Sabtu, 09 Juni 2012

Karena ada kamu, mudah2an Bumi jadi bagus...


Sekitar 2 minggu yang lalu, kalau saja kalian tau, saat itu tentu saja sedang malam. Yang seperti malam-malam biasanya yang selalu saja dia gelap. Meski berbintang ada, meski berbulan juga, tetap saja langit malam itu warnanya hitam pekat. Sedikitpun gak tersisa birunya langit seperti di waktu siang yang biasanya kita bilang bagus itu. Namun oh meski begitu, tetap saja malam itu indah, kan?

Tetapi lain Banda Aceh, dia lumayan terang benderang saat itu. Bersebab ada banyak lampu di kiri kanan jalannya, yang dengan itu Banda Aceh boleh menerangi dirinya sendiri. Dan saya lihat jalan pun masih saja ramai yang ngelindas, jadinya ada tambahan lampu dari motor dan mobil yang lagi mengalir deras lalu lalang. Masing-masing mengalir kesana kemari sesuai dengan tujuannya masing-masing yang tak perlu kita ketahui itu, karena akan membuang-buang waktu untuk kita cari tau mereka mau kemana. Namun gara-gara mereka-jualah jalan Banda Aceh jadinya ramai, terang, dan bagus kayak di kota-kota besar.

Diantara para pengendara motor yang tadi berserakan di jalan itu ada disitu saya. Alhamdulillah saya saat itu sehat, dan alhamdulillah saya baru saja selesai shalat Isya di mesjid Darul Falah Gampong Pineung. Setelah itu sengaja saja saya kesitu, ke sebuah toko buah di Lingke. Tepat di samping kantor POLDA Aceh tokonya. Mungkin pemilik toko buah itu pikir bahwa dia dan tokonya akan aman dari perampokan kalo di jaga sama jajaran Polda Aceh, makanya dia bikin toko disitu. Kayaknya sih begitu. 

Lalu saya kesitu, ke toko buah itu, karena saya mau ketemu sama pemiliknya, mau nanya berapa harga semangka yang sedang dia pamer-pamerkan di depan tokonya. Tentu saya yakin kalian akan bertanya mengapa saya nanya-nanya harga semangka, kan? kan? Begini sebenarnya, Si-istri saya itu fans fanatik semangka dia, maka wajar dong jika saya beli semangka, bukan anggur, bukan sirsak, bukan jeruk, bukan pepaya dan bukan-bukan yang lain yang tak perlu saya tulis disini karena jadinya akan panjang dan capek. Yang pasti ini saya  perbuat tentu saja biar dia bisa senang selama berada di Bumi, dan iya, biar dia merasa menyesal karena telat saya nikahi. Hehe.

Setelah tawar menawar ini itu akhirnya saya dan si-penjual bersepakat. Dia sepakat menjual semangkanya, dan saya sepakat membeli. Oh dan itu keliatannya adalah semangka kuning yang lezat, apalagi buat dinikmati berdua, ah serasa di Hokkaido dah (heh?ngawur, hehe). Sekedar info gak penting, di Banda Aceh, semangka kuning begini harga dirinya sekitar 5-6 ribu per-kilo. Nah, setelah uang saya ikhlas saya beri maka penjualnya-pun ikhlas ngasih itu semangka. Saya sekap semangkanya ke dalam plastik dengan ridha, dan andai saja kalian tau, saat itu saya segera saja menaiki motor saya tanpa sungkan dan memasukkan kuncinya biar dia mau hidup. Oh andai saja kalian tau itu.

Nah, sesaat saya mau bikin motor saya jalan, eh tiba-tiba mata saya menangkap suatu adegan di seberang jalan. Ada sepasang makhluk Bumi hidup disitu, dari jenis manusia. Kalau saja kalian mellihat saat itu tentu kalian setuju dengan saya bahwa mereka itu tak boleh lagi disebut muda jika diukur dengan usia. Dan yang jelas tak pula layak jika di sebut ganteng-cantik jika diukur dengan standar murahan ala miss universe-an. Yang jelas juga tak boleh mereka disebut orang kaya jika diukur dengan kacamata duitan jaman kini. Apalagi penampilan mereka berdua yah biasa saja. Tidak ada yang spesial atau ‘wah’. 

Lihat saja itu, si-ibu itu hanya menggunakan baju menerus panjang biasa plus jilbab saja, tanpa aksesoris yang lain. Perawakan fisiknya pun terlihat mulai ‘sehat’ akibat usia. Si-bapak juga gak mau kalah, cuma memakai sehelai celana kain, sehelai baju oblong berkerah yang jauh dari kesan baru. Perawakan fisik si-Bapak juga rada-rada ‘sehat’, khususnya yang di bagian perut terdepan, yang terlihat ‘indah’ mengembung. Yah, istilah ilmiahnya itu biasa disebut dengan “buncit”. Namun kebuncitan perut si-bapak itu serasi dengan umurnya yang udah bapak-bapak-an. Kebuncitan pada manusia se-umuran beliau itu bagai sebuah pertanda bahwa dia itu sudah berada di level ‘matang’ di urusan keduniaan. Istilah lainnya, “udah mengecap manis, pahit asam garamnya kehidupan”. Uentahlah, begitu-lah kira-kira, mungkin ntar di lain waktu kita perlu mempelajari secara mendalam dan sistematis perihal buncit-membuncit ini, lebih tepatnya kalau lagi gak ada kerjaan. 

Oke, apa yang menarik dari mereka berdua tadi? Sehingga saya menjadi tega hati menuliskannya disini, padahal kan saya barangkali bisa saja sedang sibuk, sehingga gak sempat nulisin ini. Atau bukankah masih lebih heboh kalo saya nge-bacot tentang noraknya resepsi seleb yang di-siarin di RCTI kemarin itu? Ada apa ini sebenarnya dengan Bapak-ibu tadi itu, sodara-sodara sekalian? Mengapa tulisan ini saya ulur-ulurkan hingga jadi dua halaman lebih begini? Apakah ini sebuah kesengengajaan biar coretan ini ecek-eceknya jadi panjang dan ilmiah? jawab sodara-sodara... jawab!

Iya...iya, yang menarik perhatian saya tentu saja pemandangan yang sedang mereka tunjukkan saat itu. Yang mereka berdua saling berpegangan tangan menyusuri dengan santai trotoar di Lingke itu. Sambil saya lihat mereka berdua asyik sekali ya ngobrol dan tertawa, bahkan hingga mereka tak sadar bahwa mereka sedang saya mata-matai.  Disitu saya hanya menjadi lelaki yang apa ya namanya, mungkin boleh dibilang saya hanya tertegun dengan indah. Haha, memangnya ada begitu kata “tertegun dengan indah”? hehe, kayaknya gak ada. Disitu saya liat si-bapak yang begitu antusias bercerita ke si-ibu. Si-ibu juga nyimaknya total abis, gak peduli sekitar. Obrolan mereka sesekali diselingin tawa, sambil tetap berpegangan tangan, sambil tetap menikmati kesibukan malam. Ow ow ow.

Hehe, saya jadinya senyum-senyum sendiri dah, dan tak lama saya segera saja ninggalin mereka yang sedang asyik itu. Toh mereka udah gede, jadi gak perlu saya kawanin, kan? Saat itu saya hanya terpikir sederhana saja, bahwa saat-saat yang seperti itu terkadang harganya gak bisa dijangkau sama yang namanya duit. Berapapun jumlahnya. Iya, itu sederhana sekali, cuma jalan-jalan berdua di trotoar malam-malam, sambil pegang-pegang tangan, sambil ngobrol-ngobrol ini itu. Tapi entah kenapa saya pikir itu adalah menyenangkan. Ow ow ow lagi dah. 

Barangkali ini mirip seperti saat-saat ketika kita asyik ngobrol-ngobrol ini itu bareng si-istri atau bareng si-suami, ngobrol hal-hal ringan sambil ketawa-tawa. Atau saat-saat seperti makan sepiring berdua, atau saat boncengan pake motor sambil dipelukin dari belakang kayak di pilem-pilem Afrika Selatan. Atau seperti saat-saat mengadu dan manja sama Ibunda tercinta. Atau seperti saat-saat saya ngajak-ngajak ngobrol si-Aisyah yang entah dia ngerti ato nggak, atau bareng Aisyah jalan-jalan pagi . Atau seperti ngikutin kajian fiqih yang di-isi oleh Ustad yang baik ilmunya (bukan ustad jadi-jadian yang bacotannya tentang uang melulu). Atau juga mungkin sesederhana seperti saat-saat ngumpul dengan kawan-kawan buat ngobrolin ini itu tentang Bumi. Dan atau-atau yang lain yang banyak kalau mau ditulis. Ah, itu menyenangkan, dan tak ada label harga untuk yang mau begituan. Siapa yang mau menikmati maka dia akan menikmatinya.

Ngeliatin si-Bapak-Ibu tadi saya saat itu kepikiran saja. Bahwa alhamdulillah di planet Bumi ini banyak hal-hal yang menyenangkan begitu, ada manusia, ada pohon, ada kalian, dan hal-hal lain yang kadang malah sering disepelein. Keliatan sepele yah barangkali karena dianggap tidak menghasil profit ini itu berupa duit, ya. Padahal milyaran profit sekalipun belum tentu mampu menghadirkan canda tawa lepas dari kawan-kawan kita, atau saat-saat manja dengan ibunda kita, atau bahkan saat-saat canda-tawa bersama istri kita. Begitu kayaknya menurut saya. 

Udahan gitu, baca bismillah dan selamat menikmati Bumi yang Allah bikin menarik ini...:))
  

Hidup Bank Syariah!! Hancur kapitalis!!

Affif, 
Banda Aceh, Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar