Dalam sebuah acara talk-show di sebuah
stasiun TV Inggris tahun 1990-an ditampilkan isu pelacuran. Panelisnya
pendidik, pastur, tokoh masyarakat dan beberapa pelacur. Hampir semua menyoroti
profesi pelacur dengan nada sinis. Pelacur adalah sampah masyarakat. pelacur
mesti dijauhkan dari anak-anak, merusak adat kesopanan sosial, dan seterusnya.
Tapi
yang menarik saat giliran pelacur angkat bicara. “Saya memang pelacur. Dan saya
melakukan ini karena saya janda. Saya menjalani profesi ini untuk menghidupi
tiga orang anak saya. kalian boleh saja mencemooh. Tapi siapa yang peduli
anak-anak saya kelaparan, siapa! Siapa!” ia berteriak lantang. “Supaya kalian
semua tahu, saya memang pelacur tapi hati saya tetap suci,” lanjut dia.
Hadirinpun bersorak.
Nampaknya
orang bersorak bukan karena ia pelacur, tapi karena ia dualis. Menjadi dan
merasa suci. Dua sifat yang kontradiktif. Yang saya heran justru mengapa mereka
bersorak. Sebab doktrin dualisme sudah lama berakar di dalam pemikiran Barat.
Asal usul terdekatnya adalah filsafat akal (philosophy of mind) yang digemari
Descartes, Kant, Leibniz, Christian Wolf dan lain-lain.
Menurut
Christian Wolff, misalnya, “The dualists
(dualistae) are those who admit the existence of both material and immaterial
substances” tapi wujud materi dan jiwa terpisah. Pengertian ini disepakati
Pierre Bayle dan Leibniz.
Bahkan
konon Barat mewarisinya dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur. Dunia
dianggap sebagai pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Thomas Hyde
menemukan doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (Historia religionis veterum Persiarum, 1700). Doktrin Zoroaster
diwarisi oleh Manicheisme dan diramu dengan dualisme Yunani. Tuhan akhirnya
dianggap sebagai person dan juga materi.
Bagi
orang Mesir kuno Ra adalah Tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran.
Lawannya adalah Apophis lambang kegelapan dan kejahatan. Deva dalam agama Hindu
adalah Tuhan baik, musuhnya adalah Asura Tuhan jahat.
Di
Babylonia peperangan Marduk dan Tiamat adalah mitos yang mewarnai worldview
mereka. Mitologi Yunani selalu menampilkan peperangan Zeus dengan Titans. Di
Jerman perang antara Ases dan Vanes, meski berakhir damai.
Dalam
filsafat, Pythagoras adalah dualis. Segala sesuatu diciptakan saling
berlawanan: satu dan banyak, terbatas dan tak terbatas, berhenti dan gerak,
baik dan buruk dan sebagainya. Empedocles setuju dengan Pythagoras, baginya
dunia ini dikuasai oleh dua hal, cinta dan kebencian. Plato dalam
dialog-dialognya memisahkan jiwa dari raga, inteligible dari sensible.
Tapi
apakah dualisme itu benar-benar realitas? Atau sekadar persepsi yang
menyimpang? Sebab nilai-nilai monitis (kesatuan) dalam realitas juga ada dan
riil. Heraclitus dan Parmenides mengkritik dualisme Pythagoras.
Banyak
itu pun berasal dari yang satu yang abadi. Yang dianggap saling berlawanan itu
sebenarnya membentuk kesatuan dan tak bisa dipisahkan. Aristotle ikut-ikutan.
Dualisme Plato juga tidak benar. Jika jiwa diartikan bentuk (form) dari raga
alami yang berpotensi hidup maka jiwa adalah pasangan raga. Jadi jiwa dan raga
adalah suatu kesatuan. Tapi Aristotle ternyata masih dualis juga. Ia memisahkan
akal dan jiwa.
Dalam
kepercayaan kuno pun unsur monisme juga wujud. Marduk ternyata turunan dari
Tiamat. Zeus dan Titann berasal dari moyang yang sama. Leviathan ternyata
diciptakan Tuhan. Pemberontak Mahabrata adalah dari keluarga yang sama.
Dalam agama Zoroaster, kebaikan selalu
dinisbatkan kepada Ahura Mazda atau
Ohrmazd sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahra Mainyu atau Ahriman. Tapi dalam kitab Gathas, kebaikan dan
kejahatan adalah saudara kembar dan memilih salah satu karena kehendak.
Para pemikir Kristen mulanya ikut
Plato, tapi mulai abad ke-13 mereka pindah ikut Aristotle dengan beberapa
modifikasi. Di zaman Renaissance dualisme Plato kembali menjadi pilihan. Tapi pada
abad ke-17 Descartes memodifikasinya. Baginya yang riil itu adalah akal sebagai
substansi yang berpikir (substance that
think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance).
Teori ini dikenal dengan Cartesian dualism. Tujuannya agar
fakta-fakta di dunia materi (fisika) dapat dijelaskan secara matematis
geometris dan mekanis. Kant dalam The
Critique of Pure Reason mengkritik Descartes, tapi dia punya doktrin
dualismenya sendiri. Pendek kata Neo-Platonisme, Cartesianisme dan Kantianisme
adalah filsafat yang mencoba merenovasi doktrin dualisme. Tapi terjebak pada
dualisme yang lain.
Perang antara monisme dan dualisme,
sejatinya adalah pencarian konsep ke-esa-an (tauhid). Peperangan itu
digambarkan dengan jelas oleh Lovejoy dalam bukunya The Revolt Against Dualism.
Fichte dan Hegel, misalnya, juga mencoba menyodorkan doktrin monisme, tapi
bagaimana bentuk kesatuan kehendak jiwa dan raga, tidak jelas. Nampaknya,
karena arogansi akal yang tanpa wahyu (unaided
reason) maka monisme tersingkir dan dualisme berkibar. Jiwa dan raga
dianggap dua entitas.
Seorang dualis melihat fakta secara
mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah.
Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain, karena beda
komposisi. Akal bisa jahat dan materi bersifat suci. Atau sebaliknya, jiwa
selalu dianggap baik dan raga pasti jahat.
Padahal dari jiwalah kehendak berbuat
jahat itu timbul. Dalam Islam kerja raga adalah suruhan jiwa (innama al-a’mal bi al-niyyat). Karena itu
ketulusan dan kebersihan jiwa membawa kesehatan raga.
Dualis di kalangan antropolog pasti
memandang manusia dari dua sisi: akal dan nafsu, jiwa dan raga, kebebasan dan
taqdir (qadariyyah dan jabariyyah). Dalam filsafat ilmu, dualisme pasti merujuk
kepada dikotomi subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif.
Kebenaranpun menjadi dua kebenaran
obyektif dan subyektif. Bahkan di zaman postmo kebenaran ada dua, absolute dan relatif. Dalam Islam konsep tauhid inherent dalam semua konsep, tentunya asalkan sang subyek berpikir tauhidi.
Nampaknya doktrin dualisme telah
memenuhi pikiran manusia modern, termasuk pelacur itu. Pernyataan pelacur itu
tidak beda dari dialog dua sejoli dalam film Indecent Proposal,”I slept with
him but my heart is with you”.
Seorang dualis bisa saja berpesan “Lakukanlah
apa saja dengan niat baik”. Anak muda Muslim yang terjangkiti pikiran liberal
akan berkata,”Jalankan syariat sesuka
hatimu, yang penting mencapai maqasid syariat”.
Kekacauan berpikir inilah kemudian
yang melahirkan istilah “penjahat yang santun”, “koruptor yang dermawan” , “ateis
yang baik”, “Pelacur yang moralis”, dan seterusnya.
Mungkin akibat ajaran dualisme pula
Pak Kyai menjadi salah tingkah dan berkata ‘Hati saya di Mekkah, tapi otak saya
di Chigago”. Dualisme akhirnya bisa menjadi perselingkuhan intelektual. Hatinya
berzikir pada Tuhan tapi pikirannya menghujat-Nya.
-Bab I Buku Misykat, karya DR. Hamid Fahmy
Zarkasyi-