalu begitu. Cinta selalu membutuhkan kata. Tidak seperti perasaan-perasaan lain, cinta lebih membutuhkan kata lebih dari apapun. Maka ketika cinta terkembang dalam jiwa tiba-tiba kita merasakan sebuah dorongan yang tak terbendung untuk menyatakannya. Sorot mata takkan sanggup menyatakan semuanya.
Tidak mungkin memang. Dua bola mata kita terlalu kecil untuk mewakili semua makna yang membuncah di laut jiwa saat badai cinta datang. Mata hanya sanggup menyampaikan sinyal pesan bahwa ada badai di laut jiwa. Hanya itu. Sebab cinta adalah gelombang makna-makna yang menggores langit hati, maka jadilah pelangi; goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit, tapi semuanya nyata. Indah.
Itu sebabnya ada surat cinta. Ada cerita cinta. Ada puisi cinta. Ada lagu cinta semuanya adalah kata. Walaupun tidak semua kata mampu mewakili gelombang makna-makna cinta, tapi badai itu harus diberi kanal; biar dia mengalir sampai jauh. Cinta membuat makna-makna itu jadi jauh lebih nyata dalam rekaman jiwa kita. Bukan hanya itu. Cinta bahkan menyadarkan kita akan wujud-wujud lain di sekitar kita; langit, laut, gunung, padang rumput, tepi pantai, gelombang, purnama, matahari, senja, gelap malam, cerah pagi, taman bunga, burung-burung… tiba-tiba semua wujud itu punya arti… tiba-tiba semua wujud itu masuk ke dalam kesadaran kita… tiba-tiba semua wujud itu menjadi bagian dari kehidupan kita… tiba-tiba semua wujud menjadi kata yang setia menjelaskan perasaan-perasaan kita… tiba-tiba semua wujud itu berubah menjadi metafora-metafora yang memvisualkan makna-makna cinta. Itu sebabnya para pecinta selalu berubah menjadi sastrawan atau penyair atau penyanyi… atau setidak-tidaknya menyukai karya-karya para sastrawan, menyukai puisi, atau mau belajar melantunkan lagu. Bukan karena ia percaya bahwa ia akan benar-benar menjadi sastrawan atau penyair atau penyanyi yang berbakat… tapi semata-mata ia tidak kuat menahan gelombang makna-makna cinta.
Cinta membuat jiwa kita jadi halus dan lembut… maka semua yang lahir dari kehalusan dan kelembutan itu adalah juga makna-makna yang halus dan lembut… hanya katalah yang dapat mengurainya, menjamahnya perlahan-lahan sampai ia tampak terang dalam imaji kita. Puisi “Aku Ingin”nya Sapardi Djoko Damono mungkin bisa jadi sebuah contoh bagaimana kata mengurai dan menjamah makna-makna itu… Apakah Sapardi sedang jatuh cinta itu atau sedang ingin memaknai kembali cintanya? Saya tidak tahu! Tapi begini katanya:
Aku ingin mencintaimu
Dengan cara yang sederhana
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu
Dengan cara yang sederhana
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Dari “Serial Cinta”, Anis Matta
Selasa, 14 Juni 2011
Ecek-eceknya ini Puisi bagus…
Jelas hari itu saya lupa hari apa gitu, pentingkah bagi kalian untuk saya beri penjelasan kapan hari saya menulis puisi ini? Saya kira tidak usah. Pentingkah bagi kalian mengetahui bahwa yang saya tulis disini adalah hanya puisi yang boleh dikonsumsi oleh umum saja? Saya kira tidak usah. Perlukah saya tampilkan puisi-puisi mesra saya kepada si-istri kepada kalian? Saya kira tidak perlu, bukan urusan kalian.
Hari itu hari yang biasa saja gitu. Hari dimana saya secara status sudah-lah hidup berdua dengan istri, yang perempuan, yang bukan bidadari, yang baik, yang saya suka, yang menutup auratnya, yang rajin mengaji, rajin saya rayu juga, yang saya rindukan juga, yang saya percaya juga, yang jadi kawan saya juga, yang jadi detak jantung saya juga, yang membirukan langit hidup saya, yang menyejukkan mata saya juga... Oh memang-lah dunia serasa milik berdua saja, padahal milik Allah. Dasar pengantin baru!!
Setelah menikahlah saya sudah diberi ijin boleh merayu si-istri. Padahal dulu, sebelum nikah jangan harap saya boleh bikin dia ketawa-ketawa, kalaupun SMS-an maka kami hanya bisa SMS-SMS yang singkat dan penting saja. Oh tapi Alhamdulillah masa-masa sulit itu telah terlewati. Setelah menikah memang terasa lebih baik daripada melajang, Alhamdulillah. Oh, saya bikin diri saya heran dengan lelaki-lelaki yang sudah mampu ini-itu namun masih belum mau menikah. Oh kasihan sekali saya pikir, tapi apa gitu bukan menjadi urusan saya, biarkanlah mereka begitu, toh harga beras juga gak turun kalau mereka menikah.
Setelah hidup berdua dengan si-istri di dalam galaksi Bima Sakti ini akhirnya saya mengetahui dengan benar-sebenar-benarnya, bahwa dia-lah orangnya si-istri saya yang baik itu yang suka dirinya telat makan. Telat makan pagi, telat makan siang, telat makan malam juga. Oh. Si-istri bikin alasan bahwa dia bikin dirinya sibuk Co-ass di RS, sehingga itu katanya dia sering dirinya lupa dan telat makan akhirnya. Oh si-istri, mengapa kamu telat-telat makan, padahal kamu tahu kalau telat makan itu-lah penyebab lapar. Kalau saja dia tahu bahwa sekarang saya adalah lelaki yang itu telah bikin diri begitu kuatir padanya, oh.
Nah, itulah akhirnya ketika pagi itu yang saya lupa harinya, saya bertekad bikin puisi norak tapi mudah-mudahan manis, dan saya kirim ke Hp si-istri, bukan ke Hp orang lain. Agar dengan membaca puisi saya si-istri segera menginsafi diri dan kembali ke jalan yang penuh rahmat dengan tidak telat-telat makan. Puisi yang tidak jelas ini semoga menjadi bahan pengetahuan bagi kalian jika ecek-eceknya mengarungi hidup nanti. Semoga bisa membuat si-istri senyum-senyum senang. Insya Allah kamupun akan senang, insya Allah dapat pahala. Inilah puisi yang saya bikin yang harus si-istri baca akibat masuk ke Handphone-nya saat dulu itu;
Puisi: Memakan Pagi (dikirim di pagi hari)
Makan pagi adalah sebuah panggilan jiwa
Makan pagi adalah pelangi
Makan pagi bagaikan bunga melati yang menebar wangi,
Makan pagi adalah makan di pagi hari,
Makan pagilah yang disebut sarapan
Oh makan pagi,
Janganlah engkau lupa terhadap makan pagi.
------------------------------------------
Puisi: Makan Siang (dikirim setelah shalat zhuhur)
Makan siang adalah sebuah panggilan hati
Makan siang adalah mentari
Makan siang bagaikan bunga matahari yang menebar warna berseri,
Makan siang adalah makan di siang hari,
Makan siang-lah yang disebut lunch.
Oh makan siang, janganlah engkau lupa terhadap makan siang, istriku…
By: Affif
---------------------------------------
Nah, saya hanya mengirim itu saja pada si-istri. Sedangkan untuk makan malam saya kirim yang lain, bukan puisi. Saya tahu, bahwa puisi saya itu bukanlah saingan puisi-puisinya Iqbal, apalagi Rumi. Saya tahu akan lebih manis jika saya kirim dengan amplop berbentuk Love, dengan kertas merah jambu yang wangi bergambar-gambar bunga-bunga. Saya tahu juga akan lebih menyenangkan jika ketika puisi ini dibaca ada musik yang bagus yang mengiringinya. Namun entah bagaimana itu saya menjadi orang yang tak sempat saat itu berpikir begitu-gitu akibat diri saya yang terlalu fokus konsentrasi untuk membuat puisi itu agar si-istri bisa senyum senang. Namun nyatanya memang begitu, nyatanya si-istri membalas SMS saya yang membuat saya yakin bahwa dia sedang senang menerima puisi ini. Alhamdulillah. Dan semoga dia tahu betapa bahagianya saya yang sedang di Bumi saat itu.
Meulaboh, 14-Juni ’11.
Affif Herman
Presiden dan Imam sangat Besar seumur hidup Partai Persatuan Suami Perjuangan Raya.
Minggu, 12 Juni 2011
Episode kawan-kawan yang berpengaruh terhadap saya itu
Inilah beberapa nama yang itu membuat saya terpengaruh dalam hidup sehingga membuat ada berubah diri saya ini, baik sikap, kata, cincong, dan perbuatan. Meski itu kecil namun sangat-lah berarti bagi saya, maka itu inilah beberapa nama yang saya masih ingat. Penomoran dibawah nanti bukanlah bentuk kualitas dan prioritas, namun untuk mempermudah saja itu. Mari.
1.Rahmadi Sabara; Orang yang berpengaruh sehingga saya dengan ikhlas dan rela memakai helm ketika nyetir sepeda motor.
Sampai-lah saya di tahun 2007 saat itu, saat saya sudah katanya jadi mahasiswa senior di Universitas Syiah Kuala, dan tentunya bergaya karena identitas diri sebagai anak Teknik. Ow. Yang semakin bergaya dengan ketidak-rapiannya, kenyamanan memakai sandal jepit ke kampus, juga pake baju kaos, dan tas yang berat seolah-olah kutu buku. Oh mana ada mahasiswa yang lebih layak disebut mahasiswa selain mahasiswa teknik. Setidaknya begitulah yang terpikir saat itu. Dasar gaya!
Ditahun 2007 yang anehnya cuma terdiri dari 12 bulan ini bertemulah saya itu dengan Rahmadi Sabara yang saya menyerunya dengan “Bhung Madi” ini. Saya dan Madi terlibat dalam hubungan yang tidak terlarang saat itu, sehingga saya jadi tau-lah dia macam bagaimana-bagaimana. Dia itu mengaku-ngaku anak Meulaboh dari sebelah barat Aceh. Dia juga mengaku-ngaku bahwa dia dilahirkan oleh ibunya, padahal memang iya. Dia juga anehnya mengaku-ngaku bahwa dia lelaki bukan perempuan, padahal semua juga tau kalau dia itu lelaki. Dasar aneh.
Dulu sebelum saya bertemu Madi maka adalah saya yang paling malas orangnya memakai helm jika membawa sepeda motor. Itu akibat saya yang merasa tidak nyaman, tidak keren, dan tidak oke jika memakai helm. Saya memakai helm hanya sebatas saya tidak ingin bersilaturrahim dengan Polantas sang penjaga jalan. Itupun saya pakai helm tempurung tipis yang tidak standar.
Saya menghindari Polantas karena dia sering memanggil saya jika tak mengenakan helm, ecek-eceknya udah kenal, padahal kami tidak pernah berkenalan. Dan juga saya risih akibat Polantas itu suka nanya-nanya SIM saya, KTP saya, STNK sepeda motornya juga, dimana saya tinggal, dan tanya ini-itu juga. Dasar Polantas sok kenal dan sok dekat gitu. Maka oleh karena itulah saja saya memakai helm, yaitu agar tidak terjalin hubungan yang hangat diantara saya dan Polantas. Emangnya saya cowok apaan yang bisa dengan mudah dia panggil-panggil, gitu.
Setelah itu dalam waktu yang di tahun 2007 itulah saya, dimana melihat sendiri fenomena alam yang ganjil dan aneh yaitu Rahmadi. Rahmadi-lah yang dia-nya ternyata adalah manusia yang tiada mau khilaf dan lupa ber-helm. Selalu dan istiqomah sekali dia berhelm. Bahkan helmnya adalah itu dia helm yang standar, yang tebal, berat dan panas adanya. Saya menjadi merasa seolah-olah dia adalah utusan Polantas yang suci yang diturunkan untuk meluruskan manusia-manusia seperti saya. Subhanallah.
Rahmadi-lah orangnya yang selalu saya tertawakan bahwa kiranya dia tidak mau saya bonceng gara-gara dia tidak ada helm. Padahal tempat yang ingin kami tuju itu dekat, juga masih berada di dalam kawasan kampus yang jaraknya cuma berapalah puluh meter. Subhanallah, Madi.
Dia selalu begitu. Selalu komitmen dengan helmnya sehingga itulah saya yang akhirnya sadar diri. Menyadari kekhilafan diri yang mendalam dan untuk mau segera menginsafi diri. Keteguhan Rahmadi dalam berhelm telah melembutkan hati saya agar menerima helm sepenuh hati. Hati saya-lah itu yang terbuka oleh kebenaran pentingnya memakai helm ketika memakai sepeda motor di jalan. Dan sehingga akhirnya hingga saat ini sayapun mendapati diri saya dalam ketentraman dan kenyamanan yang nyata ketika bermotor memakai helm. Oh.
Demikian begitu-lah, Rahmadi telah mempengaruhi hidup saya dalam ber-helm. Meski kini kadang-kadang saya ada juga kiranya membuka helm sebentar, namun percayalah, berhelmnya saya saat ini jauh lebih baik dari yang lalu. Alhamdulillah peningkatan penggunaan helm oleh saya jika dibandingkan masa dulu bisa mencapai 90 persen lebih. Subhanallah, terimakasih Rahmadi, terimakasih bangsaku, hancurlah kapitalis!!.
(Nyambung...Tunggu cacatan selanjutnya..)
Affif Herman
Presiden dan Imam sangat Besar seumur hidup Persatuan Suami Perjuangan Raya.
Meulaboh, 12 Juni 2011, di kantor.
1.Rahmadi Sabara; Orang yang berpengaruh sehingga saya dengan ikhlas dan rela memakai helm ketika nyetir sepeda motor.
Sampai-lah saya di tahun 2007 saat itu, saat saya sudah katanya jadi mahasiswa senior di Universitas Syiah Kuala, dan tentunya bergaya karena identitas diri sebagai anak Teknik. Ow. Yang semakin bergaya dengan ketidak-rapiannya, kenyamanan memakai sandal jepit ke kampus, juga pake baju kaos, dan tas yang berat seolah-olah kutu buku. Oh mana ada mahasiswa yang lebih layak disebut mahasiswa selain mahasiswa teknik. Setidaknya begitulah yang terpikir saat itu. Dasar gaya!
Ditahun 2007 yang anehnya cuma terdiri dari 12 bulan ini bertemulah saya itu dengan Rahmadi Sabara yang saya menyerunya dengan “Bhung Madi” ini. Saya dan Madi terlibat dalam hubungan yang tidak terlarang saat itu, sehingga saya jadi tau-lah dia macam bagaimana-bagaimana. Dia itu mengaku-ngaku anak Meulaboh dari sebelah barat Aceh. Dia juga mengaku-ngaku bahwa dia dilahirkan oleh ibunya, padahal memang iya. Dia juga anehnya mengaku-ngaku bahwa dia lelaki bukan perempuan, padahal semua juga tau kalau dia itu lelaki. Dasar aneh.
Dulu sebelum saya bertemu Madi maka adalah saya yang paling malas orangnya memakai helm jika membawa sepeda motor. Itu akibat saya yang merasa tidak nyaman, tidak keren, dan tidak oke jika memakai helm. Saya memakai helm hanya sebatas saya tidak ingin bersilaturrahim dengan Polantas sang penjaga jalan. Itupun saya pakai helm tempurung tipis yang tidak standar.
Saya menghindari Polantas karena dia sering memanggil saya jika tak mengenakan helm, ecek-eceknya udah kenal, padahal kami tidak pernah berkenalan. Dan juga saya risih akibat Polantas itu suka nanya-nanya SIM saya, KTP saya, STNK sepeda motornya juga, dimana saya tinggal, dan tanya ini-itu juga. Dasar Polantas sok kenal dan sok dekat gitu. Maka oleh karena itulah saja saya memakai helm, yaitu agar tidak terjalin hubungan yang hangat diantara saya dan Polantas. Emangnya saya cowok apaan yang bisa dengan mudah dia panggil-panggil, gitu.
Setelah itu dalam waktu yang di tahun 2007 itulah saya, dimana melihat sendiri fenomena alam yang ganjil dan aneh yaitu Rahmadi. Rahmadi-lah yang dia-nya ternyata adalah manusia yang tiada mau khilaf dan lupa ber-helm. Selalu dan istiqomah sekali dia berhelm. Bahkan helmnya adalah itu dia helm yang standar, yang tebal, berat dan panas adanya. Saya menjadi merasa seolah-olah dia adalah utusan Polantas yang suci yang diturunkan untuk meluruskan manusia-manusia seperti saya. Subhanallah.
Rahmadi-lah orangnya yang selalu saya tertawakan bahwa kiranya dia tidak mau saya bonceng gara-gara dia tidak ada helm. Padahal tempat yang ingin kami tuju itu dekat, juga masih berada di dalam kawasan kampus yang jaraknya cuma berapalah puluh meter. Subhanallah, Madi.
Dia selalu begitu. Selalu komitmen dengan helmnya sehingga itulah saya yang akhirnya sadar diri. Menyadari kekhilafan diri yang mendalam dan untuk mau segera menginsafi diri. Keteguhan Rahmadi dalam berhelm telah melembutkan hati saya agar menerima helm sepenuh hati. Hati saya-lah itu yang terbuka oleh kebenaran pentingnya memakai helm ketika memakai sepeda motor di jalan. Dan sehingga akhirnya hingga saat ini sayapun mendapati diri saya dalam ketentraman dan kenyamanan yang nyata ketika bermotor memakai helm. Oh.
Demikian begitu-lah, Rahmadi telah mempengaruhi hidup saya dalam ber-helm. Meski kini kadang-kadang saya ada juga kiranya membuka helm sebentar, namun percayalah, berhelmnya saya saat ini jauh lebih baik dari yang lalu. Alhamdulillah peningkatan penggunaan helm oleh saya jika dibandingkan masa dulu bisa mencapai 90 persen lebih. Subhanallah, terimakasih Rahmadi, terimakasih bangsaku, hancurlah kapitalis!!.
(Nyambung...Tunggu cacatan selanjutnya..)
Affif Herman
Presiden dan Imam sangat Besar seumur hidup Persatuan Suami Perjuangan Raya.
Meulaboh, 12 Juni 2011, di kantor.
Qasidah euyy...
Awalnya itu, saya iseng saja, buka youtube bikin diri ngelirik-lirik lagu-lagu Qasidah jaman. Eh salahsatunya diri dapat lagu ini. Lagu jaman dari Orkes El Suraya. Awalnya saya ketawa-ketawa karena rasa-rasanya aneh, tapi itulah dia, meski ini Qasidah lebih tua dari umur anak bayi, namun liriknya ternyata masih bagus. Sederhana juga.
Harta dunia- Orkes El Suraya.
Hidup di dunia Tuhan jadikan
Ada yang susah ada senang
Bagi yang taat Ia janjikan
Hidup akhirat aman dan tenang2x
Bila hidup sulit dan susah
Serahkan diri pada ilahi
Bila hidup sulit dan susah
Serahkan diri pada ilahi
Mengutuk nasib elok tak usah
Sesali Tuhan jangan sekali
Mengutuk nasib elok tak usah
Sesali Tuhan jangan sekali
Bila hidup senang dan mewah
Syukurlah anda kepada Tuhan
Gunakan ia di jalan Allah
Agar tidak jadi kutukan
Harta itu barang amanah
Zakatnya wajibi Tuhan berikan
Akhirnya bukan menjadi rahmat
Ketahui rahmat yang memberikan
Aah…aah…Na’uzzubillah minzaliq..
Langganan:
Postingan (Atom)