Jumat, 01 Juli 2011
(Tidak) Ada (lagi) Udang Dibalik Bakwan
Sementara akar-akar pepohonan menghisap air dari tanah. Sementara manusia masih menutup mata ketika tidur. Sementara anak-anak ABG jelek ngebut-ngebutan di jalan raya. Sementara burung-burung pada terbang kesana kemari seolah sedang pamer dirinya karena bisa terbang. Sementara Rupiah masih lemah letih lesu babak belur akibat kalah gulat dengan Dollar. Sementara PNS bekerja dengan semangat di kantor-kantor pemerintahan. Sementara semut mencari makan beramai-ramai. Sementara langit malam masih gelap hitam gulita. Sementara masih ada yang mau pergi shalat berjamaah ke mesjid. Sementara itulah saya dan sanubari saya sedang memikirkan sesuatu. Sehingga saya sementara itu ecek-eceknya menjadi seperti seorang pemikir, padahal bukan. Sehingga sementara itu terjadi akibat saya adanya kegundahan, atau apalah namanya, saya tak tahu harus menyebutnya apa. Insya Allah sementara ini terjadi akibat sebuah permasalahan sosial, yang saya yakin, tidak penting.
”Ada Udang Dibalik Bakwan” katanya. Kata kawan saya. Yang se-meja dan duduk dengan saya. Bukan duduk di pangkuan saya tapi di kursi di sebelah saya. Dalam sebuah pertemuan sekte yang insya Allah tidak sesat. Yang merupakan pertemuan rutin yang telah seperti menjadi sebuah keharusan bagi kami untuk selalu berkumpul. Untuk selalu harus bertemu biar dengannya bisa dibilang kami adalah kawan akrab. Mesti selalu harus se-meja untuk ngopi dan menanam benih-benih tawa agar bisa memanen tawa yang banyak. Selalu saja begitu kami. Hampir sama seperti kucing yang selalu saja mengeong tidak mau sesekali berkokok. Dasar kucing keras kepala!
Oh. Ketika itu saya kira. Mengira apakah bumi masih berputar? Jawabannya, “iya, masih-lah!” itu saya yang jawab sendiri, di dalam hati. Apakah? Apakah ikan-ikan di lautan tidak capek berenang? Saya tidak menjawab. Mengapa? Lha, itu kan urusan saya. Kan saya yang bertanya sendiri, maka terserah saya dong mau di jawab atau tidak. Mengapa kamu selalu ingin tahu urusan saya. Apa biar kamu itu mau kelihatan kritis dan cerewet?
Ketika itu saya terpikir kembali pepatah itu. Iya, “ada udang dibalik bakwan” itu. Itu adalah orang jaman dulu yang bilang begitu. Dan saya bikin diri lihat-lah bakwan di atas meja saya. Maksudnya meja itu bukan punya saya, itu meja yang miliki adalah dia yang punya warung kopi ini. Warung kopi Solong namanya. Konon katanya ini warkop terkenal. Bakwan di meja itu, percayalah. Tidak ada seekor udang pun dibaliknya! Atau di dalamnya. Atau dipinggirnya. Tidak ada! Ini fakta, lho! Sungguh saya tidak ingin berdusta gara-gara bakwan. Saya bukan lelaki macam begitu, bukan. Kalau tak percaya, coba tanya istri saya.
Bakwan masa kini tiada lagi ber-udang, sodara-sodara!! Ini realitas yang harus diterima dengan hati yang lapang dan terbuka. Kamu tak boleh menutup diri dan pura-pura tak tahu atas kondisi begini. Para pembuat bakwan komtemporer telah berijtihad untuk menghasilkan bakwan yang tidak lagi menggunakan udang di dalamnya. Kita harus menghargai ijtihad itu sebagai sebuah perubahan yang positif. Sebagai akibat…aduh, apa namanya itu, iya, akibat kemajuan zaman.
“Jadi, maunya abang apa?” itu akhirnya istri saya yang bertanya. Ketika saya telah berada di rumah. Dan seolah ingin disebut sebagai suami yang baik dan teladan maka saya menceritakan kepadanya perihal bakwan-bakwan yang kini tiada lagi ber-udang. Sehingga berceritalah saya kepadanya yang manis dan baik itu dengan riwayat yang panjang. Seolah-olah saat itu saya sedang berperan sebagai suami yang pengertian bahwa mau berbagi ilmu pengetahuan dengannya, si-istri. Semoga si-istri kagum dan rela mengirimkan uang ke rekening saya yang katanya bank berbasis Syariah. Tahu-lah kamu saya malas dan menghindari menabung di Bank Konvensional. Sama seperti saya yang juga malas merampok tukang becak meski ada waktu luang.
“Abang maunya Negara Israel hancur!” itu saya jawab pertanyaan si-istri tadi. Saya jawab itu di dalam hati saja. Agar nanti istri tidak menjadi bingung dirinya akibat jawaban saya kok ngelantur kemana-mana. “Abang maunya kamu!” itu saya yang jawab lagi. Lagi-lagi saya jawab itu di dalam hati. Demi nanti istri jangan tersipu sehingga bisa hilang fokus akibat perihal papatah. Maka akhirnya saya jawab menggunakan mulut kepadanya bahwa pepatah tadi harusnya segera direhab. Direvisi juga. Di amandemen juga. Di mesiumkan juga. Dan lihatlah si-istri ketika mendengar saya berkata, si-istri adalah dia yang saya perhatikan menjadi sok-sok mendengar takzim mengangguk. Seolah-olah dengan sikapnya yang begitu dia berharap agar disebut sebagai istri yang perhatian dan sayang suami.
Berkatalah saya lagi kepadanya, bahwasanya apapun itu pepatah adalah buah pikir para senior kita di zaman dahulu kala. Maka akibat bumi yang berputar maka generasi juga menjadi berubah. Sehingga generasi sekarang juga punya hak yang sama padanya untuk membikin pepatah baru yang sesuai dengan kondisi kekinian dan kebutuhan jamannya. Kini kue bukan hanya bakwan seorang, namun telah ada beribu-ribu kue baru. Bahkan bakwan-pun akibat kejahilan tangan manusia telah dikreasikan padanya bermacam ragam model sesuai dengan ke-edanan pembikinnya. Jadi, pembaharuan pepatah tadi adalah hal yang itu tak bisa dihindari lagi. Marilah generasi muda nusantara tanah air jiwa ragamu disanalah engkau berdiri. Marilah bangsa-bangsa melayu. Marilah bangsa Papua Nugini, Bangsa Kuba dan Australia sekalian. Marilah beramai-beramai kita melahirkan pepatah-pepatah kontemporer. Pepatah-pepatah baru yang modern dan merakyat!. Bersatu kita nge-rujak, bercerai kita tetap nge-rujak juga!!.
Juga hal yang tidak menang penting yang saya kira. Bahwa ketika padi sedang tumbuh di sawah maka jangan sampai anak-anak kita, juga adik-adik kita, juga sodara-sodara kita tumbuh dalam dirinya ilalang bimbang. Bimbang akibat bingung. Bingung akibat mendapati dirinya yang bertanya mengapa dipepatah itu katanya ada udang di bakwan, namun faktanya tidak ada udang, dan mereka merasa tertipu. Oh jangan sampai itu terjadi. Jangan sampai mereka mengira bahwa para tetuanya di jaman dahulu kala telah berdusta dengan membuat pepatah itu. Oh jika ini terjadi maka sungguh ini sangat tidak saya sesalkan. Sungguh, saya sangat tidak menyesal! Karena memang saya itu tadi cuma mendramatisir keadaan saja. Oh mudah-mudahan kamu sadar.
Begitu-lah. Salam Bakwan Nusantara! Mati kapitalis! Mati Zionist! Hidup tukang bakso negeriku!!
Affif Herman,
Banda Aceh 30 Juni 2011
Langganan:
Postingan (Atom)