Rabu, 04 Juli 2012

Johan Asmara, BAB Ngawur 4: Di Paris Kini



Iya, ini dia negara Perancis. Negara yang sedang dirinya kuatir dengan permasalahan merapuhnya bahkan runtuhnya institusi keluarga, yang tentu mereka takut nanti berefek ke kehidupan masyarakatnya. Kan keluarga adalah pondasi masyarakat, jadi kalo keluarga banyak yang hancur otomatis masyarakatnya juga ntar rubuh sendiri. Bahkan disini masalah keluarga begini terus dibahas secara serius hingga ke lingkungan akademik. Yah, bentuk masyarakat yang individualis dan industrialis telah ngubah gaya hidup orang Perancis secara umum, mereka sadar itu. Dan Jo tentu saja dia tak peduli dengan masalah begitu.

Iya, karena permasalahan hatinya-lah yang telah membikin dia harus kemari.  Iya, ke Paris. Buat nenangin diri. Buat menghindar.  Buat agar diri lupa sama Banda Aceh, yang telah membikin Jo ingat terus sama dia... iya, sama Agnis.

Mengapa Paris? Kenapa gak ke Zimbabwe aja? Iya, alasannya sederhana. Jo sebenarnya ada sebiji teman yang dia beri kepercayaan yang tinggal di kota ini. Teman yang jadi tempat dia mencurahkan isi hati, yang istilah gaulnya curhat. Curhat yang dia rahasiakan ke seluruh warga kota Banda Aceh, namun tidak menjadi rahasia di Paris. Deedi namanya, nama teman yang akan Jo temui di Paris, temen yang tahu perihal isi hati Jo yang terus cenat-cenut.

Asal kalian tau, Jo merasa hanya Deedi yang selama ini ngerti sama perasaan Jo. Hanya  Deedi yang dengerin setiap keluh kesah Jo.  Hanya Deedi yang sabar dengerin curhat-curhit Jo. Hanya Deedi yang ngasih Jo kata-kata motivasi agar tetap tabah. Hanya Deedi yang setia komenin status-status FB-nya Jo, bahkan hanya Deedi yang nge-RT-in twit-twitnya Jo. Dan hanya Deedi yang kini mau menampung Jo di Paris, soalnya kan Jo hanya kenal Deedi di Paris. Deedi Bonaparte namanya, lelaki tak berjilbab yang juga dulu berasal dari Banda Aceh ini. Lelaki yang tentu kalian sebagai pembaca masih misterius dan deg deg-an pengen tau bagaimana orangnya. Namun tidak bagi saya, karena saya sudah tau.

***

Jo malam tiba di Paris melalui Bandara internasional Charles de Gaulle. Matahari tak keliatan malam itu, entah kemana dia malam-malam begini, padahal kan lagi dingin-dinginnya. Dan tak ada yang lain yang menjemputnya selain, iya, Deedi Bonaparte. Jo di jemput pake kendaraan pribadi Deedi. Sepeda berkeranjang depan berwarna merah jambu, yang biasa digunakan oleh emak-emak di kampung untuk belanja sayur-mayur di pasar. Maklum ini sedang awal bulan, Deedi sedang dilanda musim kemarau keuangan, kiriman dari kampung masih enggan menyelinap ke rekeningnya. Jadi wajar jika Deedi gak bisa jemput Jo pake taksi. Ini masih lumayan pake sepeda, untung gak jalan kaki.

Setelah cipika-cipiki barang 4 menit, kangen-kangenan barang 7 menit, tanya basa-basi barang 5 menit, barulah mereka beranjak keluar dari gerbang utama disebelah utara bandara. Mereka segera saja ke parkiran, yang diiringi datangnya seorang tukang parkir yang dia langsung saja mengelap tempat duduk sepeda Deedi dengan handuk kecil yang tadi dililit di lehernya. Dan Deedi pun ngasih duit ke tukang parkir yang datang tadi dengan ikhlas. Eh, ini perasaan persis kayak tukang parkir di Indonesia, ya? Yaelah...hehe. 

Deedi pun membonceng Jo. Baru sekitar 5 menit berlalu, bulir-bulir keringat Deedi udah gak mau sabaran, mereka gak mampu menahan diri untuk tidak segera keluar dari badan Deedi. Padahal kan malam lagi dingin-dinginnya, namun tetap saja dinginnya malam gak bisa menghalangi cairan tubuh itu keluar berjejal melalui pori-pori kulit Deedi. Soalnya ternyata tumpangan Deedi beratnya minta ampun. Bukan... bukan karena Jo-nya yang berat, karena kenyataannya Jo itu kurus. Tapi barang bawaan Jo yang kelewat banyak. Ini itu untuk perawatan kulitnya saja sampe 2 tas, ini itu untuk perawatan rambut satu ransel gunung, belum lagi pakaian ini itu 2 kardus Indomie, sepatu ini itu, dan lain-lain yang Jo rasa penting untuk dia bawa. Rencananya Jo mau  menyeimbangi kehidupan kawula muda Prancis yang konon katanya sebagai kota pusat fashion dunia itu. Wajar jika Jo gak mau kalah model. Hati boleh patah, tapi gaya tetep move on.

 Namun demikian tak terlihat keluhan dari wajah Deedi, dia tetap berusaha dan berjuang untuk tersenyum di depan Jo. Juga Deedi berusaha dan berusaha dan berusaha untuk tetap semangat mendayuh sepeda kesayangannya itu. Urat-urat lehernyapun terlihat menegang jelas. Derit-derit sepeda yang dibeli seken (second) di pasar bekas itupun terdengar samar. Tertutupi dengan suara riuh kesibukan lalu lintas di kota Paris yang masih ramai. Sehingga Deedi gak nyadar kalo sepedanya lagi merengek-rengek minta tolong karena hampir mampus kelebihan beban. Dan Jo dibelakang sedang asyik-asyiknya twitter-an.


***

 Di paris Deedi tinggal di mesjid Agung Paris (Mosquee Grande De Paris) yang terletak di Fifth Arrondissement. Berselang beberapa blok dari kantor walikota kota Paris. Dari sinipun menara Eiffel terlihat jelas dan mempesona. Angkuh sekali besi tua itu. Dia tau bahwa dia sedang dipuja-puja sebagai ikon romantisme ala ABG-ABG gaul nan alay.

Deedi jadi asisten marbot di mesjid itu, Om Khaleed namanya, sehingga wajar jika Deedi bisa tinggal disitu. Diberi satu kamar lumayan seluas 3x3,5 meter yang bisa dia gunakan buat macam-macam. Tentu saja juga bisa tidur disitu, namanya juga kamar, masak kalian gak tau apa fungsi kamar.

Di kamar ini pula Jo nanti akan menginap untuk beberapa waktu yang entah berapa lama. Mungkin sampai dia bisa ngelupain Agnis, meski tentu saja itu tidak mungkin. Tapi jo tidurnya tentu saja di lantai, karena kasur cuma ada satu buat Deedi. Meski sederhana, namun kamar ini memiliki kelengkapan fasilitas yang memuaskan. Televisi layar flat merek Neksian keluaran terbaru 40 inchi, radio bersuara jernih, infokus, mesin cuci, kompor gas, oven, teropong bintang, handphone, iPad, iPhone, kulkas mini, komputer dengan spesifikasi canggih, laptop yang juga gak main-main, dan juga terhubung dengan koneksi internet yang luar biasa cepat. Jo juga agak heran kenapa Deedi memilik perangkat elektronik selengkap dan sebanyak ini. Apalagi setahu Jo bahwa Deedi bilang dia tidak memiliki pekerjaan yang jelas di Paris. Jo merasa kayaknya ada sesuatu deh, tapi dia urung memikirkannya, sebab pikirannya sibuk dengan...iya lagi-lagi, Agnis.

Setelah menghabiskan waktu sekitar 37 menit merekapun tiba dengan selamat di mesjid indah ini. Sesampai di Mesjid Agung Paris tadi Deedi langsung membawa Jo ke kamarnya -Deedi telah meminta izin Om Khaleed sebelumnya perihal kedatangan Jo-. Dan Deedi langsung saja terkapar di kasurnya, kecapekan. Lebih tepatnya ‘hampir mati!’. Dia bahkan tak sempat mengganti pakaiannya yang basah kuyup oleh keringat. Tak sempat lagi berbincang-bincang ini itu dengan Jo. Deedi hanya sempat menuliskan password untuk koneksi internet yang ditanyakan oleh Jo. Jo merasa dia ngerti kecapekan Deedi makanya dia membiarkan Deedi segera istirahat, niat untuk curhat tentang Agnis Jo urungkan untuk sementara. Mudah-mudahan dengan begini Deedi akan menganggap Jo adalah seorang teman yang berpengertian lagi baik hati.

Segera Jo buka dan hidupkan laptopnya di atas sebuah meja kecil yang terdapat di sudut ruangan itu. Diatas meja tersebut ada satu-satunya jendela untuk kamar Deedi ini, jendela kecil yang berguna sebagai pintu masuk cahaya dan udara saja. Juga untuk menambah kesan manis kamar asisten marbot itu. Tidak ada satu orangpun yang berniat menggunakan jendela yang hanya berukuran 50x50 cm itu sebagai pintu masuk. Yakinlah.

Jo tiba-tiba ingin menulis sesuatu. Entah kenapa tiba-tiba saja dia ingin sekali menulis sebuah surat romantis untuk Agnis yang kini telah jauh darinya, di banda Aceh. Mungkin ini efek dari romantisnya kota Paris, ya? Agar tidak bingung mencari inspirasi untuk menulis surat cinta, Jo-pun mengambil buku dari salahsatu tasnya, ada di situ buku yang dia cari. Buku terkenal karya Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk judulnya. Dia lalu sibuk membolak-balik halamannya, mencari beberapa contoh surat yang dibuat oleh Zainuddin untuk Hayati di buku tersebut. Setelah sekitar dua jam-an lebih mencari, menganalisa dan menimbang akhirnya Jo merasa mendapatkan apa yang dicarinya. Jo langsung bersemangat mempermainkan tuts-tuts pada keyboard laptopnya yang udah nunggu dia sedari tadi... Jo pun menulis;


>
Dear Agnis, Hai...

Barangkali kamu tidak mengenalku, tapi percayalah bahwa saya begitu mengenalmu. Saya baru berani menulis surat ini kepadamu, karena saya baru saja tiba di Paris, kota yang katanya romantis. Tapi tanpa kamu nyatanya kota ini tidak begitu, biasa-biasa saja.

Agnis,surat ini mungkin lancang, mungkin juga tak layak, mungkin juga norak. Namun aku mau tidak mau harus mau mengatakannya kepadamu. Bahwasanya jiwaku telah diisi sepenuh-penuhnya oleh cinta kepadamu. Cintaku kepadamu telah memenuhi hatiku, telah terjadi sebagai nyawa dan badan adanya. Dan selalu saya berkata, biar Tuhan mendengarkan, bahwa engkaulah yang akan jadi istriku kelak, jika tidak sampai di dunia, biarlah di akhirat. Dan saya tiadakan khianat kepada janjiku, tidak akan berdusta di hadapan Tuhan, dan di hadapan arwah nenek moyangku…..jika daku kekasihmu, berjalan jauh atau dekat sekalipun, entah tidak kembali dalam masa setahun, masa dua tahun, masa sepuluh tahun, entah hitam negeri Paris ini baru daku kembali kesana, namun saya tetap menuju ke cintamu. Carilah bahagia dan keberuntungan kita ke mana jua pun, namun saya tetap untukmu. Jika kita bertemu pula, saya akan tetap hanya untukmu, Agnis, untukmu…”

Sekian, bye –bye....
by: Lovely Jo
>

Setelah selesai mencomot dan merevisi surat Hayati untuk Zainudin di novel Hamka tersebut Jo menjadi sangat puas. Dia baca berkali-kali. Berkali-kali, lagi dan lagi. Dan berkali-kali pula dia menjadi senyum-senyum sendiri, gak tahan oh betapa senangnya dia. Lama pula dia tenggelam mengulang-ngulang melihat isi surat yang dia comot dengan semena-mena itu. Macam bagaikan pungguk udah bertemu bulan. Senang tak tertanggung rasanya hati Jo.

Tersadar bahwa tujuan surat itu dibikin untuk dikirim ke Agnis, bukan untuk dilihatin doang, Jo-pun segera tergopoh membuka emailnya dan mengkopi surat tadi segera ke halaman kosong e-mail. Lalu tanpa ragu-ragu tapi malu-malu dia masukkan alamat email Agnis sebagai tujuan yang hendak dituju oleh surat cintanya itu. Tentu saja hatinya menjadi berdegub kencang, jari jemari tangan dan kakinya juga jadi gemetaran, efek dari rasa super senangnya. “Sip, beres, tinggal ‘send’ dah” gumam Jo dalam hati.

“Bip”

Tragis. Laptop Jo tiba-tiba mati persis sesaat Jo mau mengklik perintah ‘Send’ dengan hati yang sedang mekar berbunga tadi. Kehabisan baterai untuk hidup rupanya, Jo khilaf gak merhatiin hal begituan.

“Celaka 17!!” Pekik Jo, kaget.

Jo terdiam, gak nyangka bakal begini kejadiannya. Syok. Jo segera bangun ingin mengambil ‘charger’ laptopnya. Dan berselang 5 detik kemudian listrikpun ikut-ikutan padam. Jo melotot geram. Bunga-bunga yang tadi sedang mekar-mekar di hatinya tiba-tiba saja menjadi layu lalu hancur kayak diinjak-injak kerbau. Jo pun reflek membuka jendela satu-satunya di kamar tersebut, yang tingginya lebih dari 15 cm diatas kepala Jo dan tepat berada di depannya. Kenyang dengan kejengkelan plus geram Jo pun melempar leptopnya keluar jendela tersebut tanpa pikir pendek. Jo kalap membara.
“kurang Asem PLN Paris!!” pekik Jo. Dia pikir di Paris ada yang namanya PLN.

“Kraaaak!!...Kraaak!” Jo samar tapi jelas mendengar bunyi suatu benda seperti pecah tergilas dari luar jendela. Mirip-mirip bunyi kerupuk udang atau kerupuk mulieng yang dipijak-pijak.

Tak butuh waktu lama, dalam remang gelap Jo langsung bergegas menaiki meja dan melongo keluar jendela tadi. Dengan panik ingin mengecek leptop mahalnya tadi. “Mudah-mudahan tidak apa-apa” katanya. Namun fakta di luar jendela kamar tersebut adalah ternyata jalan rayanya kota Paris yang sibuk. Dan bukannya taman mesjid yang seperti Jo kira. Kamar ini rupanya terletak di paling belakang mesjid sekaligus sebagai dinding pembatas antara jalan raya di luar dengan mesjid. Dan seperti yang para pembaca bayangkan, kondisi laptop Jo sudah tidak mungkin tertolong lagi. Remuk lebur digilas truk pengangkut sembako di kota Paris yang sibuk itu. Isi perut laptop Jo terburai kesana kemari tanpa ampun. Kayak sebuah semangka 7,2 Kg yang dijatuhkan dari atas menara mesjid raya Baiturrahman Banda Aceh.

Badan Jo gemetar melihat pemandangan biadab itu. Jo memejamkan matanya mencoba mengendalikan diri. Hatinya remuk redam, leptop-pun remuk gurindam macam kerupuk mulieng yang hancur terinjak. Deedi pun tersenyum dalam tidurnya, sepertinya Deedi sedang dihampiri mimpi indah. Oh Paris...

#Bersambung...
Mesjid di kota Paris
Di dalam Mesjid Paris
  

 04 Juli 2012
Lagi di kamar, lg menyambut Ramadhan datang...:))


Maraji:
-          Institusi Keluarga dalam masyarakat Perancis: Krisis dan Komitmen, Joesana Tjahjani, M. Hum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar