Minggu, 28 September 2014

In Blue

Tadi pagi, karena merasa udah mandi secara benar dan tertib jadi kupikir kayaknya aku lagi wangi-wanginya. Jarang-jarang. Sehingga lagi merasa ganteng-gantengnya lah. Jadi kupikir ini waktu yang apdol untuk ngambil foto selfie. Bukan buat di upload ke Instagram atau Facebook, tapi untuk di kirim ke si-cewek. Biar nanti mana tau dia tertarik buat di-print-kan trus dimasukkin ke dalam dompet dan ditabur sudut-sudut dapur biar kecoa gak berani menguasai dapur. Heuheuheu.

Jepreeet...preeet...preeet!

Jadi deh foto itu, dari hampir 10 kali jepret, yang bagusnya kayaknya sebiji. Yang lain bermasalah ini itu. Ada yang angle-nya gak pas sehingga perasaanku terlihat kepala awak besar sebelah. Atau ada yang senyum awak agak terpaksa, macam orang lagi sariawan beberapa biji di tempat-tempat strategis di sekitar bibir. Pokoknya banyak yang ndak layak kirim gitu. Tapi karena udah capek, mau gak mau harus dipilih satu yang layak untuk dikirim

Singkat cerita, lalu ku-sent lah foto itu. Lalu, karena merasa punya pulsa, perempuanku itu membalas. Dia membalas "Hehehe". Trus ngasih emoticon "love". Trus dia ngomong ke topik yang lain, tak ada kata "cakep, bang" yang kutunggu-tunggu. Eng ing eng.

Hahahaa, wah, saya pikir pasti fotonya betul-betul gak cakep ni. Nasib. Huehueheu.

Tak lama kemudian, dia kirim fotonya pulak. Oh, dia lagi bertugas di RS, piket pagi katanya. Pakaiannya rapi jali biar terkesan rapi. Biar publik menilai dan menuduh bahwa seorang dokter itu rapi, padahal iya. Meski demikian dia gak pernah mengatur-ngatur gaya berpakaian cowoknya. Cowoknya bebas memakai pakaian yang disukainya -tentu saja kaos oblong- yang penting bersih. Yes! yes!

Nah, karena saat itu dia memakai jilbab yang berwarna biru, maka dengan sok pedenya kubalas ke dia pake puisi. Hehee, tentu saja pake puisiku yang merdeka, ngawur, bebas, gak terikat "adat sopan-santun" dunia perpuisi-an. Biarin ah, yang penting dia ngakak, atau minimal senyam-senyum lah. Itu udah cukup bagiku. Hehee, nah, karena puisinya kupindahin kemari, jadi kusesuaikan lagi dikit. Okelah ya, jangan ngetawain. Hargai usahaku! Hahaaa :))


Wah, jilbabmu biru ya hari ini
Jadinya, my love in blue, gitu
Like I'm swimming in the ocean
or, atau, macam
I'm flying in the sky
Ah, my love in blue. 
In you.
Yes, In you.
Tapi kamu jangan feel sempurna,
karena pasti tak akan ada yang sempurna
mana ada yang sempurna, coba?
makanya you gak bisa kalau mau sombong
tapi Na, tapi...
to me, you are perfect.
Itu. :))



Affif, yang pernah minum jika haus, juga hobi tidur jika ngantuk.
Bandung, 28 Sept 2014






Rabu, 24 September 2014

Kukira, Ternyata.

Kukira berpuisi adalah obat penenang dari kangen, Na.
Rupanya tidak. Sama aja, malah makin melow.
Jadinya bikin peurih disini, Na. Iya, di hati.
Masih mending guling-guling di jalan yang berlubang dan berbatu.
Rasa sakit oleh bebatuan itu setidaknya sedikit mengalihkan perih tadi.
Duuuh. :))


Affif, eks perjaka
Bandung, 24 Sept '14

Selasa, 23 September 2014

Sore yang Menertawakan kita. Ish.

Sudah sore disini. Kamu yang disana, pasti juga akan sore.
Langitnya kadang memerah, cerah. Duuh, bagus.
Ditambah ada burung-burung yang sengaja berterbangan berlatar gelombang-gelombang awan.
Duuh, kesannya jadi gimana gitu. Bagus dong.
Dan kita berdua menikmatinya.
Meski di tempat yang berbeda.
Meski jauh.
Ya.

Iiih, kasian. Sepasang kekasih menikmati sore yang bagus tadi cuma berteman kangen.
Dari tempat yang berbeda.
Dan si-Sore-nya terkekeh-kekeh melihat dua sejoli itu. Maksudnya kita.
Dasar!
Tahu apa sore itu?! Kuakui ia bagus dalam urusan pemandangan.
Tapi apa dia ngerti urusan perasaan? kuyakin dia tidak!

Jika saja dia tahu, Na.
Yang jauh itu kan sekedar badan. Fisiknya saja. Namun pikiranku tidak.
Pikiranku mengembara bebas ke kamu. Dekat.

Meski kamu bilang aku sedang menggombal, gak apa-apa. Hehee. Biarin.
Kan aku tahu, kamu juga tahu. Bahwa karena itu tugasku.
Kan laki-laki jago menggombal, meski ada juga yang tidak, yang kaku. Mungkin kurang pergaulan.
Tapi lelaki begitu bukan urusanku.
Urusanku ya kamu.
Oiya! anak-anak kita juga harus jadi urusanku. Hampir lupa.
Tadi kukira dunia hanya ada kita berdua. Rupanya rame. Hihihi.

Nah, udah cukup. Ini apa? entah.
Ini puisi? kayaknya bukan.
Lalu? Tak perlu kamu tahu.
Yang perlu kamu tahu...hm, apa itu namanya, hmm..oiya, bahwa aku sekedar sedang rindu.
Mudah-mudahan aku sanggup, gak demam. Hahaha
Dadah...dadaah... :))


Affif
Bandung, 23 September 2014


Nyari-nyari Puisi

Sehabis subuh yang sepi. Sedang di mesjid bersama pemuda-pemuda masa lalu yang kini telah tua, kukira keren juga kalo subuh-subuh buta tuli begini ngirim puisi ke si pacar. Biar dikira sama dia saya adalah lelaki yang lumayan romantis, meski kenyataan malah tidak. Hahaha. 

 Sampai laptop kuhidupkan (dan aku juga kuasa mematikannya, bahkan aku juga kuasa menjualnya) ide untuk nulis puisi yang manis yang bisa membikin si Muna klepek-klepek ke pangkuanku juga belum datang-datang. Betul-betul gakda bakat menyaingi Sapardi Djoko Damono! Heuheuheu. Ah, iya, akhirnya teringat nama pujangga kondang itu. Jadi deh nyari-nyari puisi dianya saja. Jalan pintas dianggap pantas. :D

Nah, Munawwarah, meski bukan asli puisiku namun percayalah ada kerja kerasku dalam mencarinya via google. Hehee, gak percaya? tataplah mataku dalam-dalam, Muna. Eh, bukan mata kaki, wahai Muna! tapi mata hati. Sihiiiiiy. Jadi malu awak. Hahaha.

Udah...udah. Ini puisi untukmu Muna, yang kurampok dari Sapardi. Semoga kamu suka. Eh, bukan suka ke puisinya, tapi semoga kamu suka ke Saya-nya atuh.:))

Dalam Doaku

(Sapardi Joko Damono, 1989, kumpulan sajak
“Hujan Bulan Juni”)

Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku

Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu

Minggu, 21 September 2014

HUMANISME



Saya punya pengalaman menarik. Waktu itu dalam suatu acara bersama para wali murid sekolah anak saya di kawasan Aston Birmingham tahun 1998. Setelah kenalan dengan saya, salah seorang ibu bertanya “Anda belajar apa?” Saya jawab, “Theology”. Dia menukas: “Ups, if you want to have a friend dont talk about religion dan politic”.

Mendengar Theology ia seperti terkejut dan menjadi tidak bersahabat lalu meninggalkan saya. Lama saya termangu dan bertanya-tanya. Ada apa dengan agama? Mengapa agama tidak menjadi alat persahabatan? Saya terus memendam pertanyaan itu selama saya di Inggris.

Kini saya baru mengerti. Sensus tahun 2001 di Inggris menunjukkan sedikitnya 15,5% penduduknya tidak beragama. Survei Kementerian Dalam Negeri Inggris tahun 2004 menyatakan 22% penduduknya tidak percaya pada agama. Survey yang lain menunjukkan 30-40% penduduk Inggris mengaku ateis dan agnostik, dan 65% nya pemuda.

Poling Ipso MORI bulan November 2006 membuktikan 36% penduduk Inggris menganut paham humanisme dalam soal moralitas. Itulah sebabnya mengapa di Inggris orang lebih banyak konsultasi ke the British Humanist Association daripada ke pastur di gereja. Walimurid di kisah di atas itu mungkin seorang humanis.

Humanisme ternyata seumur peradaban Barat. Istilah humanisme tercipta tahun 1808. Aslinya bahasa Italia umanista, yang berarti guru atau murid sastra klasik. Tapi cikal bakalnya dapat dilacak dari Yunani kuno, Romawi dan Renaissance abad ke-14. Semangat mengkaji filsafat, seni, sastra klasik sangat tinggi. Keyakinan mereka pada kekuatan individu dan kemampuan manusia untuk menentukan cukup kuat.

Lucunya, paham yang mencibir agama itu datang dari dalam agama. Adalah kardinal Pelagius (354-420) yang mulai berwacana bahwa manusia punya kapasitas untuk berkembang sendiri tanpa Tuhan. Bisa tahu baik-buruk dengan akalnya.

Mula-mula Jerome dan St. Augustine yang mengkritik. Tapi ketika Pelagius tidak percaya pada doktrin dosa warisan (original sin) dan menolak doktrin predestinasi Calvinisme ia dianggap melawan gereja. Roma dan the Council of Orange tahun 529 akhirnya men’fatwa’kan ide Pelagius itu sesat. Tapi waktu itu belum ada kelompok liberal yang membela Pelagius dan men’tolol’kan petinggi Roma, seperti kalangan liberal disini yang men’tolol’kan MUI.

Anehnya, meski difatwa sesat wacana Pelagius terus menghiasi perjalanan sejarah Katholik abad pertengahan, mengiringi dendang Humanisme Renaissance, dan memotivasi Liberalisme modern. Protestan yang kata Weber memendam jiwa kapitalisme itu langsung bersahabat dengan humanisme. Sebab worldview humanisme, Protestan dan kapitalisme sejalan.

Perkawinan Kristen dan humanisme seperti tidak tertahankan lagi. Humanisme Kristen (Christian Humanism) akhirnya lahir, tapi seperti ada kelainan genetik. Teologinya diubah menjadi berorientasi kemanusiaan. Anak cucu Pelagius-pun bermunculan.

Teolog Belanda Erasmus, pengarang Inggris dan juga penganut Katholik Roma Thomas More, penulis Perancis Francois Rabelais, sastrawan dan cendikiawan Itali Francesco Petrarch dan Giovanni Pico della Mirandola adalah humanis Kristen tulen.

Zaman pencerahan dan rasionalisme di abad ke-18 serta kebebasan berpikir abad ke-19 telah memoles humanisme menjadi berwajah modern. Pergumulan antara agama,  modernisme dan humanisme terus berlangsung. Awalnya humanisme berteduh di rumah agama. Tapi kemudian meninggalkan dan memaki agama.

Di Inggris perkawinan humanisme dan agama awalnya masih bisa dipertahankan. Organisasi humanisme paling awal bernama Humanistic Religious Association didirikan di London tahun 1853. Namun, ketika buah perkawinan itu membesar di zaman pencerahan dan rasionalisme di abad ke-18 dan 19, ia berwajah modernis dan meninggalkan agama.

Perkumpulan humanis bernama the British Humanist Association tidak lagi memakai sifat “Religious”. Claire Raynes, wakil presidennya, mengaku seperti pindah rumah ketika bergabung dengan organisasi Humanisme itu. Alasannya, dalam humanisme tidak ada intimidasi seperti dalam agama.

Sewaktu Salman Rushdi menulis The Satanic Verses tidak ada yang sadar bahwa agama sedang dihabisi seorang humanis sekuler. Dalam sebuah acara Nightline TV ABC pada februari 1989 terus terang dia nyatakan “...saya tidak percaya pada mereka yang mengklaim tahu seluruh kebenaran dan mencoba memaksa dunia ini agar ikut kebenaran itu.” Lebih jelas lagi dalam pernyataannya di New York Review tanggal 2 Maret 1989.

Jadi dia sebenarnya telah berada di luar agama dan menjadi humanis sekuler. Dan melalui karyanya Satanic Verses, “Saya mencoba memberi visi sekuler dan humanis terhadap agama besar ini (maksudnya Islam)”, katanya dalam New York Review 2 Maret 1989. Di Barat, anak yang telah dewasa memang berhak minggat dari rumah. Orang beragama berhak murtad.

Di Amerika humanisme seperti anak nakal. Organisasi pertamanya (berdiri Februari 1877) tidak sudi memakai kata “religious”. Pemrakarsanya F.C.S. Schiller didukung oleh Charles Francis Potter dipengaruhi oleh doktrin pragmatisme William James.

Organisasi yang didirikan Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist jelas-jelas bernama the Council for Secular Humanism. Demikian pula Humanist Society of New York yang didirikan Charles Francis Potter tahun 1929 juga sekuler. Penasehatnya Julian Huxley, John Dewey, Albert Einstein dan Thomas Mann.

Ini disusul oleh kelompok-kelompok seperti the Council for Democratic and Secular Humanism dan the American Rationalist Federation dan sebagainya. Doktrinnya filsafat naturalisme yang menolak semua supernaturalis. Modalnya akal dan sains, alat penyebarannya adalah demokrasi. Dan semua itu demi kepentingan kemanusiaan.

Di era globalisasi dan teknologi modern di saat mana agama kehilangan otoritasnya, humanisme talak tiga dari agama. Fenomenanya terlihat ketika Potter bersama istrinya Clara Cook Potter berani menerbitkan buku aneh (tahun 1930) berjudul Humanism: A New Religion.

Disinilah humanisme tidak hanya pindah rumah dan agama tapi sudah menjadi rival agama. Ini tidak hanya mensekulerkan agama, tapi mengagamakan paham sekuler. Inilah agama yang tidak lagi berhubungan dengan Tuhan. Tidak aneh jika kemudian “fatwa” tentang kemanusiaan kini direbut humanisme.

Dari awal humanisme memang sudah berwatak sekuler. Tapi resmi berwajah sekuler ketika berdiri The Council for Secular Humanism oleh Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist. Karena sekulerisme inklusif dalam modernisme, humanisme modern dan humanisme sekuler sama saja.

Garda depannya adalah kelompok-kelompok seperti The Council for Democratic and Secular Humanism dan The American Rationalist Federation. Doktrinnya filsafat naturalisme yang menolak semua supernaturalis. Andalannya adalah akal dan sains, demokrasi dan kepentingan kemanusiaan. Paul Kurtz dan Potter mungkin sudah lama berwacana bagaimana menghabisi agama.

Babak-babak marginalisasi agama oleh Humanisme modern dan sekuler terus berlangsung. Ketika globalisme dan teknologi modern bangkit, kekuasaan agama jatuh. Humanisme religius-pun kehilangan watak religiusnya.

Namun watak humanisme yang sejak awal telah menggugat agama itu akhirnya tidak dapat menutupi identitasnya. Humanisme adalah ateis. Faktanya semua aktifis humanis tidak sungkan lagi mengklaim dirinya ateis dan agnostik. Robert G, Ingersoll, seorang humanis sekuler terang-terangan berkata: “Kini saya yakin hantu (ghost) dan tuhan (god) adalah mitos. Aku bebas berpikir dan berbuat apa saja... aku bebas!”

Bagi humanis sekuler tidak perlu lagi teriak “hallelujah!” Jika ia Muslim pasti ia benci dengan yel Allahu Akbar.

Lucunya, humanisme religius sama-sama menandatangani Manifesto Humanist I dan II tahun 1933 dan 1973. Tapi kedua manifesto itu dihegemoni humanisme sekuler. Sementara Humanisme Kristen sudah dikuasai oleh Unitarianisme dan Universalisme, suatu organisasi keagamaan liberal di abwah gereja the Unitarian Universalist (UU) Amerika Utara. Kini kelompok Unitarian yang liberal ini telah dianggap telah keluar dari Kristen.

Puncak kemenangan humanisme sekuler terjadi tahun 2008. Pemerintah Inggris pada tanggal 8 Mei 2008 menyetujui Undang-undang Kriminal, Keadilan dan Keimigrasian. Undang-undang itu mengandung amandemen untuk menghapus larangan penistaan agama. Hak istimewa gereja dan agama tidak sesuai lagi dengan masyarakat Inggris modern. Undang-undang ini benar-benar bertujuan menjaga masyarakat beserta hak-hak mereka, dan tidak melindungi pemikiran dan kepercayaan mereka dari kritik.

Meski demikian, buku Potter berjudul Humanism: New Religion, masih dicibir kalangan gereja di Amerika. Mereka membuat artikel plesetan berjudul Humanism: The Atheist ‘s Religion! Bibelnya: Manifesto Humanism; Obyek sembahannya: Manusia; Pendeta dan Misionarisnya: Para pendidik; Seminarinya: Guru-guru sekolah; Gerejanya: Universitas. Mungkin “jihad”nya adalah “memerangi” agama.

Akhirnya manusia sudah bukan makhluk Tuhan, tapi hasil evolusi. Tidak ada kehidupan sesudah mati. Prinsip hidup humanis sangat simple: makan, minum dan kawinlah sepuasmu karena mungkin besok akan mati. Lakukan apa saja asal kamu suka. Seks, lesbi, homo, kawin cerai, bunuh diri, aborsi, atau eutanasia adalah hak asasi dan tidak ada yang berhak mencampuri Anda.

Cara perang melawan agama itu mudah. Manifesto Humanism di Amerika Selatan pada 7 Mei 2005 mendeklarasikan kembali lagu-lagu Yunani “Humans are the measure of all things”. Jika pluralisme agama memindah pusat orbit dunia agama (world of religion) kepada satu Tuhan, humanisme memindahkan orbit segala sesuatu dari Tuhan kepada manusia.

Tuhan bukan lagi pusat dan ukuran segala sesuatu. Salah laku dalam hal seks, lesbi, homo, kawin cerai, bunuh diri, aborsi, eutanasia dan lain-lain kini tidak lagi diukur dari agama. “Baik buruk,” kata Betrand Russell yang ateis itu, “Adalah kualitas milik obyek yang terpisah dari opini kita.” Sebab, ukuran moral adalah obyektif bukan subyektif atau normatif.

Pantas! Takbir yang diikuti dengan menjotos hidung sampai berdarah adalah kekerasan. Tapi mutilasi tanpa takbir dianggap tindak kriminal biasa. Merazia tempat maksiat dengan takbir demi nahi munkar melanggar HAM. Tapi, razia polisi demi keamanan dan tanpa takbir adalah biasa. Artinya jangan bawa-bawa agama untuk kemanusiaan, apalagi berbentuk kekerasan. Pokoknya agama dipasung agar tidak masuk ke ranah publik dan humanisme diusung agar menjadi agama publik. Ukuran moralitas bukan agama tapi publik. Moralis tidak harus religius.

Di sini sayup-sayup mulai terdengar Christian Humanism kini di terjemahkan menjadi Muslim Humanis. Dengan bahasa fiqih mereka berfatwa,”Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia, maka ukurannya juga bukan Tuhan”. “Tujuan (maqasid) syariat lebih penting dari syariat” artinya “Kemanusiaan lebih penting dari syariat”. “Konteks lebih penting daripada teks”.

Tidak! Memang tidak ada yang salah dalam agama. Tapi agama telah kalah dari Humanisme. Manusia tidak lagi untuk Tuhan, tapi Tuhan untuk manusia. Moralis tidak selalu harus religius. Sila ketuhanan boleh jadi nantinya diganti dengan sila kemanusiaan. Sebab, disini ilmuwannya sudah berani berfatwa,”Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia,” “Kemanusiaan lebih penting dari syariat”.

Kini ukurannya bukan syariat tapi insaniyah atau basyariat. Dulu saja Tertulian secara pejoratif mengeluh “What has Jerusalem to do with Athens?” (maksudnya, apa gunanya agama bagi akal). Mungkin keluh kesah Tertulian itu akan berubah begini: Apa yang bisa dilakukan agama jika semua demi manusia?

Kini waktunya kita menyoal diri (Muhasabah), apa gunanya agama jika kita hanya ingin surga (dunia)? Apa gunanya qalbu jika syahwat sudah menggebu? Saya akhirnya paham mengapa penganut humanisme itu tidak bisa ngopi bersama sambil bicara agama dan Tuhan. Karena mereka telah merasa jadi Tuhan.



-Copas dari buku MISYKAT, DR. Hamid Fahmy Zarkasyi-


Rabu, 17 September 2014

Pertanyaan no. 14: Mengapa banyak ilmuwan Muslim yang bilang “Menemukan Islam” di Barat?



Tanya Jawab: HAKIKAT MEMAHAMI BARAT

Pertanyaan no. 14: Keilmuan Islam tidak bersumber dari Barat, peradaban Barat juga bukan peradaban Islam, tapi mengapa banyak ilmuwan Muslim banyak yang bilang “Menemukan Islam” disana?


Istilah “menemukan Islam” menurut saya kurang tepat, sebab apa yang ditemukannnya itu hanyalah satu aspek dari kebaikan Islam. Jika seseorang melihat kebersihan di Singapura lalu menyimpulkan bahwa Singapura itu Islami, tentu salah. Sebab Singapura ternyata juga tidak bersih dari perjudian, pelacuran, penindasan ras dan ketidakadilan sosial.

Demikian juga jika seseorang melihat orientalis berpikir rasional, obyektif dan argumentatif lantas menyimpulkan orientalis itu Islami adalah salah. Ini lebih disebabkan oleh latar belakang dan kemampuan kritisnya yang rendah serta sikap inferioritas yang tinggi.

Sebelum ke Barat orang seperti ini mungkin belajar Islam dengan metode hafalan dan ketika sampai di Barat ia menemukan pemikiran orientalis yang menggunakan metode analisa yang kritis. Tanpa menyadari bahwa metode kritis dan analitis mereka itu justru bertentangan dengan tradisi intelektual Islam dan membingungkan.

Selain itu wawasannya tentang peradaban Islam juga rendah, sehingga apa yang dilihat di barat itu sebagai kemajuan yang perlu ditiru Islam, padahal dalam sejarahnya umat Islam telah mencapai prestasi keilmuan yang lebih hebat dari Barat.


-Copas dari buku MISYKAT, DR. Hamid Fahmy Zarkasyi-


Apa kelemahan dari belajar Islam di Barat?



Tanya Jawab: HAKIKAT MEMAHAMI BARAT

Pertanyaan no. 11: Apa kelemahan dari belajar Islam di Barat?

Kelemahannya ada pada framework (manhaj)berpikir mereka dalam mengkaji Islam. Dari Prinsip obyekfitas, Islam dikaji bukan untuk ibadah atau untuk menambah keimanan pengkajinya. Islam dikaji sebagai ilmu dan ilmu dalam kacamata Barat harus berdasarkan fakta obyektif dan empiris.

Dalam mengkaji sejarah hadits dalam al-Qur’an, misalnya, mereka berangkat dari fakta dalam bentuk tulisan. Fakta dalam bentuk yang tidak empiris, seperti kuatnya hafalan para sahabat Nabi, keshalehan perawi, dan komitmen para Sahabat dan Tabi’in terhadap Islam tidak mereka jadikan variable.

Dari cara pandang ini mereka tidak percaya mushaf al-Qur’an yang ada sekarang ini persis seperti yang diwahyukan kepada Nabi SAW, sebab tidak ada bukti-bukti empiris tentang hal itu. Demikian pula hadits. Selain itu, para sarjana barat adalah spesialis-spesialis dalam salah satu bidang studi Islam. Artinya, mereka hanya memahami Islam dari bidang yang ditekuninya.

Jika mereka mengkaji syariat, mereka tidak bisa mengaitkannya dengan aqidah. Padahal dalam Islam syariat tidak dapat dipisahkan dari aqidah. Karena cara pandang Barat yang sekuler maka Montgomery Watt, misalnya, menganggap Nabi Muhammad SAW sangat religius ketika di Mekkah, tapi menjadi sekuler ketika berada di Madinah. Masih banyak lagi kelemahan studi Islam di Barat.



-Copas dari buku MISYKAT, DR. Hamid Fahmy Zarkasyi-
.



Minggu, 14 September 2014

Tuhan

Pada suatu hari saya naik bus dari Aston ke Universitas Birmingham Inggris. Di samping saya duduk seorang bule yang agak kusut. Ia melirik buku teologi yang sedang saya baca. Dan tiba-tiba: “Hai mike!” Ia menyapa dengan aksen khas Birmingham sambil senyum. Kemudian ia bertanya: “Bisakah Tuhan menciptakan sesuatu yang Ia tidak dapat mengangkatnya?”

Saya tahu konsekuensi jawabanya. Baik jawaban positif maupun negatif hasilnya sama yaitu “Tuhan tidak berkuasa”. Ini pasti pertanyaan seorang sekuler atau ateis, pikir saya.

Ia bertanya dan tidak perlu jawaban. Untuk tidak memberi jawaban panjang kepadanya, saya melontarkan pertanyaan balik, “Could you tell me what do you mean by God?” Benar saja, sebelum menjawab pertanyaan saya dia sudah turun dari bus sambil meringis.

Pertanyaan apakah Tuhan bisa membuat lebih baik dari yang ada ini pernah diajukan Peter Abelard. Dia sendiri bingung menjawabnya. Pertanyaan bule tadi itu mungkin hasil adopsi dari Peter. Tapi, yang jelas bukan dari pikirannya sendiri. Apa makna Tuhan baginya kabur. Bertanya tanpa ilmu akhirnya menjadi seperti guyonan atau bahkan plesetan.

Di Barat, diskursus tentang Tuhan memang marak dan terkadang mirip guyonan. Presedennya karena teologi bukan bagian dari ‘tsawabit’ (permanen) tapi ‘mutaghayyirat (berubah). Layaknya wacana ‘furu’ dalam Fiqih. Ijtihad tentang Tuhan terbuka lebar untuk semua.

Siapa saja boleh bertanya apa saja. Akibatnya, para teolog-pun kewalahan. Pertanyaan-pertanyaan rasional dan protes-protes teologis gagal dijawab. Teolog kemudian digeser oleh doktrin “Sola Scriptura”. Kitab suci bisa dipahami tanpa otoritas teolog.

Sosiolog, psikolog, sejarawan, filosof, saintis dan bahkan orang awam pun berhak bicara tentang Tuhan. Hadits nabi SAW, “ (Idza wussida al-amru ila ghayri ahlihi fan tadzir alsa’ah,” (Jika suatu perkara diberikan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah waktu kehancurannya) terbukti. Katholik pun terpolarisasi menjadi Protestan. Protestan menjadi Liberal dan al-sa’ah itu barangkali lahirnya apa yang disebut dengan ‘modern atheism’.

Apa kata Michael Buckley dalam ‘At The Origin of Modern Atheism’ meneguhkan sabda Nabi SAW. Ateisme murni di awal era modern timbul karena otoritas teolog diambil alih oleh filosof dan saintis. Pemikir-pemikir yang ia juluki “Para pembela iman Kristiani baru yang rasionalistis” seperti Lessius, Mersenne, Descartes, Malebranche, Newton dan Clarke, itu justru melupakan realitas Yesus Kristus.

Dalam hal ini Newton tidak mau disalahkan, Trinitas telah merusak agama murni Yesus, katanya. Descartes hanya percaya Tuhan filsafat, bukan Tuhan teolog. Lalu siapa yang bermasalah? Bisa kedua-duanya.

Ini membingungkan. Pernyataan eksplisit bahwa Yesus itu Tuhan memang absen dari Bible. Ia dipahami hanya dari implikasi, sebab bahasa Bible itu susah, kata Duane A. Priebe. Konsep Tuhan akhirnya harus dicari dengan hermeneutik dan kritik terhadap teks Bible.

Akan tetapi, malangnya, kritik terhadap Bible (Biblical Criticism) bukan tanpa konsekuensi. Biblical Criticism, kata Buckley, justru melahirkan ateisme modern. Alasanya lugas dan logis. Ketika orang ragu akan teks Bible ia juga ragu akan isinya, akan kebenaran hakikat Tuhan dan tentang kebenaran eksistensi Tuhan itu sendiri. Hasil akhirnya adalah ateisme. Bukan hanya biblenya yang problematik, tapi perangkat teologisnya tidak siap. Inilah masalah teologi.

Ateisme modern bukan mengkufuri Tuhan, tapi Tuhan para teolog agama-agama. Yang problematik, kata Voltaire, bukan Tuhan tapi doktrin-doktrin tentang Tuhan. Tuhan Yahudi dan Kristen, kata Newton, problematik karena itu ia ditolak sains.

Bahkan bagi Hegel, Tuhan Yahudi itu tiran dan Tuhan Kristen itu barbar dan lalim. Tuhan, akhirnya harus dibunuh. Nietzche pada tahun 1882 mendeklarasikan bahwa Tuhan sudah mati. Tapi ia tidak sendiri. Bagi Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin, Sigmund Freud, jika Tuhan belum mati, tugas manusia rasional untuk membunuh-Nya. Tapi Voltaire (1694-1778) tidak setuju Tuhan dibunuh. Tuhan harus ada, seandainya Tuhan tidak ada kita wajib menciptakannya. Hanya saja Tuhan tidak boleh bertentangan dengan standar akal. Suatu guyonan yang menggelitik.

Belakangan, Sartre (1905-1980) seorang filosof eksistensialis, mencoba menetralisir, Tuhan bukan tidak hidup lagi atau tidak ada, Tuhan ada tapi tidak bersama manusia. “Tuhan telah berbicara pada kita tapi kini ia diam”. Sartre lalu menuai kritik dari Martin Buber (1878-1965) seorang teolog yahudi. Anggapan Sartre itu hanyalah kilah seorang eksistensialis. Tuhan tidak diam, kata Buber, tapi di zaman ini manusia memang jarang mendengar. Manusia terlalu banyak bicara dan sangat sedikit merasa. Filasafat hanya bermain dengan ‘image’ dan metafora sehingga gagal mengenal Tuhan, katanya.

Itulah akibat memahami Tuhan tanpa pengetahuan agama, tulisnya geram. Filosof berkomunikasi dengan Tuhan hanya dengan pikiran, tapi tanpa rasa keimanan. Martin lalu menggambarkan “nasib” Tuhan di Barat memalui bukunya yang berjudul “Eclipse of God”. Saat Blaise Pascal (1623-1662) ilmuwan muda brilian dari Perancis meninggal, di balik jaketnya ditemukan tulisan “Tuhan Abraham, Tuhan Ishak, Tuhan yakub, bukan Tuhan para filosof dan ilmuwan.” Kesimpulan yang sangat cerdas. Inilah masalah bagi para filosof itu.

Begitulah, Barat akhirnya menjadi peradaban yang “maju” tanpa teks (kitab suci, tanpa otoritas teolog, last but not least tanpa Tuhan. Barat adalah peradaban yang meninggalkan Tuhan dari wacana keilmuan, wacana filsafat, wacana peradaban bahkan dari kehidupan publik. Tuhan, kata Diderot, tidak bisa menjadi pengalaman subyektif. Meskipun bisa, bagi Kant (1724-1804) juga tidak bisa menjadikan Tuhan “ada”. Berpikir dan Beriman pada Tuhan hasilnya sama. Kant gagal menemukan Tuhan. Kant mengaku sering ke gereja, tapi tidak masuk. Ia seumur-umur hanya dua kali masuk gereja: waktu dibaptis dan saat menikah. Maka dari itu Tuhan tidak bisa hadir dalam alam pikiran filsafatnya.

Muridnya, Herman Cohen pun berpikir sama. “Tuhan hanya sekedar ide,” katanya. Tuhan hanya tampak dalam bentuk mitos yang tidak pernah wujud. Tapi anehnya ia mengaku mencintai Tuhan. Lebih aneh lagi ia bilang,”Kalau saya mencintai Tuhan, maka saya tidak memikirkan-Nya lagi.” Hatinya ke kanan pikirannya ke kiri. Pikirannya tidak membimbing hatinya, dan cintanya tidak melibatkan pikirannya.

Tuhan dalam perhelatan peradaban Barat memang problematik. Sejak awal era modern, Francis Bacon (1561-1626) menggambarkan mindset manusia Barat begini: ‘Theology is known by faith but philosophy should depend only upon reason’. Maknanya, teologi di Barat tidak masuk akal dan berfilsafat tidak bisa melibatkan keimanan pada Tuhan. 

Filsafat dan sains di Barat memang area non-teologis alias bebas Tuhan. Tuhan tidak lagi berkaitan dengan ilmu, dunia empiris. Tuhan menjadi mitologi dalam khayalan. Akhirnya Barat kini, dalam bahasa Nietzche, sedang “Menempuh ketiadaan yang tanpa batas”.

Tapi anehnya, kita tiba-tiba mendengar mahasiswa Muslim “mengusir” Tuhan dari kampusnya dan membuat plesetan tentang Allah dengan gaya filosof Barat. Ini guyonan yang tidak lucu dan wacana intelektual yang ‘wagu’. Seperti santri sarungan tapi kepalanya bertopi cowboy Alaska yang kedodoran. Tidak bisa sujud tapi juga tidak bisa lari. Bagaikan parodi dalam drama kolosal yang berunsur westerntaiment.

Konsep Tuhan dalam tradisi intelektual Islam tidak begitu. Konsep itu telah sempurna sejak selesainya ‘tanzil’. Bagi seorang pluralis ini jelas ‘supremacy claim’. Tapi faktanya ‘Kalam’ dan ‘falsafah’ tidak pernah lepas dari Tuhan. Mutakallim dan filosof juga tidak mencari Tuhan baru, tapi sekedar menjelaskan. Penjelasan al-Qur’an dan Hadits cukup untuk membangun peradaban.

Ketika Islam berhadapan dengan peradaban dunia saat itu, konsep Tuhan dan teks al-Qur’an tidak bermasalah. Hermeneutika allegoris Plato maupun literal Aristotle pun tidak diperlukan. Hujatan terhadap teks dan pelucutan otoritas teolog juag tidak terjadi. Justru kekuatan konsep-konsepnya secara sistemik membentuk suatu pandangan hidup (worldview).

Islam tidak ditinggalkan oleh peradaban yang dibangunnya sendiri. Itulah sebabnya ia berkembang menjadi peradaban yang tangguh. Roger Garaudy yang juga bule itu paham, Islam adalah pandangan terhadap Tuhan, terhadap alam dan terhadap manusia yang membentuk sains, seni, individu dan masyarakat. Islam membentuk dunia yang bersifat ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Jika peradaban Islam dibangung dengan gaya-gaya Barat menghujat Tuhan, itu berarti mencampur yang al-haq dengan yang al-batil alias sunt bona mixtra malis.


-Bab I buku Misykat, Karya DR. Hamid Fahmy Zarkasyi-