Iya, ini dia negara Perancis. Negara yang sedang dirinya
kuatir dengan permasalahan merapuhnya bahkan runtuhnya institusi keluarga, yang
tentu mereka takut nanti berefek ke kehidupan masyarakatnya. Kan keluarga adalah pondasi masyarakat, jadi kalo
keluarga banyak yang hancur otomatis masyarakatnya juga ntar rubuh sendiri. Bahkan disini masalah keluarga begini terus dibahas secara serius hingga ke lingkungan akademik. Yah, bentuk masyarakat yang individualis
dan industrialis telah ngubah gaya hidup orang Perancis secara umum, mereka sadar itu. Dan Jo tentu saja dia tak peduli dengan masalah begitu.
Iya, karena permasalahan hatinya-lah yang telah membikin
dia harus kemari. Iya, ke Paris. Buat nenangin diri. Buat menghindar. Buat agar diri lupa sama Banda Aceh, yang
telah membikin Jo ingat terus sama dia... iya, sama Agnis.
Mengapa Paris? Kenapa gak ke Zimbabwe aja? Iya,
alasannya sederhana. Jo sebenarnya ada sebiji teman yang dia beri kepercayaan yang tinggal di kota ini. Teman yang jadi tempat
dia
mencurahkan isi hati, yang istilah gaulnya curhat. Curhat yang dia rahasiakan ke seluruh warga kota Banda
Aceh, namun tidak menjadi rahasia di Paris. Deedi namanya, nama teman yang akan
Jo temui di Paris, temen yang tahu perihal isi hati Jo yang terus cenat-cenut.
Asal kalian tau, Jo merasa hanya Deedi yang
selama ini ngerti sama perasaan Jo. Hanya
Deedi yang dengerin setiap keluh kesah Jo. Hanya Deedi yang sabar dengerin curhat-curhit Jo. Hanya Deedi yang
ngasih Jo kata-kata motivasi agar tetap tabah. Hanya Deedi yang setia komenin
status-status FB-nya Jo, bahkan hanya Deedi yang nge-RT-in twit-twitnya
Jo. Dan hanya Deedi yang kini mau menampung Jo di Paris, soalnya kan Jo hanya kenal Deedi di Paris. Deedi Bonaparte
namanya, lelaki tak berjilbab yang juga dulu berasal dari Banda Aceh ini. Lelaki yang tentu kalian sebagai pembaca masih
misterius dan deg deg-an pengen tau bagaimana orangnya. Namun tidak bagi saya,
karena saya sudah tau.
***
Jo malam tiba di Paris melalui Bandara
internasional Charles de Gaulle. Matahari tak keliatan malam itu, entah kemana dia malam-malam begini, padahal kan
lagi dingin-dinginnya. Dan tak ada yang lain yang
menjemputnya selain, iya, Deedi Bonaparte. Jo di jemput pake kendaraan pribadi
Deedi. Sepeda berkeranjang depan berwarna
merah jambu, yang biasa digunakan oleh emak-emak di kampung untuk belanja sayur-mayur di pasar. Maklum ini
sedang awal bulan, Deedi sedang dilanda
musim kemarau keuangan, kiriman dari kampung masih enggan menyelinap ke
rekeningnya. Jadi wajar jika Deedi
gak bisa jemput Jo pake taksi. Ini masih lumayan pake sepeda, untung gak jalan
kaki.
Setelah cipika-cipiki
barang 4 menit, kangen-kangenan barang 7 menit, tanya basa-basi barang 5 menit,
barulah mereka beranjak keluar dari gerbang utama disebelah utara bandara. Mereka
segera saja ke parkiran, yang diiringi datangnya seorang tukang parkir yang dia
langsung saja mengelap tempat duduk sepeda Deedi dengan handuk kecil yang tadi
dililit di lehernya. Dan Deedi pun ngasih duit ke tukang parkir yang datang
tadi dengan ikhlas. Eh, ini perasaan persis kayak tukang parkir di Indonesia,
ya? Yaelah...hehe.
Deedi pun membonceng Jo. Baru sekitar 5 menit berlalu, bulir-bulir keringat Deedi
udah gak mau sabaran, mereka gak mampu menahan diri untuk tidak segera keluar dari badan Deedi. Padahal kan malam lagi dingin-dinginnya, namun tetap saja dinginnya malam gak
bisa menghalangi cairan tubuh itu keluar berjejal melalui pori-pori kulit
Deedi. Soalnya ternyata tumpangan Deedi beratnya minta ampun. Bukan... bukan karena Jo-nya yang berat, karena kenyataannya Jo itu kurus. Tapi barang bawaan Jo
yang kelewat banyak. Ini itu untuk perawatan kulitnya saja sampe 2 tas, ini itu untuk perawatan rambut satu ransel
gunung, belum lagi pakaian ini itu 2 kardus Indomie, sepatu ini itu, dan
lain-lain yang Jo rasa penting untuk dia bawa. Rencananya Jo mau menyeimbangi kehidupan kawula muda Prancis
yang konon katanya sebagai kota pusat fashion dunia itu. Wajar jika Jo gak mau kalah model. Hati boleh
patah, tapi gaya tetep move on.
Namun demikian tak terlihat keluhan dari wajah Deedi, dia
tetap berusaha dan berjuang untuk tersenyum
di depan Jo. Juga Deedi berusaha dan berusaha dan berusaha untuk tetap semangat mendayuh sepeda kesayangannya itu. Urat-urat lehernyapun terlihat menegang jelas. Derit-derit sepeda yang dibeli seken (second) di pasar bekas itupun terdengar samar. Tertutupi dengan suara riuh kesibukan lalu lintas di kota
Paris yang masih ramai. Sehingga Deedi gak nyadar kalo sepedanya lagi merengek-rengek minta
tolong karena hampir mampus kelebihan beban. Dan Jo dibelakang sedang asyik-asyiknya twitter-an.
***
Di paris Deedi tinggal di
mesjid Agung Paris (Mosquee Grande De Paris) yang terletak di Fifth
Arrondissement. Berselang beberapa
blok dari kantor walikota kota Paris. Dari sinipun menara Eiffel terlihat jelas
dan mempesona. Angkuh sekali besi tua itu. Dia tau bahwa dia sedang dipuja-puja
sebagai ikon romantisme ala ABG-ABG gaul nan alay.
Deedi jadi asisten marbot
di mesjid itu, Om Khaleed namanya, sehingga wajar jika Deedi bisa tinggal
disitu. Diberi satu kamar lumayan seluas 3x3,5 meter yang bisa dia gunakan buat
macam-macam. Tentu saja juga bisa tidur disitu, namanya juga kamar, masak
kalian gak tau apa fungsi kamar.
Di kamar ini pula Jo
nanti akan menginap untuk beberapa waktu yang entah berapa lama. Mungkin sampai
dia bisa ngelupain Agnis, meski tentu saja itu tidak mungkin. Tapi jo tidurnya
tentu saja di lantai, karena kasur cuma ada satu buat Deedi. Meski sederhana,
namun kamar ini memiliki kelengkapan fasilitas yang memuaskan. Televisi layar
flat merek Neksian keluaran terbaru 40 inchi, radio bersuara jernih, infokus, mesin
cuci, kompor gas, oven, teropong bintang, handphone, iPad, iPhone, kulkas mini,
komputer dengan spesifikasi canggih, laptop yang juga gak main-main, dan juga
terhubung dengan koneksi internet yang luar biasa cepat. Jo juga agak heran
kenapa Deedi memilik perangkat elektronik selengkap dan sebanyak ini. Apalagi
setahu Jo bahwa Deedi bilang dia tidak memiliki pekerjaan yang jelas di Paris.
Jo merasa kayaknya ada sesuatu deh, tapi dia urung memikirkannya, sebab pikirannya
sibuk dengan...iya lagi-lagi, Agnis.
Setelah menghabiskan
waktu sekitar 37 menit merekapun tiba dengan selamat di mesjid indah ini.
Sesampai di Mesjid Agung Paris tadi Deedi langsung membawa Jo ke kamarnya -Deedi
telah meminta izin Om Khaleed sebelumnya perihal kedatangan Jo-. Dan Deedi
langsung saja terkapar di kasurnya, kecapekan. Lebih tepatnya ‘hampir mati!’.
Dia bahkan tak sempat mengganti pakaiannya yang basah kuyup oleh keringat. Tak
sempat lagi berbincang-bincang ini itu dengan Jo. Deedi hanya sempat menuliskan
password untuk koneksi internet yang ditanyakan oleh Jo. Jo merasa dia ngerti
kecapekan Deedi makanya dia membiarkan Deedi segera istirahat, niat untuk curhat
tentang Agnis Jo urungkan untuk sementara. Mudah-mudahan dengan begini Deedi
akan menganggap Jo adalah seorang teman yang berpengertian lagi baik hati.
Segera Jo buka dan
hidupkan laptopnya di atas sebuah meja kecil yang terdapat di sudut ruangan itu.
Diatas meja tersebut ada satu-satunya jendela untuk kamar Deedi ini, jendela kecil
yang berguna sebagai pintu masuk cahaya dan udara saja. Juga untuk menambah
kesan manis kamar asisten marbot itu. Tidak ada satu orangpun yang berniat
menggunakan jendela yang hanya berukuran 50x50 cm itu sebagai pintu masuk.
Yakinlah.
Jo tiba-tiba ingin menulis
sesuatu. Entah kenapa tiba-tiba saja dia ingin sekali menulis sebuah surat romantis
untuk Agnis yang kini telah jauh darinya, di banda Aceh. Mungkin ini efek dari romantisnya
kota Paris, ya? Agar tidak bingung mencari inspirasi untuk menulis surat cinta,
Jo-pun mengambil buku dari salahsatu tasnya, ada di situ buku yang dia cari.
Buku terkenal karya Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk judulnya. Dia lalu
sibuk membolak-balik halamannya, mencari beberapa contoh surat yang dibuat oleh
Zainuddin untuk Hayati di buku tersebut. Setelah sekitar dua jam-an lebih
mencari, menganalisa dan menimbang akhirnya Jo merasa mendapatkan apa yang
dicarinya. Jo langsung bersemangat mempermainkan tuts-tuts pada keyboard
laptopnya yang udah nunggu dia sedari tadi... Jo pun menulis;
>
Dear Agnis, Hai...
Barangkali kamu
tidak mengenalku, tapi percayalah bahwa saya begitu mengenalmu. Saya baru
berani menulis surat ini kepadamu, karena saya baru saja tiba di Paris, kota
yang katanya romantis. Tapi tanpa kamu nyatanya kota ini tidak begitu, biasa-biasa
saja.
Agnis,surat ini
mungkin lancang, mungkin juga tak layak, mungkin juga norak. Namun aku mau
tidak mau harus mau mengatakannya kepadamu. Bahwasanya jiwaku telah
diisi sepenuh-penuhnya oleh cinta kepadamu. Cintaku kepadamu telah memenuhi
hatiku, telah terjadi sebagai nyawa dan badan adanya. Dan selalu saya berkata,
biar Tuhan mendengarkan, bahwa engkaulah yang akan jadi istriku kelak, jika
tidak sampai di dunia, biarlah di akhirat. Dan saya
tiadakan khianat kepada janjiku, tidak akan berdusta di hadapan Tuhan, dan di
hadapan arwah nenek moyangku…..jika daku kekasihmu, berjalan jauh
atau dekat sekalipun, entah tidak kembali dalam masa setahun, masa dua tahun,
masa sepuluh tahun, entah hitam negeri Paris ini baru daku kembali kesana, namun saya
tetap menuju ke cintamu.
Carilah bahagia dan keberuntungan kita ke mana jua pun, namun saya tetap
untukmu. Jika kita bertemu pula, saya akan tetap hanya untukmu, Agnis, untukmu…”
Sekian, bye
–bye....
by: Lovely Jo
>
Setelah selesai mencomot dan merevisi surat Hayati
untuk Zainudin di novel Hamka tersebut Jo menjadi sangat puas. Dia baca
berkali-kali. Berkali-kali, lagi dan lagi. Dan berkali-kali pula dia menjadi senyum-senyum
sendiri, gak tahan oh betapa senangnya dia. Lama pula dia tenggelam
mengulang-ngulang melihat isi surat yang dia comot dengan semena-mena itu.
Macam bagaikan pungguk udah bertemu bulan. Senang tak tertanggung rasanya hati
Jo.
Tersadar bahwa tujuan surat itu dibikin untuk
dikirim ke Agnis, bukan untuk dilihatin doang, Jo-pun segera tergopoh membuka
emailnya dan mengkopi surat tadi segera ke halaman kosong e-mail. Lalu tanpa
ragu-ragu tapi malu-malu dia masukkan alamat email Agnis sebagai tujuan yang
hendak dituju oleh surat cintanya itu. Tentu saja hatinya menjadi berdegub
kencang, jari jemari tangan dan kakinya juga jadi gemetaran, efek dari rasa super
senangnya. “Sip, beres, tinggal ‘send’ dah” gumam Jo dalam hati.
“Bip”
Tragis. Laptop Jo tiba-tiba mati persis sesaat Jo
mau mengklik perintah ‘Send’ dengan hati yang sedang mekar berbunga tadi. Kehabisan
baterai untuk hidup rupanya, Jo khilaf gak merhatiin hal begituan.
“Celaka 17!!” Pekik Jo, kaget.
Jo terdiam, gak nyangka bakal begini kejadiannya. Syok.
Jo segera bangun ingin mengambil ‘charger’ laptopnya. Dan berselang 5 detik kemudian
listrikpun ikut-ikutan padam. Jo melotot geram. Bunga-bunga yang tadi sedang
mekar-mekar di hatinya tiba-tiba saja menjadi layu lalu hancur kayak diinjak-injak
kerbau. Jo pun reflek membuka jendela satu-satunya di kamar tersebut, yang
tingginya lebih dari 15 cm diatas kepala Jo dan tepat berada di depannya.
Kenyang dengan kejengkelan plus geram Jo pun melempar leptopnya keluar jendela tersebut
tanpa pikir pendek. Jo kalap membara.
“kurang Asem PLN Paris!!” pekik Jo. Dia pikir di
Paris ada yang namanya PLN.
“Kraaaak!!...Kraaak!” Jo samar tapi jelas mendengar
bunyi suatu benda seperti pecah tergilas dari luar jendela. Mirip-mirip bunyi
kerupuk udang atau kerupuk mulieng yang dipijak-pijak.
Tak butuh
waktu lama, dalam remang gelap Jo langsung bergegas menaiki meja dan melongo
keluar jendela tadi. Dengan panik ingin mengecek leptop mahalnya tadi. “Mudah-mudahan
tidak apa-apa” katanya. Namun fakta di luar jendela kamar tersebut adalah ternyata
jalan rayanya kota Paris yang sibuk. Dan bukannya taman mesjid yang seperti Jo
kira. Kamar ini rupanya terletak di paling belakang mesjid sekaligus sebagai dinding
pembatas antara jalan raya di luar dengan mesjid. Dan seperti yang para pembaca
bayangkan, kondisi laptop Jo sudah tidak mungkin tertolong lagi. Remuk lebur digilas
truk pengangkut sembako di kota Paris yang sibuk itu. Isi perut laptop Jo
terburai kesana kemari tanpa ampun. Kayak sebuah semangka 7,2 Kg yang dijatuhkan dari atas menara mesjid raya Baiturrahman Banda Aceh.
Badan Jo gemetar melihat pemandangan biadab
itu. Jo memejamkan matanya mencoba mengendalikan diri. Hatinya remuk redam,
leptop-pun remuk gurindam macam kerupuk mulieng yang hancur terinjak. Deedi pun
tersenyum dalam tidurnya, sepertinya Deedi sedang dihampiri mimpi indah. Oh Paris...
#Bersambung...
Mesjid di kota Paris |
Di dalam Mesjid Paris |
04 Juli 2012
Lagi di kamar, lg menyambut Ramadhan datang...:))
Maraji:
-
Institusi
Keluarga dalam masyarakat Perancis: Krisis dan Komitmen, Joesana Tjahjani, M. Hum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar