Oh itu dia si Munawwarah, sedang membuat dirinya duduk di kursi tunggu yang terbuat dari kayu yang
tak kukenali jenis apa. Siapa peduli dengan jenis kayu itu. Yang penting dimana
kursi tunggu itu berada. Iya, di ruang tunggu KUA Kecamatan Syiah Kuala. Ehem.
Dia itu yang
berjilbab itu. Iya, yang berkaca mata itu. Iya, itu dia. Entah mengapa ia memakai kacamata kemana-mana. Entah. Mungkin
ya, mungkin biar jelas pas ngeliat sayanya. Ehem.
Dia udah duluan sampai. Di KUA yang
bangunannya yang agak kasian ini. Entah siapa yang desain. Terlalu asal-asalan
saja, terlalu banyak celah untuk dikritik. Belum lagi kukritisi hasil kerja
tukangnya yang ‘subhanallah’. Lantai yang bergelombang, cat putih yang tak lagi
putih, jendela dan kusen dari material kayu yang seadanya. Plafon yang mulai
kotor oleh bekas tetesan hujan. Heuheuheu. Kek gini-lah kalo negara agak kurang
menghargai lembaga pemersatu para kekasih dalam naungan NKRI ini. Tapi tak
apalah, mungkin arsiteknya paham bahwa mereka yang kemari gak peduli sama desain
bangunannya. Pikiran pengunjung kemari yang penting beres melegalkan urusan
asmara mereka. Toh, kalo udah jatuh cinta konon apapun akan jadi indah.
Termasuk KUA yang centang perenang ini.
Saya sendiri, setelah dari kampus langsung
merapat ke KUA yang terletak pas di persimpangan jalan dan berdekatan dengan
kantor kecamatan Syiah Kuala ini. Kira-kira mungkin berada dikoordinat 35,2°42′21″LU 139,76°42′54″BT. Hari ini adalah jadwal saya dan si doi mendaftar
dan mengurus hal-hal yang diperlukan oleh negara agar kami boleh nantinya
berboncengan berdua dalam gelombang asmara yang.... (Hahaha, sudahlah. Jangan
di lanjutkan bagian ujungnya.)
Nah, pas sampai di KUA saya langsung masuk
melalui pintu, lagi malas aja lewat jendela sebenarnya. Kulihat si Muna lagi
duduk di bangku kayu panjang yang tadi
aku tak tau jenisnya itu. Dia menoleh ke pintu, iya, ke ehem...ke saya. #Sihiiiy...meong.
Tak ada kata sapaan yang khusus saat
itu. Sayanya berusaha agar keliatan se-normal mungkin. Nutupin grogi, wak.
Hihihi.
“Udah dipanggil?” tanyaku sebagai basa
basi, biar ketegangan agak reda, meski nyatanya nggak ngaruh. Nada nanyanya
juga dibuat se-normal mungkin, dengan ekspresi sedatar mungkin. Seolah-olah ini
adalah masalah yang biasa-biasa saja. Meski nyatanya didalam hati tentu saja
gak biasa. “Dum-dam...du bi du bi da-dam...syalala...syalala...”. Hati bernyanyi,
wak!.
“Katanya tunggu bentar” Si Muna juga
menjawab seadanya, dengan suara datar juga. Apa dia ikut-ikut saya, ya? Tapi
dalam hatinya siapa yang tau. Mudah-mudahan “dum-dam du bi du bi... dam-dam...syalala...syalala” juga. Aamiin.
Beberapa saat kami menunggu di ruang
tunggu yang saat itu agak sepi. Aku sok menyibukkan diri dengan membaca dengan
sok serius beberapa informasi yang di tempel di dinding-dinding KUA. Karena kan
gak mungkin awak duduk di bangku panjang itu bareng si Muna. Trus kalo duduk
disitu aku mesti ngomong apa? Mesti gimana? Apa bilang gini; “Hai Muna, gimana
nih kabarnyah? Udah makan pagih? Hapenya ada pulsah? Mau Abangda isiin pulsanyah?
Kuliahnya gimanah? Lancar? Ada yang bisa abang bantuin? Bantu ngeprint atau apa
gitu biar adinda Muna senang, mau?”
Gitu? Gitu pedekatenya? Hihihi. Bisa
dilabrak si Muna abang kalian ini.
Tapi saat itu coba tengok, nyatanya
kami mencoba sibuk masing-masing. Seolah-olah kami sedang tak ada urusan antara
satu dengan yang lain. Saya sibuk sok-sok baca apapun yang di tempel di dinding
KUA. Sampai ada yang mesti dibaca 2 kali, karena udah khatam sekali. Semua yang
bisa dibaca di dinding KUA itu kubaca, tak ada yang luput. Koranpun masalahnya
tak ada. Si doi pun entah ngapain itu di bangku itu. Kami macam intel yang lagi
menjalankan misi untuk menangkap kepala KUA hidup-hidup. Sunyi senyap. Heuheuheu.
Setelah beberapa lama kami menunggu
tanpa ngobrol. Lalu salah satu ibu-ibu petugas KUA memanggil kami untuk masuk
ke ruangannya untuk ditanya ini itu mengenai administrasi yang mereka perlukan.
Saya dan si cewek duduk di kursi yang disediakan, mau duduk di meja konon
katanya gak sopan. Yaudah, kududuk di kursi yang telah disediakan. Kami berhadapan
sama si ibu. Tak ada yang penting sebenarnya, si ibu petugas cuma nanya
kelengkapan berkas-berkas, surat pengantar, foto 3x4, dan lain-lain.
Lalu si ibu ini mencoba mencairkan
suasana. Mungkin karena diliatnya kami berdua tak saling cakap-cakap. Jadi dia
seolah-olah ingin menjadi pencair suasana.
“Udah berapa lama ‘kenalan’? Kenalannya
di kampus?” tanya si ibu sambil senyum, melirik ke kami beberapa detik trus
mata dan tangannya kembali sibuk membereskan dan memilah-milah berkas-berkas
kami dengan sigap dan cekatan. Entah udah berapa pasangan yang telah beliau
proses. Pertanyaan mengenai ‘lama kenalan’nya tadi membuat beberapa petugas KUA
di ruangan tersebut ikut mengompori dengan tawa-tawa yang agak ‘meneror’. Saya ya cuma senyum-senyum cantik. Tak
kujawab bahwa kami baru saling tahu dalam beberapa hari saja. Bisa dikira nanti
kami korban perjodohan sejak kecil oleh orang tua masing-masing, kayak di
telenovela-telenovela. Makanya ‘tergereuheng-gereuheng’ saja kukira udah cukup.
Biarlah debar-debar di hati yang menjawab. #Aseeeek...
“Heheee, gak lama, bu”
Gak enak juga menghiraukan si ibu
petugas, akhirnya saya jawab juga dengan singkat sambil senyum sikit-sikit.
Tapi tetep senyum banyak-banyak di hati. Auw...auw.
Saya gak liat si Muna gimana pulak
ekspresinya, mungkin kalo saat itu kami udah halal secara hukum agama, mungkin
saja dia mencubit pinggangku dengan genit. Mungkin, ya, mungkiiiin.
Oiya, ada adegan dimana si ibu petugas
ini bangun dari mejanya, entah kemana dia pergi. Seolah-olah ada berkas yang
tak lengkap di mejanya. Jadi si ibu ninggalin kami berdua di depan
mejanya. Kami berdua hanya melihat ke
depan kekursinya yang kosong. Heuheuheu. Meski duduk bersebelahan saat itu kami
tetap gak ngomong-ngomong, wak! Persis kayak di ruang tunggu sebelumnya, cuma
masalahnya tadi kami agak berjauhan, spasi diantara kami tadi terbentang 4-5
meter. Lha, Sekarang spasinya cuma sejengkal-dua jengkal tangannya orang Kamboja.
Dekat bener. Ini jarak terdekat yang terjadi diantara kami sebelum naik angkot,
eh, naik pelaminan.
Si Muna kulirik pake ekor mataku yang
paling ujung biar gak ketahuan...oh, dianya sibuk main hape. Kalo kutebak, mungkin
dia lagi apdet status fesbuk yang bunyinya,” Lagi di KUA nich.”. Mungkin, ya,
mungkiiiin. Tapi gak mungkin deh kayaknya. Hahaha.
Situasi yang bikin salah tingkah ini
berakhir setelah si ibu petugas KUA kembali datang. Alhamdulillah. Lalu dengan
sedikit tanya-tanya ala kadarnya berkas-berkas itupun beres. Ya gitu, beres
aja. Tak serumit menurunkan persamaan differensial orde-4.
Lalu kami permisi sama si ibu. Trus 2
orang yang bakal pacaran ini masing-masing pamit. Iya, gitu aja. Tak ada saling
pandang beberapa menit kayak di film-film telenovela Korea Utara. Belum ada
gombal-gombalku keluar. Rayuan-rayuan gombalku masih terbungkus rapi di sela-sela
debar-debar jantung, yang masih bisa disembunyiin pake jaket. Si Muna gak
bakalan tau. Kami kembali sok sibuk ke aktifitas masing-masing.
Singkat cerita, tepatnya setelah ijab
kabul di mesjid selesai. Kami pisah, masing-masing balik ke lokasinya, buat ganti
kostum. Karena kostum di acara Akad nikah dan yang dipakai di pelaminan
biasanya berbeda. Di sela-sela ganti kostum ini kuambil hapeku yang jago
mengirimkan pesan singkat itu. Kuketik.
“Ada pegang hape?” Lalu ku pencet tombol
send. Iya, ke si Muna laaah. Masak itu pun payah di jelasin lagi, wak?!
“Ada.” Balasan singkatnya tak lama
masuk. Mungkin si doi lagi direpotkan oleh masang aksesoris ini itu di pakaian
adatnya. Biasanya aksesoris cewek memang lebih ribet.
“Udah boleh nanya2 kabar? Hehehe”
kuketik balasan. Send lagi.
“Hahaaa, udah laaah...” balasannya.
Yes! Hehehe, lalu tak kubalas lagi,
kan nanti bentar lagi ketemuan di pelaminan. Itu SMS pembuka aja dulu. Biar
apa? Biar senyum-senyum sendiri. Hahahaa.
Alhamdulillah,
itu kejadiannya udah 4 tahun yang lalu. Gak terasa aja udah pacaran 4 tahun.
Hehehe. Udah, udah pasti ada kurang lebih, senang-susah atau khilaf-lupa
diantara kami. Semoga hal tersebut semakin menguatkan, diberi Allah keberkahan.
Kepada si kekasih, pacar, kawan
hidupku itu semoga senantiasa dimudahkan Allah segala urusannya. Diberkahi
Allah langkah hidupnya. Semoga Allah membalas dengan kebaikan yang jauh lebih
baik atas usaha dan lelahnya.
Terakhir, maunya kubilang ‘I love you’
tapi kamunya udah tau, jadinya gak surprise. Mau bilang ‘dangsin-eul
salanghabnida’ nanti akunya dikira anak alay Korea. Mau bilang ‘Bi Chamd
Khairtai’ kamunya malah gak ngerti bahwa itu bahasa Mongolia. Hihihiii. Tapi
apapun bahasanya, tenang Na, selama ada google translate maka aman. Artinya Insya
Allah sama, bahkan tanpa pake google transllate pun kamu udah tau. Je te aime,
Muna. :D
“Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakanmu”
#SapardiDJokoDamono
Affif Herman, Bandung, 15 Maret 2015.
Belum ada yang koment.
BalasHapusAku koment sekali...
Hahahaaa, makasih qaqa.
HapusHahahahahaaaaaa asique campur jijique aku bacanya
BalasHapusKurang ditambah sajak dan pantunnya bang,
empek-empek sayur lodeh
capek deeeehh....