Bab Ngawur 5: Surprise!
Ini pagi ke-10 Jo di
Paris. Sedang waktu awal Dhuha kini. Makanya di mesjid Paris saat itu ada
beberapa orang yang sengaja shalat Dhuha, meski banyak juga yang malas tanpa
alasan yang jelas. Langit Paris saat itu masih saja terhampar biru seluas biji mata
memandang. Cerah benar pagi ini, suasana begini konon cocok untuk membikin
puisi. Cocok juga untuk melamun. Warna biru untuk langit itu ternyata memang warna
yang cocok untuk segala suasana yang ada di bumi. Pengunungan hijau berombak cocok
di latari oleh biru langit. Pegunungan gersang dan gundul juga jadi oke ketika
dipadan dengan langit biru. Padang pasir yang panas dan gersang, savana-savana di
Afrika, gedung-gedung pencubit langit di perkotaan, sungai atau danau bahkan
laut sekalipun tetap saja sangat ‘klop’ ketika bersanding dengan latar berwarna
biru. Dan kita sangat menikmati birunya langit ini, kan? Subhanallah, Maha
Besar Allah atas segala ciptaannya.
Di Paris kini mungkin
sudah hari rabu. Entahlah, saya tidak begitu ingat juga sebenarnya. Tapi itu
mungkin tidak begitu penting, karena yang penting untuk pembaca ketahui pada
pagi yang cerah ini adalah bahwa sudah 10 hari Jo di paris, bersama Deedi,
namun belum satupun curhat-curhat mentel Jo tentang perasaannya ke Agnis tersampaikan
ke Deedi. Padahal kan itu satu-satunya tujuan Jo jauh-jauh ke Paris. Mengapa
sampai demikian yang terjadi? Yah, mungkin ini-lah yang sedikit penting untuk
kita ketahui nanti.
--------------------------------------------------/////---------------------------------------
Rupa-rupanya Deedi sangat
sibuk dalam sepuluh hari ini. Kegiatan ini itu di mesjid dan kerja sampingannya
di luar mesjid membuat Deedi kehabisan waktu dan tentu dong kehabisan tenaga ketika
pulang. Setiap hari setelah shalat shubuh, setelah membereskan keperluan
mesjid, membersihkan tempat wudhu dan WC-nya, mengelap lantainya dan menyapu
halamannya Deedi langsung ‘caw’ keluar dari mesjid. ‘Caw’ itu kayaknya bahasa
salah gaul, artinya kurang lebih ‘pergi’ atau ‘berangkat’. Mungkin dalam sehari
Deedi hanya sempat mengobrol sepatah dua patah kata saja dengan Jo, atau hanya
sekedar ‘say hello’’ saja. Padahal mereka tinggal dalam satu kamar yang sama.
Ini aneh sekali, pikir Jo. Kok Deedi gak sehangat ketika mereka chatingan dan
telpon-telponan? Kok Deedi gak se-akrab ketika komen-komenan di fesbuk dan
twitter? Apakah keakraban di dunia maya juga merupakan keakraban yang maya? Tak
riil, tak nyata.
Deedi baru pulang dia
ketika malam-malam sudah disebut larut, sekitar pukul 12-an tengah malam lewat begitu.
Itu pun Jo juga sudah memulai musikal malamnya dengan dengkur-dengkur berirama
naik-turun yang indah. Kesendirian di mesjid membuat Jo kesepian dan bosan dan jadinya
cepat ngatuk. Memang pernah beberapa malam yang lalu Jo mencoba menghibur diri
sendiri dengan main Ular tangga, Halma dan Ludo. Jo pikir mungkin bisa jadi dia
terhibur dan malamnya jadi meriah hingga Deedi pulang, tapi tentu saja itu
dusta. Sebab mana ada kemeriahan main ludo, Ular Tangga dan Halma jika
dimainkan oleh dirinya sendiri. Ketawa sendiri, menang sendiri, kalah sediri,
maki-maki sendiri. Kan jadinya garing. Makanya permainan sendiri itu akhirnya
punah sendiri. Jo lebih memilih tidur.
Meski pulang tengah malam
buta biasanya Deedi tak langsung tidur juga. Dia langsung menghidupkan
laptopnya dan segera kasak kusuk dengan keyboardnya hingga lupa waktu, entah
apa yang dia lakukan. Terkadang dia senyum-senyum sendiri dan ketawa cekikan
sendiri bersama layar laptopnya itu. Nanti sekitar pukul 3-an pagi Deedi baru beranjak
untuk istirahat. Tentu saja terlebih dahulu dia pindahkan Jo dari atas kasurnya
ke lantai, tanpa sebongkah bantal dan guling. Jo 100 persen nge-lantai.
Sebenarnya di sela-sela
kesadaran yang tidak penuh akibat tidur Jo tau juga jika Deedi telah pulang.
Namun Jo udah gak semangat lagi untuk bangun karena matanya terlalu berat untuk
diangkat. Jo juga agak-agak ngerti, mana mungkin ngajak ngobrol Deedi yang baru
pulang begitu, apalagi udah larut malam. Terkadang Jo mau bertanya, tapi dia
pikir apa haknya bertanya atas kesibukan Deedi. Barangkali kan Deedi memang
demikian.
Jadinya setiap hari belakangan
ini kerjaan Jo di Mesjid ya melamun saja. Paling sibuk cuma saat bantu-bantu,
eh lebih tepatnya saat disuruh-suruh sama
Om Khaleed, bos marbot di mesjid itu. Pria ramah yang ternyata berasal dari
pulau Nias Sumatera Utara. Ya, ini sedikit mengagetkan memang, ternyata Om
Khaleed berasal dari pulau Sumatera juga. Jo baru tau ketika disuruh Om Khaleed
untuk memfotokopi berkas-berkas ijazah sarjananya. Dia katanya dipanggil oleh
sebuah perusahaan di Paris dan diminta untuk membawa berkas-berkas yang
diperlukan. Di antara berkas-berkas itu Jo jadi terbaca alamat asli dan asal Om
Khaleed itu. Jadi, itu saja aktifitas Jo di Paris. Bisa dibilang 89,77
persennya hanya digunakan Jo untuk melamun.
----------------------------------------------------/////--------------------------------------------------------
Ini sudah pagi ke-13, dan
alhamdulillah cerah juga. Jo juga baru saja membantu (disuruh) Om khaleed
memangkas pohon bonsai di taman mesjid, biar rapi. Deedi tentu saja sudah
berangkat seperti biasanya. Setelah kerjaannya beres Jo minta ijin ke Om
Khaleed untuk balik ke kamar sebentar, mau istirahat dikit. Jo merasa badannya
agak kurang enak. Beberapa hari belakangan dia sangat bingung dan berpikiran
mikirin perangai Deedi, Jo merasa minder dan rendah diri karena merasa seolah-olah
dicampakkan oleh Deedi.
Setelah membasuh wajah Jo
berbaring di kasur. Jarang-jarang kan dia bisa tidur di kasur, ntar kalo Deedi
pulang Jo harus rela tidur berpelukan dengan lantai kamar yang dingin lagi.
Ketika Jo akan melamun Jo tersadar sesuatu. Jo terpikir kenapa dia selama ini
gak pakai saja laptop Deedi yang ada di atas meja? Padahal Deedi kan gak setiap
hari bawa laptop. Kan lumayan bisa sedikit menghibur diri, dan tentu saja yang
lebih penting bisa kembali mengirim surat cinta ke Agnis yang kemarin gagal
terkirim. Kalo lihat laptop Deedi Jo jadi teringat juga laptopnya yang udah
ke-akhirat. Terlinang juga airmata Jo mengingat tragedi malam itu. Tapi ya
sudahlah, Jo menepis kenangan laptopnya yang telah almarhum itu.
“Aaahh, kan guweh bisa
kirim surat ke Agnis dari dulu...kenapa guweh jadi bego, ya?” gumam Jo serius,
karena dia pikir selama ini dia jenius.
Jo langsung bangkit dari
kasur dan bergegas ke meja untuk menyapa laptop Deedi. Dia bikin laptop hidup.
Jo memang punya kemampuan menghidupkan dan mematikan laptop. Keren, kan? Tentu
saja tidak.
“Bip” layar laptop
muncul.
Namun apa mau dibilang, tiba-tiba
ada yang sangat mengagetkan Jo. Roman muka Jo langsung berubah 720 derajat! Matanya
terbelalak.Mulut Jo juga jadi otomatis ternganga lebar seperti kerbau menguap,
tapi dia tutup pake kedua telapak tangannya. Pose ini memang sering digunakan
oleh orang-orang yang merasa dirinya kaget bukan main. Begitulah yang Jo
lakukan. Ini bencana alam.
“APPUUAA?! KE...KE-KENAPA
FOTO A-AGNIS JADI WALLPAPER?!! ” pekik Jo, dengan mulut yang bergetar.
“ke-kenapa...ke-kenapa?!
De-Deedi...tegaaa!!”
Jo jadi marah sekali dia.
Habis kata. Badannya gemetar hebat menahan amarah. Kukunya mulai tumbuh
runcing-runcing memanjang dan hitam. Gigi taringnya juga mulai bertambah panjang
4x lipat. Muka dan badan Jo tiba-tiba mulai ditumbuhi bulu hitam dengan cepat,
tak lupa telinga Jo juga menjadi lonjong runcing memanjang ke atas. Matanya mulai
memerah dengan dengus nafas yang berat dan memburu. Wow! Jo berubah jadi
drakula! Hehe, gak cing, mohon abaikan paragraf ini.
Hari yang cerah inipun
hancur sudah. Di sudut kanan foto wallpaper ini ada pula disitu tulisan yang
makin membuat Jo ingin mengamuk dan ingin meratakan menara effiel dengan tanah.
“Agnis-Deedi, forever in lope”. Tertera dengan tinta berwarna merah jambu
bikinan Photoshop.
Romantiskah Paris itu
kini? Oh tentu saja bagi Jo tidak. Paris menjadi begitu memuakkan.
#nyambung lagi...
Affif
25 Juli 2012
Lagi di kamar…
Imajinasi tingkat tinggi ya Fif? :D
BalasHapusudah bab 5 aja tuh, :D
hehee, lagi nge-hibur kawan aja sama cerita ini...:D
Hapus