Jumat, 02 Maret 2012

Kecewa Buku Surat

Kepada kamu,

Yang itu Saya sebut teman,

di,

Yang entah dimana sekarang, yang saya tidak begitu peduli, itu kan urusan kamu.


Ba’da salam.

Hallo X. Kumisalkan saja kamu kusebut X, meski saya yakin namamu bukan X. Kan aneh kalau ada orang yang namanya X gitu. Namun kuperbuat begitu agar bagaimana caranya sehingga orang-orang tidak mengenalimu. Agar dengan begitu jadilah kamu orang yang tentram meski, iya, meski sebenarnya tak tentram. Agar juga jadilah citramu sebagai abdi Negara tetap itu yang disebut baik terjaga di depan publik dan instansimu tentu.

Menjadilah kemarin yang telah lalu, iya hari Sabtu namanya, menjadi itu hari yang disebut kelahiran sebuah rasa kecewa. Saya terharu lho, ternyata kecewa itu juga mau menanggapi saya. Meski saya orang yang suka ketawa-ketawa. Meski saya orang yang suka malas itu disebut sebagai orang yang serius. Meski saya sebenarnya adalah orang cuek. Namun demikian ‘kecewa’ juga ternyata bisa memeluk saya erat. Oh ini menjadi menarik bagi saya.

Buku itu, iya, kamu tahu betul buku itu. Buku yang telah berkali-kali saya itu ingatkan agar ia sampai dipangkuan saya kembali melalui kamu. Karena sekarang kamu dekat dengan dia dan saya jauh. Hingga itu timbullah saya bikin permintaan yang telah berkali-kali itu agar kamu bikin dia bisa pulang. Pulang ke sanubari saya. Iya, berkali-kali saya itu meminta dengan permintaan yang sama dan mungkin terdengar begitu membosankan. Terdengar begitu cerewet. Terdengar juga mungkin seperti peminta-minta di simpang-simpang jalan.

Kemarin Sabtu yang saya lupa tanggalnya berapa itu. Ketika kamu mengatakan lagi dan lagi, bahwa kamu juga telah (kembali) mengaku (lagi-lagi) tidak membawa pulang buku itu, saya hanya menjadi diam saja gitu. Diam yang awalnya tidak menyangka. Diam yang menjadi seolah-olah tak percaya dengan apa yang terjadi. Diam karena bingung mengapa saya sabtu itu menjadi sangat yakin bahwa kamu bisa menepati janji membawanya pulang, tapi nyatanya tidak. Nyatanya hanya itu, saya terdiam.

Awalnya saya yakin sekali bisa tertawa menyambut kamu datang bersamanya yang telah saya itu berminggu-minggu menunggu. Berminggu-minggu memimpikannya. Tapi nyata itu tidak terjadi. Nyatanya saya menjadi dia yang diam. Dan diam itu pula yang saya tahu akhirnya memberi bisikan bahwa kali ini saya boleh gitu ‘berpelukan’ dengan dia, yang itu bernama ‘kecewa’. Oh tidak enak sekali jadinya ketika semua skenario itu tidak berjalan sesuai harapan, wahai X. Oh seandainya kamu tahu itu.

Dulu sebelumnya, ketika berkali-kali itu saya tidak ditepati janji bahwa buku itu akan datang, saya hanya menjadi dia yang kesal. Saya juga itu merasa sewot mungkin. Saya juga ecek-eceknya menjadi jengkel. Ada juga kadang sedikit marah karena gak habis saya pikir itu, “kok bisa-bisanya gitu ya, udah diingatkan berkali-kali?”. Iya, namun perasaan begitu tidak tahan dia lama-lama sama saya. Paling setelah merepet-repet indah perasaan itu pergi mereka. Juga itu tidak menjadikan saya itu ragu bahwa kamu itu bisa dipercaya. Sehingga saya menjadi dia yang masih boleh disebut dengan berharap. Tidak masalah, saya percaya. Dan saya yakin penyanyi favoritmu si-Ayu Ting-ting dan Agnes Monica pun juga percaya.

Namun wahai X, Sabtu kemarin itu saya juga ingin si-kesal, jengkel, sewot dan marah datang kembali kepada saya. Tapi kali ini mereka menolak. Capek katanya karena mereka telah datang berkali-kali dengan alasan yang sama, yaitu cuma gara-gara sebuah buku, tapi hasilnya gak ada. Mereka ecek-eceknya sudah bosan dengan isu yang sama. Sehingga mereka mengusulkan agar saya putuskan saja tali yang mengikat mereka itu dengan membeli buku itu lagi. Sehingga dengan begitu bisa hilang-lah harapan saya kepada buku yang lama. Dan mereka bisa mendapatkan alasan yang baru selain alasan buku itu.

Dan saya bilang, “Oke, kalo itu maunya kalian…”. Didalam diam itu-lah saya sudah mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan dengan si-sewot cs, yang katanya telah capek tadi. Dan setelah itu merekapun pergi dari saya entah kemana. Yang pasti mereka tak datang lagi Sabtu kemaren jika alasannya sama. Mungkin sekarang mereka sedang dirinya bersenang-senang dengan orang lain dan kasus yang baru.

Maka itu-lah dia yang menggantikan mereka saya beri nama ‘kecewa’. Tidak ada lagi marah, karena saya tak marah. Tak ada lagi kesal, karena saya tak lagi kesal. Tidak ada lagi jengkel, karena jengkel tak mau datang lagi. Saya bisa tertawa sama kamu, atau bisa SMS-an. Namun mari saya beri tahu kamu, bahwa saya adalah dia yang kini sedang itu bersama dia, iya, bersama kecewa. Iya, kecewa akibat yang itu disebut terlalu percaya. Kecewa yang itu akibat saya yang terlalu congkak percaya kepada janji. Kecewa akibat, apa namanya itu…iya, terlalu berharap mungkin. Ow ow ow sungguh melow, sungguh galau.

Saya tahu itu kamu punya alasan. Silahkan. Tapi alasan kamu, apapun itu sudah itu tidak lagi masuk ke pikiran saya. Kamu hanya dia yang mengulang-ngulang menyalahkan diri sendiri karena lupa setiap minggu. Iya, setiap minggu. Sehingga saya tak itu merasa ada kesungguhan kamu untuk tidak mengulanginya. Malah saya bisa-bisa yakin, jika saja masih ada kesempatan, minggu depanpun buku itu tak akan sampai ke tangan saya. Bisa jadi saya salah berprasangka, namun itulah yang saya rasakan, wahai X, saya tak mau pura-pura manis. Kamu tahu bahwa saya orang yang akan bilang apa saja tanpa segan-segan.

Begitulah saja surat saya ini, wahai X. Kecewa ini memang itu tidak enak rasanya. Namun mau bagaimana lagi, saya harus berteman dan bermain dengannya sementara ini. Agar dengan begitu saya menjadi dia yang terhibur. Agar dengan begitu saya menikmati diri sebagai manusia. Wassalam

Salam biasa aja,

Affif Herman, Yang kecewa, eh, lagi galau... :))

2 Maret 2012, lagi bareng Meulaboh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar