Oke, yang akan aku nyinyirkan kali ini ternyata ialah yaitu merupakan
bahwa bermaksud yakni, sebuah perkara yang sangat sensitif. Sehingga aku akan
berusaha untuk sangat berhati-hati dan menjaga setiap kata per-kata
serta kalimat demi kalimat dengan teliti, santun serta halus berbudi.
Ya, maksudku santun dalam versiku sendiri ya… *hohoho
Mari.
Saban hari yang lalu aku tertarik memperhatikan secara seksama dalam tempo yang selama-lamanya perilaku para perjaka dan perawan, baik yang telah beranak maupun yang belum, baik yang masih hijau maupun yang kira-kira “sudah dekat” waktunya untuk bertemu dengan Tuhan. Kutarik beberapa kesamaan dari mereka, dan kudapatkan fakta yang mencengangkan! Bahwa, ternyata memang hampir semuanya memiliki jempol kaki!!, eh, maksudku ‘kemelowan’! yakni bermakna bahwa ada nilai “melow” di dalam diri mereka. Wow!.
Kemelowan tiap individu ini dipengaruhi oleh variabel waktu dan tempat atau objek yang berbeda-beda. Ada yang kambuh melownya dikala malam datang, ketika azan shubuh, ketika di kuburan, atau sewaktu jagain parkiran. Bahkan barangkali ada yang kambuh ketika kesurupan. Intinya, setiap orang akan terinfeksi dengan waktu dan cara yg berbeda-beda. Ini tentu merupakan sebuah fakta yang menegangkan sekaligus menakjubkanmu, iya kan?.
Setelah merenung dalam malam-malam yang panjang dan dingin, dalam kesendirian menatap langit nan berbintang, dalam lamunan menahan-nahan rindu-gurindam-gurame. Maka, aku berijtihad, bahwa, kemelowan adalah perilaku jiwa yang lazim dan normal, dimana posisi “perasaan” berada pada level kesensitifan yang sangat tinggi. Yang berefek kepada perubahan perilaku yang tak wajar, seperti perilaku jiwa yang tiba-tiba menjadi halus, kata-kata yang menjadi syahdu-meriang, dan perilaku fisik yang mulai sedikit “gemulai” dan “melambai”. (eh?).
Manusia yang terjangkiti bakteri kemelowan ini akan menjadi sangat perasa dan mudah berpuitik dalam kata. Ia akan sering ingin menyendirikan diri sendiri. Pun tiba-tiba ia menjadi akan sangat mudah tersentuh jika melihat laut, langit, awan, bunga, bintang dan rembulannya, atau dengan irama dan syair yang lembut-merayu-sendu.
Jika dilihat dari segi “kondisi” maka secara kurang ajar dan biar kelihatan ilmiah aku membagi penyebab kemelowan menjadi dua. Sekali lagi; menjadi dua!. Ku-ulangi sekali lagi, bahwa aku membagi penyebab kemelowan menjadi dua. Dengan baik hati kuulangi sekali lagi, bahwa aku membagi penyebab kemelowan ”menjadi dua!.” Apa perlu kuulangi sekali lagi? keliatannya nggak perlu…hehee.
Yang pertama ialah kemelowan yang terjadi ketika si-korban dalam kondisi Jatuh Cinta, dan yang kedua ialah ketika korban dalam kondisi Patah Hati. Memang sangat kontras, tetapi di kedua kondisi inilah kesensitifan hati begitu peka dan halus, setidaknya beginilah kesimpulan dari hasil renungan melamun tidak bermutuku itu.
Mari.
Saban hari yang lalu aku tertarik memperhatikan secara seksama dalam tempo yang selama-lamanya perilaku para perjaka dan perawan, baik yang telah beranak maupun yang belum, baik yang masih hijau maupun yang kira-kira “sudah dekat” waktunya untuk bertemu dengan Tuhan. Kutarik beberapa kesamaan dari mereka, dan kudapatkan fakta yang mencengangkan! Bahwa, ternyata memang hampir semuanya memiliki jempol kaki!!, eh, maksudku ‘kemelowan’! yakni bermakna bahwa ada nilai “melow” di dalam diri mereka. Wow!.
Kemelowan tiap individu ini dipengaruhi oleh variabel waktu dan tempat atau objek yang berbeda-beda. Ada yang kambuh melownya dikala malam datang, ketika azan shubuh, ketika di kuburan, atau sewaktu jagain parkiran. Bahkan barangkali ada yang kambuh ketika kesurupan. Intinya, setiap orang akan terinfeksi dengan waktu dan cara yg berbeda-beda. Ini tentu merupakan sebuah fakta yang menegangkan sekaligus menakjubkanmu, iya kan?.
Setelah merenung dalam malam-malam yang panjang dan dingin, dalam kesendirian menatap langit nan berbintang, dalam lamunan menahan-nahan rindu-gurindam-gurame. Maka, aku berijtihad, bahwa, kemelowan adalah perilaku jiwa yang lazim dan normal, dimana posisi “perasaan” berada pada level kesensitifan yang sangat tinggi. Yang berefek kepada perubahan perilaku yang tak wajar, seperti perilaku jiwa yang tiba-tiba menjadi halus, kata-kata yang menjadi syahdu-meriang, dan perilaku fisik yang mulai sedikit “gemulai” dan “melambai”. (eh?).
Manusia yang terjangkiti bakteri kemelowan ini akan menjadi sangat perasa dan mudah berpuitik dalam kata. Ia akan sering ingin menyendirikan diri sendiri. Pun tiba-tiba ia menjadi akan sangat mudah tersentuh jika melihat laut, langit, awan, bunga, bintang dan rembulannya, atau dengan irama dan syair yang lembut-merayu-sendu.
Jika dilihat dari segi “kondisi” maka secara kurang ajar dan biar kelihatan ilmiah aku membagi penyebab kemelowan menjadi dua. Sekali lagi; menjadi dua!. Ku-ulangi sekali lagi, bahwa aku membagi penyebab kemelowan menjadi dua. Dengan baik hati kuulangi sekali lagi, bahwa aku membagi penyebab kemelowan ”menjadi dua!.” Apa perlu kuulangi sekali lagi? keliatannya nggak perlu…hehee.
Yang pertama ialah kemelowan yang terjadi ketika si-korban dalam kondisi Jatuh Cinta, dan yang kedua ialah ketika korban dalam kondisi Patah Hati. Memang sangat kontras, tetapi di kedua kondisi inilah kesensitifan hati begitu peka dan halus, setidaknya beginilah kesimpulan dari hasil renungan melamun tidak bermutuku itu.
Di kedua kondisi inilah korban juga terjangkiti perasaan “merasa” memiliki kemampuan untuk melahirkan puisi atau syair yang mendayu-dayu layaknya pujangga-pujangga besar. Bahkan mereka merasa pantas diri dan besar kepala untuk disejajarkan bahu dengan Rumi, Hamka, Shakespear, Gibran atawa Iqbal. Kurang ajar memang, tapi jangan terlalu kau ambil hati, nanti mereka akan sadar sendiri bahwa mereka sedang “sakit”.
Oke, mari kita intip beberapa indikasi perilaku seseorang yang telah terjangkiti kemelowan ini.
Untuk Jenis yang pertama (kondisi Jatuh Cinta), diantaranya yaitu; ia akan sangat mudah tersenyum dan tertawa-tawa sendiri, meskipun terkadang ia sedang menonton pilem horor atau sedang berada dirumah duka!...aiihh2
Dalam melamun pun ia hobi tersenyum-senyum bego sendiri. Tak lupa, gelisah-gelisah rindu juga menyerang jenis ini tanpa ampun. Benar-benar tanpa ampun. Jenis ini juga tiba-tiba menjadi manusia yang pemaaf dan penyabar, sangat senang berbagi membantu, sangat riang-bersemangat, seolah-olah cuma dia manusia yang dianggap Tuhan masuk surga. Atau kurang lebih begitulah.
Tipe pertama ini doyan nempel dan sok memahami buku-buku seperti, Taman Orang yang Jatuh Cintanya Ibnu Qayyim, Cinta dan Syahwatnya Ibnul Jauzi, Tauqul Hamaamahnya Ibnu Hazm, tulisannya Ustad Fauzil Adhim, Serial Cinta-nya Anis Matta, novel-novelnya Habiburraman el Shirazy, Syair-syairnya Iqbal atau Rumi, dan lain lain. Bahkan ia merasa bisa mengimbangi penulis-penulis diatas. Sekali lagi, jangan diambil hati atas kekurang-ajarannya, sindrom “merasa pujangga” akibat bakteri Melow ini memang menginjak-injak kewarasan korbannya.
Kukutipkan kau contoh syair yang disenangi jenis pertama ini;.
Sesungguhnya
Bila saja ia berkunjung tiba-tiba
Kurela meski cuma dapatkan isyarat mata
Sua denganmu, cukup sehari sekali
Tak ingin lebih, yang penting rindu ini terobati
Pasukan-pasukan cinta telah mengepung pendengaranku
Ia yang baru kudengar sifatnya telah memenuhi benakku
(Tauqul Hamaamah,_Ibnu Hazm)
Semua burung yang terbang di langit mengidap iri
Lantaran kita tertawa-tawa riang sekali, kau dan aku. (Rumi)
Hah, begitulah, kau lihat, bukan main memang lagaknya.
Sedangkan jenis yang kedua (kondisi Patah Hati) bercirikan; ia akan hobi bermuram muka-bersedih-sedih kata. Puisi dan syairnya bermakna putus asa dan kesedihan yang mendalam akibat kasihnya tak terjangkau mata, tak tergenggam tangan. Pedih berurai-urai airmata.
Ia akan begitu senang melihat langit sendirian, menelusuri laut sambil menebas-nebas pasir kering dengan kakinya, seolah-olah ada nama kekasihnya disitu. Kasihan benar. Coba kau perhatikan juga, sehabis shalat ia akan duduk agak lama dengan wajah tertunduk kebawah, bahkan ia kelihatan lebih khusyuk daripada Imam mesjid. Ia akan mencoba untuk mengiba-iba pada Tuhannya, bahkan bisa jadi ia akan menyodor-nyodorkan nazar sebagai bentuk negoisasi dengan Tuhan jika permintaannya dikabulkan. Ckck parah.
Jika hujan turun ia akan relakan dirinya basah kedinginan, ia menikmati kemelowannya, bahkan sangat menikmatinya. Aih, benar-benar aku tak tega mengisahkan penderitaan jenis yang kedua ini. Sungguh, kemelowan jenis ini telah memakan fisik dan jiwanya secara perlahan demi perlahan. Kasihan memang. Patutlah kau sumbangkan untuknya air mata. Sungguh mengharukan.
Apakah kau sedang menangis terharu karena membaca yang diatas? oh, nggak ya? Hehe.. yaudah mari kita lanjutkan.
Jenis kedua ini akan alergi dengan buku-buku yang romantis dan mengandung kemesraan. Namun ia akan sangat menghayati kisah-kisah seperti, Laila Majnun, Zainuddin dan Hayati di Tenggelamnya Kapal Vanderwijk, Siti Nurbaya dengan kasih tak sampainya Marah Rusli, atau kisah kesedihan Shah Jahan akibat meninggalnya sang istri, Arjumand Begumm Bann, sehingga terbangunlah Taj mahal di India, atau barangkali Sayap Patahnya Gibran. Kisah di pilem-pilem drama Jepang, Taiwan, Malaysia, Brunei dan sejenisnya juga disantap dengan sepenuh hati segenap jiwa-raga, serta tak lupa ia sedekahkan air matanya sebagai bentuk dan pertanda bahwa ia sangat paham apa yang dirasakan oleh pemeran utama di pilem-pilem tersebut. Ampun dah.
Nah, mari kukutipkan juga kau contoh syair dari ulama Andalusia yang senang diresapi dan diulang-ulang oleh jenis yang kedua ini;
Perpisahan datang setelah pertemuan
Keduanya datang bergantian
Malam pertemuan digantikan malam perpisahan
Sungguh, kepergianmu adalah kepedihan
Dan kebersamaan denganmu senantiasa kunantikan
Adakah sejumput asa untuk kebersamaan
Atau
Ketika nestapa melanda jiwa
Api membakar hati, airmata meleleh di pipi
Kala lara mendera hati, menyiksa jiwa
Perasaan mungkin bisa sembunyi
Tapi airmata kan mengalir lama
(Tauqul Hamaamah,_Ibnu Hazm)
Ehem, begitulah, kuharapkan kau mulai sedikit mengerti dan mengira-ngira diri sedang berada pada jenis yang mana. Ingin sebenarnya aku juga menuliskan level-level kemelowan yang harus kau perhatikan, sehingga kau bisa lebih berhati-hati. Namun kupikir tak usah saja, alasannya sederhana saja. Malas. *Hehee.
Menurutku kebahagiaan dan kesedihan itu tetap saja merupakan pemberian Allah untuk “perasaan” yang kita miliki, maka ketika kegembiraan datang, nikmatilah dengan baik, tak usah sungkan-sungkan untuk tertawa gembira. Begitupun ketika kesedihan datang, maka kau juga punya hak untuk menikmatinya. Bukankah mata itu juga punya hak untuk sejenak menangis, meski sebentar. Menangis sajalah meski dengan alasan yang sederhana. Tak usah kau risau-risau akan hal ini, manfaatkan dan kelolakan saja “rasa” kemelowan diatas sesuai dengan ajaran Nabi, tak lebih tak kurang. Sehingga semoga kita bisa menikmati tawa dan tangis kita,...=)
Sekian saja-lah Tuan-tuan dan Puan-puan.
“Hanya Allah dan Rasul saja yang tak akan mengecewakan kita”
Affif Herman bin Herman Hanif bin Hanifuddin Ali, 2009.
*nulisnya marathon
Kajhu-Darussalam-Meunasah Bak Trieng-Ie Mase-Lueng Bata-Batoh,..hehe*.