Sekitar 2 minggu yang
lalu, kalau saja kalian tau, saat itu tentu saja sedang malam. Yang seperti malam-malam
biasanya yang selalu saja dia gelap. Meski berbintang ada, meski berbulan juga, tetap
saja langit malam itu warnanya hitam pekat. Sedikitpun gak tersisa birunya langit seperti di waktu siang yang
biasanya kita bilang bagus itu. Namun oh meski begitu, tetap saja malam itu
indah, kan?
Tetapi lain Banda Aceh, dia lumayan terang benderang
saat itu. Bersebab ada banyak lampu di kiri kanan jalannya, yang dengan itu
Banda Aceh boleh menerangi dirinya sendiri. Dan saya lihat jalan pun masih saja ramai yang ngelindas,
jadinya ada tambahan lampu dari motor dan mobil yang lagi mengalir deras lalu lalang. Masing-masing mengalir kesana kemari sesuai dengan tujuannya
masing-masing yang tak perlu kita ketahui itu, karena akan membuang-buang waktu
untuk kita cari tau mereka mau kemana. Namun gara-gara mereka-jualah jalan Banda Aceh jadinya
ramai, terang, dan bagus kayak di kota-kota besar.
Diantara para pengendara
motor yang tadi berserakan di jalan itu ada disitu saya. Alhamdulillah saya
saat itu sehat, dan alhamdulillah saya baru saja selesai shalat Isya di mesjid Darul
Falah Gampong Pineung. Setelah itu sengaja saja saya kesitu, ke sebuah toko buah
di Lingke. Tepat di samping kantor POLDA Aceh tokonya. Mungkin pemilik toko
buah itu pikir bahwa dia dan tokonya akan aman dari perampokan kalo di jaga sama
jajaran Polda Aceh, makanya dia bikin toko disitu. Kayaknya sih begitu.
Lalu saya kesitu, ke toko buah
itu, karena saya mau ketemu sama pemiliknya, mau nanya berapa harga semangka
yang sedang dia pamer-pamerkan di depan tokonya. Tentu saya yakin kalian akan bertanya mengapa saya nanya-nanya harga semangka, kan? kan? Begini sebenarnya, Si-istri saya itu fans fanatik
semangka dia, maka wajar dong jika saya beli semangka, bukan anggur, bukan sirsak, bukan
jeruk, bukan pepaya dan bukan-bukan yang lain yang tak perlu saya tulis disini
karena jadinya akan panjang dan capek. Yang pasti ini saya perbuat tentu saja biar dia bisa senang
selama berada di Bumi, dan iya, biar dia merasa menyesal karena telat saya
nikahi. Hehe.
Setelah tawar menawar ini
itu akhirnya saya dan si-penjual bersepakat. Dia sepakat menjual semangkanya,
dan saya sepakat membeli. Oh dan itu keliatannya adalah semangka kuning yang
lezat, apalagi buat dinikmati berdua, ah serasa di Hokkaido dah (heh?ngawur,
hehe). Sekedar info gak penting, di Banda Aceh, semangka kuning begini harga
dirinya sekitar 5-6 ribu per-kilo. Nah, setelah uang saya ikhlas saya beri maka
penjualnya-pun ikhlas ngasih itu semangka. Saya sekap semangkanya ke dalam
plastik dengan ridha, dan andai saja kalian tau, saat itu saya segera saja
menaiki motor saya tanpa sungkan dan memasukkan kuncinya biar dia mau hidup. Oh
andai saja kalian tau itu.
Nah, sesaat saya mau
bikin motor saya jalan, eh tiba-tiba mata saya menangkap suatu adegan di
seberang jalan. Ada sepasang makhluk Bumi hidup disitu, dari jenis manusia.
Kalau saja kalian mellihat saat itu tentu kalian setuju dengan saya bahwa mereka
itu tak boleh lagi disebut muda jika diukur dengan usia. Dan yang jelas tak pula
layak jika di sebut ganteng-cantik jika diukur dengan standar murahan ala miss
universe-an. Yang jelas juga tak boleh mereka disebut orang kaya jika diukur dengan
kacamata duitan jaman kini. Apalagi penampilan mereka berdua yah biasa saja. Tidak
ada yang spesial atau ‘wah’.
Lihat saja itu, si-ibu itu
hanya menggunakan baju menerus panjang biasa plus jilbab saja, tanpa aksesoris
yang lain. Perawakan fisiknya pun terlihat mulai ‘sehat’ akibat usia. Si-bapak
juga gak mau kalah, cuma memakai sehelai celana kain, sehelai baju oblong
berkerah yang jauh dari kesan baru. Perawakan fisik si-Bapak juga rada-rada
‘sehat’, khususnya yang di bagian perut terdepan, yang terlihat ‘indah’ mengembung.
Yah, istilah ilmiahnya itu biasa disebut dengan “buncit”. Namun kebuncitan
perut si-bapak itu serasi dengan umurnya yang udah bapak-bapak-an. Kebuncitan
pada manusia se-umuran beliau itu bagai sebuah pertanda bahwa dia itu sudah berada
di level ‘matang’ di urusan keduniaan. Istilah lainnya, “udah mengecap manis,
pahit asam garamnya kehidupan”. Uentahlah, begitu-lah kira-kira, mungkin ntar di lain waktu kita perlu mempelajari secara mendalam dan sistematis perihal buncit-membuncit
ini, lebih tepatnya kalau lagi gak ada kerjaan.
Oke, apa yang menarik
dari mereka berdua tadi? Sehingga saya menjadi tega hati menuliskannya disini,
padahal kan saya barangkali bisa saja sedang sibuk, sehingga gak sempat nulisin
ini. Atau bukankah masih lebih heboh kalo saya nge-bacot tentang noraknya
resepsi seleb yang di-siarin di RCTI kemarin itu? Ada apa ini sebenarnya dengan
Bapak-ibu tadi itu, sodara-sodara sekalian? Mengapa tulisan ini saya
ulur-ulurkan hingga jadi dua halaman lebih begini? Apakah ini sebuah
kesengengajaan biar coretan ini ecek-eceknya jadi panjang dan ilmiah? jawab
sodara-sodara... jawab!
Iya...iya, yang menarik
perhatian saya tentu saja pemandangan yang sedang mereka tunjukkan saat itu.
Yang mereka berdua saling berpegangan tangan menyusuri dengan santai trotoar di
Lingke itu. Sambil saya lihat mereka berdua asyik sekali ya ngobrol dan
tertawa, bahkan hingga mereka tak sadar bahwa mereka sedang saya mata-matai. Disitu saya hanya menjadi lelaki yang apa ya
namanya, mungkin boleh dibilang saya hanya tertegun dengan indah. Haha, memangnya
ada begitu kata “tertegun dengan indah”? hehe, kayaknya gak ada. Disitu saya
liat si-bapak yang begitu antusias bercerita ke si-ibu. Si-ibu juga nyimaknya
total abis, gak peduli sekitar. Obrolan mereka sesekali diselingin tawa, sambil
tetap berpegangan tangan, sambil tetap menikmati kesibukan malam. Ow ow ow.
Hehe, saya jadinya senyum-senyum
sendiri dah, dan tak lama saya segera saja ninggalin mereka yang sedang asyik
itu. Toh mereka udah gede, jadi gak perlu saya kawanin, kan? Saat itu saya hanya
terpikir sederhana saja, bahwa saat-saat yang seperti itu terkadang harganya
gak bisa dijangkau sama yang namanya duit. Berapapun jumlahnya. Iya, itu sederhana
sekali, cuma jalan-jalan berdua di trotoar malam-malam, sambil pegang-pegang
tangan, sambil ngobrol-ngobrol ini itu. Tapi entah kenapa saya pikir itu adalah menyenangkan.
Ow ow ow lagi dah.
Barangkali ini mirip
seperti saat-saat ketika kita asyik ngobrol-ngobrol ini itu bareng si-istri
atau bareng si-suami, ngobrol hal-hal ringan sambil ketawa-tawa. Atau saat-saat
seperti makan sepiring berdua, atau saat boncengan pake motor sambil dipelukin
dari belakang kayak di pilem-pilem Afrika Selatan. Atau seperti saat-saat
mengadu dan manja sama Ibunda tercinta. Atau seperti saat-saat saya ngajak-ngajak
ngobrol si-Aisyah yang entah dia ngerti ato nggak, atau bareng Aisyah
jalan-jalan pagi . Atau seperti ngikutin kajian fiqih yang di-isi oleh Ustad
yang baik ilmunya (bukan ustad jadi-jadian yang bacotannya tentang uang
melulu). Atau juga mungkin sesederhana seperti saat-saat ngumpul dengan
kawan-kawan buat ngobrolin ini itu tentang Bumi. Dan atau-atau yang lain yang
banyak kalau mau ditulis. Ah, itu menyenangkan, dan tak ada label harga untuk
yang mau begituan. Siapa yang mau menikmati maka dia akan menikmatinya.
Ngeliatin si-Bapak-Ibu
tadi saya saat itu kepikiran saja. Bahwa alhamdulillah di planet Bumi ini banyak
hal-hal yang menyenangkan begitu, ada manusia, ada pohon, ada kalian, dan hal-hal
lain yang kadang malah sering disepelein. Keliatan sepele yah barangkali karena
dianggap tidak menghasil profit ini itu berupa duit, ya. Padahal milyaran
profit sekalipun belum tentu mampu menghadirkan canda tawa lepas dari
kawan-kawan kita, atau saat-saat manja dengan ibunda kita, atau bahkan saat-saat
canda-tawa bersama istri kita. Begitu kayaknya menurut saya.
Udahan gitu, baca
bismillah dan selamat menikmati Bumi yang Allah bikin menarik ini...:))
Hidup Bank Syariah!!
Hancur kapitalis!!
Affif,
Banda Aceh, Mei
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar