Saudaraku, almanak itu telah beberapa kali tanggal.
Saya tidak sedang menghibur siapa-siapa. Juga tidak sedang melarikan diri dari tuntutan siapa-siapa. Ketika beberapa butik busana muslimah itu berdiri, udara keterbukaan sedang berembus. Utamanya di hati para ukhti muslimah yang karena pendiriannya yang kokoh dan azzamnya yang kuat menegakkan komitmen keimananya, harus keluar dari sekolah-sekolah negeri yang 100% dimodali ummat, keluarga dan bangsanya, melalui sebenggol dua benggol pajak pembelian, retribusi atau pungutan apa saja yang ma’qulul ma’na atau ghairu ma’qulil ma’na (masuk akal ataupun tidak). Budaya ngono yo ngono ning ojo ngono telah merekayasa kepergian mereka yang oleh guru yang stress sangat diharapkan berlangsung lebih cepat. Budaya itu berhasil menyusun redaksi yang sangat savety buat orde penguasa; Berhenti atas permintaan sendiri atau lebih canggih sedikit: Berhenti karena tak bersedia mematuhi tata tertib sekolah.
Helai Ranting daun sejarah
Arus kebangkitan ini tidak dipimpin seorang waliyullah yang biasa diyakini tahu masa depan. Itulah masalahnya, justeru karena semuanya adalah waliyullah. ‘Kewalian’ yang kita punya saat itu adalah harapan. Keresahan makin menghimpit, penghinaan demi penghinaan makin menumpuk. Pers menyebutnya mode. Spion Melayu mencurigainya sebagai gerakan bawah tanah yang dibiayai Libia dan Iran. Guru-guru ngaji kampung yang diakrabi aparat desa dan memandang kalian sebagai ancaman, rajin menebar isyu aliran sehat.
Kalau ini mode, tunggu enam bulan atau setahun, semua akan sirna. Tetapi bila ini adalah sebagian dari indikator kebangkitan, lihatlah 5 tahun ke depan, setiap gang Jakarta dan seantero Indonesia akan berhamburan ukhti-ukhti yang anggun, cerdas dan berdaya dengan jilbab kebangkitan. Dan itu bukan ansich kebangkitan kaum perempuan, melainkan kelahiran sebuah generasi. “Bila Allah menghendaki sesuatu, tiada satupun yang mampu menolaknya.” (QS. 10: 107, 35:2)
Air terus mengalir
Saya sedang tidak menggugat pemilik butik busana muslimah yang telah terbang ke manca Negara. Biarlah itu jadi bagian kesadaran diri untuk berbuat lebih banyak di persada tercinta ini. tidak pula sedang menggugah ingatan para ummahat, ibu-ibu yang beberapa belas tahun lalu, selalu datang hampir tiap hari di luar hajat ilmiah ‘mengeluhkan’ orang tua yang mencemooh mereka sebagai perawan tua yang tak laku gara-gara berjilbab. (Sebelum berjilbab bertahun-tahun juga tak ketemu jodoh).
Yang kalian perlukan bukanlah royalty sebuah perjuangan, karena itu telah disiapkan Allah, tersimpan rapih dalam khazanah kebajikan untuk saat kembali kepada-Nya atau telah kalian nikmati tanpa sadar di dunia ini. tentu saja banyak sudah ikhwan dan akhwat yang berbaju , berumah dan bermobil licin dan harum. Semua adalah pembangunan di bawah tenda yang basah dan jalan-jalan yang becek, antar meja kuliah, mushalla sekolah, halaqah, dzikir dan sahur darurat.
Di dhuha ini cahaya mulai terang dan kabut-kabut beringsut menjauhi obyek pandang, perjalanan belum sampai di garis finish. Bila da’wah makin merebak dan komitmen utuh, insya Allah tak ada masalah yang tak selesai. Jadi saya tak perlu memperpanjang jam kuliah karena polemik sengit nyonya-nyonya muda yang begitu lapang hati menerima penjelasan keadilan hukum Allah di balik beratnya sanksi pembunuhan, perzinaan, atau ‘ganjilnya’ pembagian waris, lalu begitu berang menerima sebuah tema sensitif. Walaupun sudah saya katakana saya berpihak pada ibu-ibu dalam nilai dan aplikasi keadilan. Dalam bab ini saya tidak sedang berusaha mendobrak status quo. Biar itu jadi wilayah mutlak Allah.
Masalah berat yang dirasakan para akhawat muslimah di masyarakat da’wah, juga menimpa masyarakat bebas yang mestinya dapat memecahkan problema tersebut dengan cepat. Mereka memiliki banyak hal: kebebasan, kesetaraan, wajah, tampilan tanpa pantangan dan kecantikan yang bebas dipandang sepuas nafsu. Mengapa persoalan mereka tak selesai-selesai?
Saya hanya ingin mengatakan di masa lalu dan semoga di masa depan semua harapan untuk para ukhti muslimah terlaksana sempurna, tak ada yang gagal. Berbeda dengan harapan saya bagi kelangsungan hidup beberapa sahabat tercinta, semua dipanggil ke haribaan-Nya. Tiadakah syukur selalu mengalir dari mereka yang telah sampai dan sabar selalu menggelora pada mereka yang sedang terus menerjang? Artinya setiap orang harus selalu siap berkurban demi kelangsungan da’wah dan keutuhan hidup putera-puterinya.
Kecemasan itu saudara kembar harapan
Negeri dengan ideologi Pakdeisme ini telah mencampakkan para pemuda berbakat dan memanjakan para keponakan Pak De, koruptor dan sampah masyarakat untuk menjadi pengambil keputusan strategis. Ledakan angkatan sekolah begitu melimpah-ruah. Seorang pemuda, masih tetap tenang melenggang ketika usianya menginjak tangga ke 30. Dan seorang pemudi nyaris menjerit ketika tangga ke 20 mulai digapainya. Ada apa?
Dalam tradisi kita, bujang berfikir dengan membangun rumah tangga, ia harus memikul sesuatu dan bagi gadis rumah tangga adalah kondisi dimana ia menjadi objek yang dipikul. Seribu sumpah boleh kau ucapkan: “ Demi Allah, saya tak hendak jadi beban suami, karena saya bisa mandiri.”
Perlu banyak bermunculan Ummu Sulaim yang menjadikan maharnya adalah Islam sang calon, bukan limpahan harta. Ada lagi yang jauh lebih penting, qona’ah, sumarah dan pasrah. Sekarang perhatian harus lebih difokuskan kepada pembangunan magnit da’wah. Aktifis da’wah bukanlah birokrat yang mati rasa dan hidup dalam rutinitas mekanik. Mereka berbuat dengan iman dan sangat sadar Da’wah ini punya ‘Majikan’. Mustahil Ia yang sempurna melupakan hamba-Nya.
Isteri Abu Wadaah bukan melarang sang suami pergi belajar kepada ayahnya, Sa’id bin Musayyab, melainkan karena ia telah mewarisi ilmu yang cukup dari sang Imam untuk ‘mensetarakan’ sang suami. Sudah saatnya dunia -termasuk dunia laki-laki- menerima argumentasi da’wah kalian yang mapan, manusiawi, islami, qur’ani, nyunnah dan fitri. Cukup waktu sampai sah untuk mengatakan tak terjadi sesuatu dan harapan kalian berujung kecewa. Da’wah ini terlalu kokoh untuk dibantah hanya oleh dalil-dalil juz-iyah. Jangan lihat hidup dari fenomena-fenomena, lihatlah dari hakekat. Kecuali keresahan hati dam kekakuan sikap yang tak pandai kau cairkan, selebihnya adalah senandung nasib yang kau boleh rintihkan bagi zaman sesudahmu atau jadikan itu sebagai khazanah do’a yang akan kau panen di hari esok.
Asiyah isteri Firaun tak menikamti lingkungan glamour yang memanjakannya, tak mengagumi suami kafir yang menyayanginya dan tak merasa nyaman di lingkungan zalim yang menghormatinya. Ia menyindir semua kenikmatan dan hingar-bingar dunia dengan doanya: “…Ya Rabbi, bangunkan kiranya untukku disisi-Mu sebuah rumah di surga, selamatkan daku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkan daku dari kaum yang zalim.” (QS. 66:11)
Ini bukan pelarian diri dari kekecewaan, tetapi pilihan sadar untuk pergi ke medan. Ini komitmen untuk bekerja, mewujudkan harapan dan memberi makna kehidupan. “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang member kehidupan kepada kamu.” (QS. 8:24)
Selamat Dhuha! Anak-anak mushalla kampus itu sedang melepas putera-puteri pertama mereka ke kuliah perdana.
KH. Rahmat Abdullah-semoga beliau dirahmati Allah-/ Pilar-Pilar Asasi-2005.
Minggu, 22 Mei 2011
Jumat, 20 Mei 2011
Surat ke-sekian...
Dengan nama Allah. Dia Maha Pengasih. Dia Maha Penyayang. Jika Dia menghendaki bahwa kamu akan menikah denganku, maka sesungguhnya Dia Maha Kuasa sehingga mudah bagi Nya untuk terjadilah yang demikian itu.
Oh Muna, hari sedang sabtu ini lagi. Sedang malam lagi, padahal kemarin dia sudah datang juga. Matahari entah kemana dia, sudah malu-malu lagi ketemu malam, selalu begitu. Selalu begitu matahari itu, dasar pemalu. Sudah pukul 21.10 WIB kata jam tangan saya yang entah kenapa bermerek sama dengan jam tanganmu. Pasti biar kita dibilang sehati gitu. Oh pasti kamu mau bilang saya gombal kan? Hehe, iya sih.
Ini saya masih di meja kerjaan sedang ngobrol bareng laptop, kertas-kertas yang membandel dan tentu saja malam. Oh ya, ada pulpen juga. Ada kipas angin juga. Masih pakai celana tadi pagi. Masih pakai kaos oblong hitam bertuliskan “Solong Coffee”. Dan kamu pasti masih di RSUZA di Banda Aceh kan? Aku tahu itu, karena kamu yang memberi tahu. Tadi pagi kawan-kawan saya disini rame, tapi sekarang sudah pergi entah kemana mereka. Mungkin mereka sudah di rumah untuk beristrirahat atau ngegosip di rumah tetangga atau sedang dibodohi oleh sinetron Indonesia yang tak pernah masuk akal atau sedang ke warung kopi atau sedang kemana pun, kan tidak perlu kamu tahu, Muna.
Hm… terus, maksud tulisan ini apa ya, ah, terus terang saya juga nggak tau mau nulis apa. Hehehe.
Meulaboh, selesai menurut jam tangan di pukul 21:32 WIB, 20 May '11
Affif Herman
Imam sangat Besar Perkumpulan Suami Nusantara Bersatu.
Kamis, 19 Mei 2011
Sebab Utama Sifat Penakut
Penyebab yang pertama adalah: terhapusnya keyakinan Tauhid.
Apabila dalam hati kita sudah terhapus keyakinan terhadap ke-esaan Allah yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, niscaya hal itu akan menimbulkan suatu perasaan takut kepada manusia dan tidak lagi takut kepada Allah, sehingga dikarenakan hal tersebut seseorang menjadi pengecut dan suka menjilat demi kepentingan sendiri, jabatan dan kedudukannya.
Kedua: Lemahnya keyakinan bahwa Allah-lah Sang Pencipta dan Pemberi rizki.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sebagian orang ada yang berkeyakinan bahwa yang menciptakan dan member rizki adalah Allah. Meskipun mereka tidak mengatakan hal itu secara langsung, akan tetapi tingkah laku dan perbuatan mereka itulah yang menunjukkan keyakinan mereka itu.
Ketiga: melupakan bahwasanya ajal itu telah ditentukan waktunya oleh Allah tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan.
Keempat: Keyakinan bahwa manusia bisa saja menghasilkan suatu manfaat ataupun mudharat tanpa seizin Allah. Sebagian orang ada yang mengatakan,”Aku takut dia akan mencelakakan aku”. Dan ia tidak mengetahui bahwa kewajibannya sebagai seorang hamba adalah bertawakkal kepada Allah, senantiasa bertakwa, dan meyakini bahwa tiada yang dapat menghasilkan suatu manfaat atau mudharat melainkan hanya Allah semata.
Syaikh ‘Aidh Al Qarni di buku terjemahannya “Berjuang Tak Pernah Lelah”
Langganan:
Postingan (Atom)