Rabu, 20 April 2011

Malin Kundang dan Juliet

Poto Pantai Air Manis


Adalah itu suatu waktu di Provinsi Sumatera Barat yang konon kata para tetua terjadi sangat dahulu kala. Jika mau lebih detail biar kelihatan keren maka itulah tempat yang entahlah siapa yang memberi nama dengan nama panggilan daerah Pantai Air Manis, di sebelah selatan kota Padang, Sumatera Barat. Jika ada yang begitu lancang memberi nama ‘pantai’ maka pastilah di daerah itu merupakan daerah yang punya laut yang biru indah bak rembulan yang dibelah dua dengan pisau silet merek ternama. Oh permisalanku sungguh tak nyambung tapi biarlah, toh tiada berdosa.

Di daerah pesisirnya tidaklah mati satu keluarga miskin yang sangat mengagumkan miskinnya, memprihatinkan malah. Lihatlah itu baik-baik, rumah keluarga pesisir itu, atapnya adalah sebuah produk atap yang terbaru dan termutakhir di jaman itu. Ya itulah dia, atap yang terbuatlah dia dari anyaman daun Ijuk yang dikeringkan dan dianyam dengan rotan yang dibelah-belah sehingga jadilah seperti benang yang kokoh, yang lebih populer dengan nama Atap Rumbia.

Dan lihatlah dinding rumah itu, ya, dia memiliki estetika natural yang sangat menyatu dengan alam atau lebih sopan jika disebut berlubang disana-sini. Dinding ini memberikan porsi yang lebih besar pada fungsi sirkulasi udara segar agar lebih banyak yang keluar masuk, sehingga rumahpun terasa sejuk menyehatkan. Jika dipandang-pandang ternyata dinding rumah ini juga memiliki warna yang nyaman dipandang mata, efek selang seling berbentuk seni rajutan lokal sungguh suatu hal yang menakjubkan. Ya, tak lain tak bukan, dinding anyaman bambu kering nama merek dagangnya dan popular sekali di kalangan masyarakat pesisir saat dahulu yang kala itu.

Marilah kita lihat sedikit lagi, itu, pembagian ruangan pun cukup sederhana, kamar utama 1 buah dan dua buah kamar selanjutnya yang khusus di desain menurut standar syariat jika mereka nanti memiliki anak permpuan dan anak lelaki. Sehingga apa? Sehingga mudah jika dilakukan pemisahan kamar antara anak perempuan dan laki-lakinya jika telah memasuki usia baliq. Oh keren.

Lantai rumah ini lihatlah, tak segan menerapkan konsep kearifan lokal masyarakat setempat, yakni lantai tanah pasir laut alami yang dipadatkan sekenanya saja. Ini barangkali merupakan bentuk ekspresi kehidupan sosial mereka yang baik. Toh mereka berpendapat di masa Rasul lantai mesjidnya saja juga dengan tanah, dan tanah jelas bukan najis yang harus ditakuti. Oh bertuah benar.

Keluarga ini baru memiliki satu orang anak lelaki yang diberi nama Malin Kecil-kecil sUka makaN renDANG, yang disingkat dengan Malin Kundang. Akibat mengapa bernama demikian, karena sejarah berkata ketika dia yang bernama Malin sesaat baru dilahirkan kebetulan ada tetangga mereka yang mengadakan walimahan sehingga dikirimkanlah sebagai bentuk ukhuwah sesama tetangga masakan daging rendang yang kiranya langsung dilahap oleh siapa itu namanya, hm, ya, si-Malin bayi.

Katanya yang entah siapa itu yang berkata begini bahwa Malin Kundang adalah anak yang rajin, yang pintar dan yang nakal. Padahal dulu belum ada sekolah dasar juga dinas pendidikan, sehingga bagaimanakah mereka menerapkan standar dan indikator kerajinan dan kepintaran Malin? Entahlah, tak usah kita pikirkan karena akan sia-sia belaka.

Aktifitas Malin di pagi hari dimulai dengan belajar ini-itu bersama ibunya, dan setelah itu bermain mengenal alam sekitarnya. Dia itu, iya, maksud saya Malin itu sering menyelam untuk menombak ikan di laut seolah dia adalah anak pesisir laut, padahal iya. Sering juga Malin ke rawa-rawa di dekat kawasan pesisir untuk menangkap ikan lele seolah-olah dia tidak takut dengan ular-ular di rawa, padahal sebenarnya dia takut. Malin juga pernah terjatuh dari karang akibat bermain sehingga karang memberinya luka di lengannya sebagai hadiah gratis dari karang yang seolah-olah ecek-eceknya sedang promo hadiah berbentuk luka. Setelah shalat zhuhur berjamaah di surau kampungnya ia bersosialisi dan mejeng dengan teman-teman sekampungnya hingga menjelang magrib. Malamnya dia sibukkan dirinya dengan belajar mengaji dan menyetor hafalan Qur’an kepada ayahnya. Begitulah kehidupan masa kecil Malin kecil-kecil suka makan rendang a.k.a Malin Kundang itu.

Kondisi keuangan keluarga yang semakin berat membuat ayahanda Malin memutuskan menjemput rejeki ke negeri seberang yang maksudnya seperti menyeberang jalan. Tentu Malin dan ibundanya bersedih hati atas kehendak maksud hati ayahandanya yang ingin mengarungi lautan luas ecek-eceknya demi menghidupi mereka padahal mereka tahu yang menghidupi mereka adalah Allah. Namun maksud ayah Malin adalah mencari duit, bukan mencari ‘nyawa’ untuk memberi ‘hidup’ pada Malin dan ibunya.

“Cinta, Kanda titip Malin ya. Sabar dan doakan saja Kanda agar selamat dan sehat...” Begitu perkataan ayah Malin kepada istrinya pada malam terakhir sebelum keberangkatan, mirip perpisahan gitu. Setidaknya begitu yang tertulis dari manuskrip fiktif yang tidak saya baca.

Namun begitulah bumi ini Allah desain, ia terus berputar tak henti-henti apalagi capek, sehingga apa? Sehingga waktu juga terus berubah dan tak berhenti-henti. Waktu yang jika dihitung-hitung terkiralah lamanya sudah sejak kepergian ayah Malin. Sehingga didapatilah diri ibunda Malin yang berusaha menempatkan diri pada posisi sabar dan pasrah yang tiada bertepi. Begitu lemah hati, begitu rapuh hidup, begitu tak terduga apa-apa yang terjadi di bumi ini. Ayah Malin tak pernah kembali. Hilang di telan birunya laut yang dari jauh terlihat sangat indah itu. Dan itu lihatlah, hampir saban sore di saat matahari ingin bersembunyi akibat malu sama malam yang ingin datang, ibunda Malin hanya menatap nanar ke arah dermaga, ke arah laut yang biru tertindih warna kekuning-emasan matahari yang sedang malu-malu itu. Meski telah bertahun-tahun suaminya tak kembali namun ia masih saja berharap rindu berbentuk doa kepada Rabb-nya. Rasanya pedih sekali, namun ia berusaha agarlah tegar bahwa percaya ada hikmah dibalik takdir yang Allah beri kepadanya. Oh.

Ibunda Malin-lah yang itu, lihatlah, menggantikan posisi ayah Malin. Maksud saya bukan ibunya Malin menjadi lelaki seperti ayah Malin, tetapi maknanya yaitu ia menggantikan suaminya dalam mencari nafkah. Ibunya berbanting tulang memeras keringat. Malam dan pagi hari ia tetap mendampingi Malin belajar dan juga menyemangati Malin agar rajin-rajin. Ia saban hari menyemangati Malin meski ia sendiri tak bersemangat lagi. Sebelum tidur pun ia sempatkan berbagi cerita dengan Malin dan mengecup kening Malin yang hobi ngompol itu. Meski tanpa ayah ia berharap Malin terpenuhi haknya akan agama, pendidikan, kasih sayang dan ekonominya. Oh ibunda Malin memang tak sembarang orang.

Namun lagi-lagi begitulah bumi ini Allah bikin, ia terus berputar tak henti-henti apalagi capek mengeluh. Sehingga apa? Sehingga waktu juga terus berubah dan tak berhenti-henti. Waktu yang jika mau dihitung-hitung maka terkiralah lama sekali, sehingga Malin telah menjadi baliq dan mulai memahami mengapa kerut di wajah ibunya semakin banyak. Mengapa telapak tangan ibundanya mengeras seolah bagai telapak tangan nelayan penarik kapal. Sehingga ia mulai mendapat titik terang mengapa lingkaran di sekitar bola mata ibundanya mulai mencekung dan hitam. Sehingga ia berusaha mencoba membuka memori otaknya untuk mencari kapankah terakhir kali ibunya tertawa bahagia, dan ia tak menemukan data tentang kapan ia melihat ibunya tertawa bahagia sejak kepergian ayahnya yang sangat dahulu itu. Sehingga ia sadarlah sudah bahwa air matanya adalah air yang saat ini tiada ia bisa bendung-bendung setelah shalat dhuhanya yang sendiri. Bahwa ia kini tergolonglah kedalam golongan yang merasa begitu sayang dan iba pada ibunya itu.

Maka Malin adalah dia yang memutuskan akan merantau katanya. Ia tidak mau disini terus membebani ibundanya terus. Ia akan berlayar seolah-olah seperti pelaut, padahal bukan. Ia mau mencoba menjemput rejeki di bagian bumi Allah yang lain.

Jelas-lah sekali ibundanya tidak setuju mengingat kepergian kekasihnya dahulu yang tiada kembali. Namun Malin membicarakannya dengan lembut, perlahan dan baik-baik kepada ibunya itu, yang sedang lagi-lagi melihat laut dari sudut jendela rumah mereka, seolah ada yang sedang ia ingat. Ia meyakinkan ibundanya bahwa Insya Allah ia akan kembali.

Namun begitulah perangai seorang ibu asal kau tahu. Ia selalu merasa bahwa tak apa ia yang bersedih asalkan anaknya yang berbahagia dengan pilihan hidupnya. Terkadang ia melarang dan tak suka bukan karena kiranya benci, namun justru ia-lah yang paling merasakan kekuatiran yang besar akan apa yang terjadi pada anaknya. Ibundanya akhirnya dengan rela mengijinkan Malin merantau untuk melanjutkan hidup. Ia iringi kepergian Malin dengan doa yang begitu baik kepada Allah penguasa semesta ini. Sungguh ia sadar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa, sungguh Allah-lah pengatur seluruh kehidupan, tak ada yang lain.

------------------------------------------------

Malin Kundang ikut dan menumpang pada kapal para saudagar-saudagar dari berbagai negeri di sepanjang pulau sumatera. Dan juga ia banyak bertanya ini itu tentang suatu negeri, tentang ilmu dagang dan juga tentang ilmu pelayaran.

Saya singkat cerita supaya jangan terlalu panjang yang membuat saya capek ngetik. Sehingga sampai-lah Malin di suatu negeri yang bernama Verona, yang entah mengapa berada di Negara Italia. Salah satu kota yang indah dan sibuk tentunya. Disinilah Malin memulai usaha dan kariernya. Mulai dari menjadi buruh, pegawai restoran, kerja di salon dan hingga akhirnya ia bisa membuka warung kecil-kecilan yang menyediakan makanan khas masakan Padang. Malin memberi nama warung padangnya dengan nama “JASA IBUNDO”. Modal warung yang sederhana itu dia peroleh dari hasil bayaran pekerjaannya selama ini yang ia tabung. Disana ia menabung di bank-bank yang berbasis syariah, mengingat ia begitu menghindari bank konvensional yang menawarkan sistem transaksi ribawi. Malin memang berusaha sekuat yang ia mampu untuk menghindari bank-bank yang berbasis riba agar harta yang ia peroleh tetap berkah.

Setiap malam dan setelah shalat shubuh di mesjid Malin rajin menambah ilmu agamanya dengan mengikuti halaqah ilmu di mesjid-mesjid di kota Verona. Dia sudah membuat jadwal untuk setiap kajian yang ia ikuti, mulai dari kajian-kajian fiqih, hadits, tafsir atau shirah Nabawiyah. Ia sangat bersemangat dan berusaha keras.

Ia begitu antusias belajar dan bertanya tentang sesuatu yang ia tak pahami. Sehingga diam-diam rupanya dibelakang sana, seorang perempuan berjilbab mulai memperhatikannya. Muslimah ini mulai mengenal Malin karena sering melihat Malin hadir di kajian-kajian sejenis ini. Muslimah ini bernama Juliet dari keluarga baik-baik dan terkenal di Verona bermarga Capulet.

Juliet gadis yang baik serta berwawasan luas. Ia sebenarnya sedang dikejar-kejar oleh bujang yang menurutnya tak tahu adab kepada permpuan. Bujang tak tahu diri itu bernama Romeo dari keluarga yang juga terhormat di Verona, keluarga Montague. Bahkan Romeo ini sering menyusup ke rumahnya dan naik ke jendaela kamar Juliet. Jelas Juliet marah dan sering menyiram Romeo pake bensin. Juliet tak habis pikir mengapa Romeo sebegitu tak sopannya padahal dia berasal dari keluarga terhormat, jika mau silaturrahim mengapa harus nyusup-nyusup melalui jendela kayak maling ayam. Tak bisakah ia bertamu baik-baik melalui pintu depan dan mengucapkan salam kepada keluarganya.

Romeo pernah melamar Juliet, namun Juliet menolaknya setelah berbagai pertimbangan dan shalat isthikarah. Menurut informan Juliet yang terpercaya, yang juga merupakan sepupu Juliet yang bernama Tybalt, bahwa Romeo adalah orang yang tidak menjaga shalatnya dan juga rada-rada playboy. Tybalt ini cukup mengenal Romeo karena merupakan teman se-organisasi Pemuda di Verona.

Namun Romeo tidak menerima, karena ia merasa harga dirinya yang entah ganteng, terhormat dan kaya-raya terinjak-injak. Sehingga ia melamar lagi, namun Juliet tetap menolak. Tak terima lagi, ia melamar Juliet lagi, dan tetap di tolak. Masih tak terima, Romeo melamar lagi, dan tetap saja di tolak. Berulang-ulang Romeo melamar, dan berulang-ulang pula ia ditolak. Romeo stress dan nggak habis pikir, ia pun membotaki rambutnya dan mengasingkan diri ke wilayah pegunungan di Thailand, bertapa. Sejak saat itu kabar Romeo tak lagi terdengar di Verona. Keluarga besar Montague juga tak merasa kehilangan, mereka membiarkan kepergian Romeo ke pedalaman Thailand tanpa berat hati.

Nah, kehadiran Malin sebenarnya momen yang sangat tepat karena pada saat itu Juliet memang sudah berniat untuk mencari pendamping hidup. Makanya ia tertarik setelah beberapa kali melihat Malin hadir di pengajian dan berdiskusi bersama ustad-ustad disana. Juliet tidak mempermasalahkan ras Malin yang berbeda. Malin berasal dari salahsatu bangsa di benua Asia dan ia jelas berbangsa Eropa. Namun hal ini tak menjadi masalah baginya, ia pikir agama harus menjadi alasan yang paling baik untuk memutuskan siapa pendampingnya.

Saya singkat lagi ceritanya supaya jangan terlalu panjang yang membuat saya capek. Entah bagaimana caranya Malinpun berta’aruf dengan Juliet. Juliet didampingi Ayahnya, Capulet, dan Malin di damping oleh salahsatu ustad yang ia kenal di Verona. Juliet juga sudah mendapatkan info dari Tybalt sepupunya bahwa Malin adalah seorang pemilik warung makan khas masakan Padang yang shalat berjamaahnya terjaga dan baik budinya. Bacaan Qu’annya juga bagus kata Tybalt, namun jika tidur si-Malin ini masih suka ngorok dan mengigau. Oke, Juliet untuk sementara sudah oke.

Saat proses ta’aruf, meski malu-malu, mereka saling bertukar pendapat tentang visi-misi yang akan dibangun jika nanti jadi berkeluarga. Malin yang awalnya minder karena mengetahui kondisi diri juga terang-terangan menjelaskan kondisi ekonominya dan ibundanya yang jauh di kampong sana. Ia tak mau nanti jika Juliet merasa ia bohongi sehingga membuat luka hati pada Juliet. Saat ini jujur adalah perihal yang terbaik. Alhamdulillah, Juliet tak mempersoalkan hal tersebut termasuk ayahnya, Capulet. Dan lihatlah itu Malin, yang menjadi begitu bahagia hatinya.

Namun lagi-lagi begitulah bumi ini Allah bikin, ia terus berputar tak henti-henti apalagi sampai jenuh dan mengeluh. Sehingga apa? Sehingga waktu juga terus berubah dan tak berhenti-henti seperti siang dan malam yang terus berganti-ganti. Dalam waktu yang tak lama Malin-pun menikahi Juliet di Verona. Malin mengirimkan kabar perihal pernikahan ini kepada ibundanya yang jauh disana. Karena menurut syariat bahwa sah nikah meski pihak lelaki tidak dihadiri oleh walinya, karena syarat wali itu sendiri berada di pihak perempuan maka pernikahan segera dilanjutkan dengan acara walimahan yang sederhana. Malin dan Juliet pun sah menjadi suami istri, mereka memulai perkara yang baik dengan hal-hal yang baik, sehingga semoga mereka mendapakan kebaikan dari pernikahannya. Di sisi bumi yang lain pada saat yang sama Romeo yang botak sedang berebut makanan dengan monyet karena kelaparan. Dan dia dikeroyok oleh monyet hingga menyerah. Pertapaannya terganggu oleh para monyet yang lapar.

Dengan Juliet kini disampingnya Malin semakin gigihlah dalam berkeja seolah-olah ia sedang mencari perhatian Juliet. Malin juga tambah rajin menuntut ilmu. Hingga beberapa tahun kemudian warung Padang Malin semakin membaik dan ia-pun mulai membuka beberapa cabang warung dan rumah makan diberbagai sudut kota Verona. Bukan sembarang, kini Ia pun mampu membeli kapal dan menggaji hampir 40-an awak kapal di dalamnya. Namun yang perlu menjadi cacatan bahwa Malin dan Juliet tetap hidup dalam kesederhanaan, tak berlebihan pamer kekayaan ini itu. Malah, Malin dan Juliet lebih sering menggunakan sepeda berdua kemana-kemana.

Setelah merasa cukup tinggal di Verona, dan biar kisah ini cepat habis maka Malin memutuskan untuk kembali ke pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat. Saat itu ketahuilah oleh kalian bahwa Malin dan Juliet telah dikaruniai seorang anak perempuan comel yang telah berumur 3 tahun yang diberi nama Veronawati Kundang.

Dan setelah persiapan sekitar 1 minggu maka beramgkatlah Malin dan Juliet Kundang beserta seluruh kru kapal bertolak menuju Pantai air manis, Sumatera Barat. Suasana haru dan berlinang airmata menyelimuti perpisahan mereka dengan keluarga dan handai taulan di Verona, lebih khususnya kepada Capulet ayah mertuanya dan keluarga besar Capulet yang lain. Jika saja kalian hadir pada saat itu, maka pasti kalian tidak bisa menahan airmata juga.

Sekitar 2 bulan lebih berlayar mengarungi laut yang memang luas, maka tiba-lah ia di dermaga Pantai Air Manis, Padang. Tak banyak berubah. Malin merangkul istrinya seolah-olah sedang berakting romantis, padahal tidak. Malin tersenyum yang ecek-eceknya manis sekali. Veronawati Kundang masih tertidur diantara koper-koper barang, tergeletak mirip baju kotor, karena ia kecapekan bermain, mabuk laut dan tertawa-tawa dengan kru kapal.

Ketika kapal tepat berlabuh, Malin, langsung arahkan pandangannya dengan tajam seolah setajam pisau ke arah dimana sebuah rumah kumuh yang disitulah dulu ia diajarkan shalat pertama kali, diberitahukan ayat-ayat Qur’an pertama sekali. Di tempat dimana ia merajut cita-cita selangkah-demi selangkah. Tempat dimana ibunda tercintanya mengecupkan keningnya ketika hendak tidur. Saat itu lututnya gemetar hebat. Rindu itu sudah tak tertahan. Kuberitahukan kalian, bahwa Malin sudah tak menahan airmatanya.

Dan Malin bergegas menemui perempuan yang ternyat sudah sangat renta itu. Awalnya ibunya yang sudah renta itu bingung melihat ada pemuda tegap datang dan berdiri di depannya. Ia pikir ini salah satu penumpang kapal yang baru berlabuh itu dan ingin menanyakan apakah ada kabar tentang anaknya Malin Kundang. Pemuda yang di depannya tak lain dan tak bukan itu adalah Malin Kundang yang ia mati-matian sedang menahan tangis, tak tahulah lagi bagaimana bentuk airmatanya, demi ia memandang ibundanya yang telah bungkuk renta itu.

Ibunda…i-ini Malin…” ujar Malin saat itu sebagai kalimat pertama dari awal perjumpaan mereka yang telah lama sekali berpisah. Ah tahulah kalian bagaimana perasaan rindu sekali itu.

Ibunda Malin, ia yang saat itu tak bisa lagi menahan perasaan harunya demi mendengar suara anaknya itu. Sudah lama sekali saat ia melihat Malin pergi merantau dahulu yang sangat kala itu. Ia tergopoh payah memperbaiki selendang kusam robeknya. Ia ingin tampak baik di hadapan anaknya.

Malin pun tak menunggu saat itu, ia tergopoh setengah berlari mirip akting di telenovela dengan dada yang bergemuruh hebat menuju ibunya. Ia tersungkur bersimpuh memeluk lutut ibundanya. Ia adalah Malin yang menangis sejadi-jadinya akibat ia yang begitu rindu sekali.

Ah seandainya jika saja saya bisa menuliskan dengan baik bagaimana kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan Ibu Malin ketika mengusap wajah Malin dan memeluknya. Kamu lihatlah itu, ibunya Malin adalah ibu yang sangat berbahagia saat itu. Seandainya kamu juga ada di pantai Air Manis saat itu pasti kamu akan ikut seolah juga terharu. Begitulah.

Setelah itu Malin Kundang dan Juliet Kundang dan Veronawati Kundang tinggal dengan Ibunda Malin. Dan Malinpun mulai membantu perkembangan pantai Air Manis terutama pengembangan pariwisatanya. Sekian.

Rumah Juliet di Verona, Itali




(blm diedit)

affif herman, meulaboh, 21 april 2011

Selasa, 19 April 2011

HARI INI MILIK ANDA

Jika kamu berada di pagi hari, janganlah menunggu sore tiba. Hari inilah yang akan anda jalani, bukan hari kemarin yang telah belalu dengan segala kebaikan dan keburukannya, dan juga bukan esok hari yang belum tentu datang. Hari yang saat ini mataharinya menyinari anda, dan siangnya menyapa anda inilah hari anda.

Umur anda, mungkin tinggal hari ini. Maka, anggaplah masa hidup anda hanya hari ini, atau seakan-akan anda dilahirkan hari ini dan akan mati hari ini juga. Dengan begitu, hidup anda tak akan tercabik-cabik diantara gumpalan keresahan, kesedihan dan duka masa lalu dengan bayangan masa depan yang penuh ketidakpastian dan acapkali menakutkan.

Pada hari ini pula, sebaiknya Anda mencurahkan seluruh perhatian, kepedulian dan kerja kereas. Dan pada hari inilah, Anda harus bertekad mempersembahkan kualitas shalat yang paling khusyu, bacaan al-Qur’an yang sarat tadabbur, dzikir dengan sepenuh hati, keseimbangan dalam segala hal, keindahan dalam akhlaq, kerelaan dengan semua yang Alloh SWT berikan, perhatian terhadapa keadaan sekitar, perhatian terhadap kesehatan jiwa dan raga, serta perbuatan baik terhadap sesama.

Pada hari dimana Anda hidup saat inilah sebaiknya Anda membagi waktu dengan bijak. Jadikanlah setiap menitnya laksana ribuan tahun dan setiap detiknya laksana ratusan bulan. Tanamlah kebaikan sebanyak-banyaknya pada hari itu. Dan, persembahkanlah sesuat yang paling indah untuk hari itu. Ber-istigfar-lah atas semua dosa, ingatlah selalu kepada-Nya, bersiap-siaplah untuk sebuah perjalanan menuju alam keabadian, dan nikmatilah hari ini dengan segala kesenangan dan kebahagiaan! Terimalah rezeki,isteri,suami,anak-anak,tugas-tugas,rumah,ilmu dan jabatan Anda hari ini dengan penuh keridhaan.

{Maka berpegangteguhlah dengan apa yang aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang yang bersyukur}QS.Al-a’raf:144.

Hiduplah hari ini tanpa kesedihan, kegalauan, kemarahan, kedengkian dan kebencian.

Jangan lupa, hendaklah Anda goreskan pada dinding hati Anda satu kalimat (bila perlu Anda tulis pula di atas meja kerja Anda): “Harimu adalah hari ini”. Yakini, bila hari ini Anda dapat memakan nasi hangat yang harum baunya, maka apakah nasi basi yang telah anda makan kemarin atau nasi hangat esok hari (yang belum tentu ada) itu akan merugikan Anda?

Jika anda dapat minum air jernih dan segar hari ini, maka mengapa Anda harus bersedih atas air asin yang anda minum kemarin, atau mengkhawatirkan air hambar dan panas esok hari yang belum tentu terjadi?

Jika Anda percaya pada diri sendiri, dengan semangat dan tekad yang kuat anda, maka akan dapat menundukan diri untuk berpegan pada prinsip: Aku hanya akan hidup hari ini. Prinsip inilah yang akan menyibukan diri Anda setiap detik untuk selalu memperbaiki keadaan, mengembangkan semua potensi, dan mensucikan setiap amalan.

Dan itu, akan membuat Anda berkata dalam hati, “Hanya hari ini aku berkesempatan untuk mengatakan yang baik-baik saja. Tak berucap kotor dan jorok yang menjijikan, tidak akan pernah mencela,menghardik dan juga membicarakan kejelekan orang lain. Hanya hari ini aku berkesempatan menertibkan rumah dan kantor agar tidak semrawut dan berantakan. Dan karena hanya ini saja aku akan hidup, maka aku akan memperhatikan kebersihan tubuhku, kerapian penampilanku,kebaikan tutur kata dan tindak tandukku.”

Karena hanya akan hidup hari ini, maka aku akan beruasaha sekuat tenaga untuk taat kepada Rabb, mengerjakan shalat sesempurna mungkin, membekali diri dengan shalat-shalat sunah nafilah, berpegan teguh pada al-Qur’an, mengkaji dan mencatat segala yang bermanfaat.

Aku hanya akan hidup hari ini, karenanya aku akan menanam dalam hatiku semua nilai keutamaan dan mencabut darinya pohon-pohon kejahatan berikut ranting-rantingnya yang berduri, baik sifat takabur,ujub,riya, dan buruk sangka.

Hanya hari ini aku akan dapat menghirup udara kehidupan, maka aku akan berbuat baik kepada orang lain dan mengulurkan tangan kepada siapapun. Aku akan menjenguk mereka yang sakit, mengantarkan jenazah,menunjukan jalan yang benar bagi yang tersesat,memberi makan orang kelaparan, menolong orang yang sedang kesulitan, membantu orang yang dizalimi,meringankan penderitaan orang yang lemah, mengasihi mereka yang menderita, menghormati orang-orang alim, menyayang anak kecil, dan berbakti kepada orang tua.

Aku hanya akan hidup hari ini, maka aku akan mengucapkan,”Wahai masa lalu yang telah berlalu dan telah selesai,tenggelamlah seperti mataharimu.aku tak akan pernah menagisi kepergianmu, dan kamu tidak akan pernah melihatku termenung sedikit pun untuk mengingatmu. Kamu telah meninggalkan kami semua, pergi dan tak pernah kembali lagi.”

“Wahai masa depan, engkau masih dalam kegaiban. Maka,aku tidak akan pernah bermain dengan khayalan dan menjual diri hanya untuk sebuah dugaan. Aku pun tak bakal memburu sesuatu yang belum tentu ada, karena esok hari mungkin tak ada sesuatu. Esok hari adalah sesuatu yang belum diciptakan dan tidak ada satu pun darinya yang dapat disebutkan.”

“Hari ini milik Anda”, adalah ungkapan yang paing indah dalam “kamus kebahagiaan”. Kamus bagi bereka yang menginginkan kehidupan yang paling indah dan menyenangkan.

DR.Aid Abdullah Al-Qorni

Selasa, 12 April 2011

Ngaji dulu, baru Nyanyi

Seolah-olah kata pengantar dari saya...

Ini asli adalah tulisan istri. Iya, istri saya, karena nggak mngkin saya memasukkan tulisan istri orang lain kesini. Mengapa tulisan ini saya aplod kemari? Yah, karena ini tulisan istri saya makanya saya aplodkan kemari. Hehe. Sekaligus untuk menyenangkan hati juga. Sekedar untuk senang-senang saja. Yup…mari…mari..

---------------------------------------------------------------------------

Ngaji dulu, baru Nyanyi





Akan saya awali tulisan saya ini dengan sebuah pertanyaan, sudahkah anda menonton film sang pemimpi?

Bukan..bukan untuk promosi..saya sama sekali tidak berniat untuk itu…
Hanya saja, jika jawaban Anda belum, mohon maaf, jika boleh saya katakan, Anda mungkin agak ketinggalan deretan film-film top negeri ini. Juga sangat disayangkan Anda mungkin tidak dapat mengikuti alur tulisan ini..

Nah, ketika menonton film tersebut, ada sebuah dialog yang disampaikan bang Zaitun (harta karun pria melayu) yang cukup menggelitik saya.

Kata-kata fenomenal tersebut berbunyi: “Ngaji dulu, baru nyanyi…”
Terus terang saya tidak tahu pasti apa maksud sang sutradara memasukkan dialog tersebut.

Yang jelas, di kepala saya bermunculan beberapa hipotesa..

A :Abang kita itu bermaksud mengingatkan arai untuk mendahulukan urusan akhirat daripada dunia. Begitu banyak dari kita termasuk saya yang begitu disibukkan dengan dunia sehinggga melupakan akhirat. Padahal, akhirat adalah tempat kembali sedangkan dunia persinggahan semata. Ah betapa kita terpedaya…

B: Guru tersebut bermaksud mengingatkan sang murid, bahwa kesuksesan di dunia sangat tergantung pertolongan Yang Maha Kuasa..sehingga selain ikhtiar, sangatlah penting berdoa dan mendekatkan diri kepadaNya dalam bentuk ibadah2 kita.. sehingga dengan bantuanNya, suara cempreng Arai bisa berubah merdu mendayu demi memikat hati Zakiah Nurmala.

C: bang Zaitun, selaku lelaki melayu tulen sangat ingin para pemuda melayu menjadi anak-anak sholeh, anak yang taat agama.. Boleh saja kita memperkenalkan banyak pendidikan formal, musik, bahasa, olahraga, IT, dan hal lainnya untuk memperkaya wawasan dan mengasah bakat anak-anak kita . Namun alangkah lebih bijak, jika sedari kecil pendidikan agama ditanamkan kepada anak cucu kita, kepada para pemuda yang akan meneruskan tongkat estafet bangsa sehingga mereka tidak hanya punya otak yang encer, tapi juga punya hati.

D: A dan B benar

E: Semua benar

F: BSSD

Hehe..Hidup perfilman Indonesia..Saya tunggu film2 mantap berikutnya.



Munawwarah, Banda Aceh 2010

Senin, 11 April 2011

“Asal tulis, jangan sesekali percaya..”

Sedikit asbabun tidak penting lahirnya tulisan tidak penting ini. Cerita ini awalnya sangat serius, yang dalam rangka saya yang saat itu ingin ikut sebuah lomba menulis entah siapa yang membikin, saya lupa. Tukang bikin lomba yang lebih populer dengan panggilan panitia dan penyelenggara lomba menyediakan paragraf pembuka dan paragraf penutupnya (nanti paragraph pembuka dan penutup tulisan dibawah sudah saya Bold-kan). Jadi tugas tukang ikut lomba alias peserta lomba adalah melanjutkan ceritanya hingga nanti cocok dengan paragraf penutup yang telah disediakan panitia tadi. Oh asyiknya.

Namun begitulah saya saat itu, saya bikin diri saya sendiri sibuk dengan persiapan ini-itu dalam rangka penjemputan, pengesahan dan pelegalan untuk merubah status seorang muslimah merdeka menjadi istri yang merdeka. Sehingga apa? Sehingga saya menjadi hilang fokus untuk ikut lomba menulis itu. Nah, meski tak jadi ikut lomba itu dulu namun saya tak pantang menyerah, tak hilang semangat, yang akhirnya saya tetap menyelesaikan tulisan ini dengan sangat asal dan sangat bergaya.

Jika saja dewan juri lomba itu melihat tulisan saya yang hancur ini, insyaAllah, saya sangat yakin bahwa saya sangat tidak pantas untuk menang..hehehe. Tetapi biarlah, toh saya menulis bukan untuk menang ini-itu, bukan untuk apa-apa, namun karena senang-senang saja. Karena apa? Karena Buya Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern mengatakan ke saya, “senangkanlah hatimu..”. Sehingga apa, sehingga saya tak punya beban apapun dalam menulis, suka-suka saja, senang-senang saja, senyum-senyum saja…hehe. Ayo baca kita dibawah…

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“cerpem Asal nulis, jangan dipercaya”






Setting: Lugano - Swiss
Paragraf pembuka:

“Arrividerci, Fabrian.”

Aku melilitkan sehelai syal merah menutupi leher sesaat sebelum melangkah pergi meninggalkan Lugano Dante Hotel . Tak terasa seminggu telah berlalu sejak aku menapakkan kakiku di Zurich International Airport.

“Kau benar-benar akan pergi sekarang?”
Tanpa kuduga, Fabrian menatapku dalam dengan bola mata birunya. Mengapa pula bola matanya biru? Aku belum sempat menanyakannya, atau aku jujur saja, lebih tepatnya aku nggak peduli. Penting nggak sih? Huh.

“Iya dong Fab, aku mau segera ke kampus, jualan makanan ini, takut telat, kasihan mahasiswa Swiss International University (SIU) yang mau sarapan” kataku bikin alasan sambil membuang pandangan ke kiri kanan untuk mencegat taxi yang beruntung. Tatapan Fabrian yang tidak biasa tak terlalu kupedulikan. Melihat tingkahku, Fabrian pun sok-sok sibuk celingak-celinguk membuang-buang pandangan untuk membantu mencari taxi. Mungkin sok care padaku. Biasalah, laki-laki kalau ada maunya ya macam si bule kampung ini, cari perhatian.

Ah, akhirnya ada taxi yang beruntung mendapatkan aku sebagai penumpang. Kenapa beruntung? Yah karena aku ini jika turun dari taxi sering ngasih duit ke sopirnya sehingga si-sopir sering tersenyum senang meski aku tak senang, yah, mau gimana lagi…hehe.

Aku pun menuju kampus SIU yang tak terlalu jauh dari Lugano Dante Hotel di kota Lugano. Kalau sanggup kau berjalan kaki dari Hotel ke SIU ya meminum waktu sekitar 65 menit-an, kalo naik sepeda paling sekitar 37 menit juga sampai. Nah, berapakah waktu yang aku butuhkan sampai ke SIU jika naik taxi yang sopirnya dalam keadaan mabuk?? Hehe..

Oh iya, info sedikit-lah ya. Jujur, aku bukan tinggal di dalam kamar-kamar mewah Hotel Lugano tadi, aku sebenarnya cuma tinggal di lorong-lorong Hotel yang sudah kuanggap sebagai rumahku sendiri..hehe. Aku bikin pemberitahuan ini karena aku nggak mau ntar dikira penipu karena ngibulin kalian yang belum pernah ke Lugano. Yah, mau gimana lagi, biaya sewa kamar hotel atau apartemen disini mahal abis, sementara ini aku ya harus rela-relain menikmati lorongnya dulu. Tapi ntar kalau ada yang nanya alamat, yah, aku juga bisa jawab bahwa aku sedang tinggal di Lugano Dante Hotel yang terkenal itu…hehe. Asiik euyy, dikira seolah kaya.

Seminggu ini aku benar-benar sedikit pusing dan sibuk untuk mengurus ini-itu untuk keperluan perizinan ini-itu untuk membuka kantin yang menjual ini-itu menu khas Aceh di kampus SIU tadi. Rencananya aku mau menjual menu-menu seperti Gulai Asam-keu-eung, Bu Sie Itek, Gulai Kambing, Pliek-U, Mie Goreng Aceh, dan lain-lain. Termasuk juga macam-macam kue seperti Timphan, Pulut Bakar, Kue Lapeh, Boh Godok, dan lain-lainlah.

Nah, Fabrian yang di atas tadi itu-lah yang sering nolongin dan menjadi pemanduku di kota yang sangat asing bagiku ini. Kami bertemu secara kebetulan saja di dalam mimpi. Fabrian itu anak bule sejati. Ini bisa dibuktikan dari rambutnya yang pirang, kulit merah macam kerbau albino, badan tinggi jangkung dan sangat fasih berbicara bahasa Inggris, Jerman, Papua Nugini, Mexico, Yunani, Itali dan Tibet. Fabrian si bule pun ternyata cukup cakap berbicara dalam bahasa Indonesia, mirip burung Beo yang sudah diajarin ngomong selama 17 tahun gitu, sehingga ini berakibat aku dengan mudah bisa berkomunikasi dan menjadi lebih sedikit akrab dengannya dibandingkan dengan bule lain di Lugano.

Pernah suatu waktu kami ngopi sambil mencicipi telur ayam kampung setengah matang di kafe kecil di pinggir kota Lugano aku iseng menanyakan dan tidak kagum mengapa ia bisa menguasai banyak bahasa. Tapi itu malah membuat suasana santai menjadi sedikit tidak nyaman dan membosankan. Ternyata hal itu merupakan cerita tentang perjalanan hidupnya yang panjang dan tidak berliku-liku. Sebelum ia bercerita, ia menarik nafas pendek-pendek mirip akting ibu-ibu ingin melahirkan di dalam sinetron-sinetron. Aku tak tahu atau lebih tepatnya tak mau tahu mengapa ia melakukan tindakan bego tersebut. Senewenkah bule ini? Entahlah, buat apa kupikirin pikirku, ini-kan Negara demokrasi-liberal jadi dia bisa bebas mau menjadi senewen atau gila.

Sambil menatap langit ia bercerita panjang-panjang namun tidak lebar sejarah tidak penting mengapa ia bisa begitu banyak menguasai banyak bahasa tadi. Aku malah menjadi sangat menyesal diri telah menanyakan hal tersebut padanya. Ah dasar Fabrian, bule yang sok paten.

Ternyata oh ternyata, dulu ketika entah ditahun berapa Fabrian dititip oleh orang tuanya ke panti anak-anak terlantar di kota Manchester, Inggris, karena orangtuanya sibuk mengurus bisnis ini-itu. Waktu itu ia masih berumur sekitar 1,75 tahunan dan ia sedang tidak lucu-lucunya karena ia memang bukan anak yang lucu, sehingga orang tuanya tanpa berat hati menitipkannya ke panti. Oh Fabrian oh, malang nian kamu.

Perihal asal muasal dirinya ini sempat diceritakan penjaga panti itu padanya ketika ia berkunjung kesana setelah dewasa ini. Kata penjaga panti lagi, oleh karena saat itu ia sedang tidak lucu-lucunya dan semakin tidak lucu hingga berumur 6, 31 tahun maka dengan senang hati penjaga panti di Manchester itu mengirimnya menggunakan bungkusan kotak mie instan bekas ke Panti Asuhan anak-anak terlantar di Yunani. Ia menetap di Yunani kurang lebih selama 2 tahun dan bekerja sebagai tukang kebun di University of The Aegean. Karena beraktiftas di kampus dan bertemu dengan banyak intelektual kampus membuat Fabrian menjadi anak yang tidak intelek dan tidak bertambah cerdas, karena ia asyik sok sibuk di kebun saja, malas baca ini-itu di perpustakaan kampus, apalagi ditambah dengan malas bertanya dan berdiskusi. Hufff, dasar Fabrian oh, semakin malang saja kamu itu.

Melihat perkembangan Fabrian yang sangat tidak berarti maka pihak panti yang menjadi wali Fabrian membuang atau lebih sopannya mentransfer Fabrian ke pusat rehabilitasi gangguan jiwa dan Narkoba di salah satu kota paling tidak aman di dunia, Ciudad Juares, Mexico. Disanalah Fabrian melihat begitu seringnya terjadi tindak kriminal khususnya masalah perang antar kartel narkoba dengan matanya sendiri. Bahkan ia pernah terperangkap diantara dua kubu mafia narkoba yang sedang berperang. Itupun karena ulahnya sendiri, karena nggak sering membaca ia tidak tahu membedakan yang mana daun ganja dan yang mana sayur bayam. Dengan tanpa merasa bersalah ia mengambil daun ganja yang sedang di-packing untuk diekspor ke Amerika oleh para mafia disana.

Awalnya para mafia itu bingung kenapa anak ini mengambil 10 ikat ganja yang udah di packing dan berharga ribuan Dollar tersebut. Bahkan lebih membingungkan lagi ketika si anak cuma bilang, “Bang, minta sayur ini sepuluh ikat ya, ini sayur bayam kan?? Udah lama nggak makan sayur bang, meski sayur ini udah kering tapi nggak apa-apa-lah. Abang kan punya banyak itu di dalam gudang dan di dalam truk gede tu…oke bang ya…dadaaahhh”. Dan Fabrianpun berlari pulang keseberang jalan yang lain yang ternyata adalah tempat kartel mafia narkoba kelompok yang berbeda sehingga mafia pertama tadi menyangka bahwa Fabian adalah mata-mata dari mafia yang lain itu. Dan…. Ah, aku tak sampai hati menceritakan bagaimana hancurnya kota Ciudad Juares akibat perang salah paham gara-gara dengkul Fabrian saat itu. Huff, aku berlindung dari Fabrian.

Fabrian terus bercerita panjang-panjang dan tidak lebar kisahnya yang terus-terusan dibuang dari satu negara ke Negara lain dan kupikir tidak penting bagiku itu. Fabrian terus bercerita dan tidak peduli bahwa aku sudah menambah 3 gelas kopi dan menguap-nguap tenggelam oleh bosan yang mendalam. Halah Fabrian oh Fabrian,..*heell-looww!.

Tapi syukurlah aku tertolong, pemilik warkop meminta ijin mau menutup warkopnya agak dini karena ada orang kampungnya wafat karena tenggelam di parit di sebelah kota Lugano, ia mau menjenguk dan ikut ke acara pemakamannya. Huff, sungguh aku benar-benar tertolong saat itu. Dan Fabrianpun mau tidak mau meski sangat tidak mau untuk menghentikan kisah hidupnya yang entahlah itu. Namun begitulah kira-kira bayangan tentang Fabrian si bule kampung teman pertamaku di Lugano ini.

-------------------------------

Namun lihatlah, kini sudah sebulan di Lugano aku mulai mendapat masalah. Pertama, dari pihak hotel yang mulai muak dan mual denganku karena akibat tidur di lorong-lorong hotel menyebabkan karpet mereka kotor oleh liur dan keringatku. Dan juga mereka komplain karena aku kalau menggunakan kamar mandi agak lama sehingga membuat penyewa kamar asli ngantri untuk mandi.

Masalah kedua, aku sudah mulai bermasalah dengan pihak Administrasi Kependudukan Lugano karena nggak membuat KTP dan Kartu Keluarga setempat. Bahkan mereka sedikit mencurigai bahwa aku terkait dengan Organisasi Pendangkalan Budaya Lokal(OPBL) yang sedang mereka resah-risaukan. Mereka sangat kuatir makanan khas di Lugano tersingkirkan dengan masuknya makanan khas Aceh yang sedang gencar-gencarnya kupromosikan di Kampus SIU, tempat berkumpulnya orang-orang intelek di Lugano. Jelas SIU merupakan tempat yang strategis sebagai tempat awal untuk membaur dan mengembangkan budaya non-lokal, begitu pikir mereka padaku. Dan ini membuat Asosiasi Penjaga Kelestarian Kebudayaan Asli Lugano (APK2AL) yang anggotanya terdiri dari ibu-ibu PKK setempat mulai mencari-cari kelemahanku dan menyebarkan tuduhan macam-macam yang sangat manusiawi padaku. Ini mirip dengan gaya nenek monyang se-rumpun mereka ketika menjajah Indonesia dulu, yang menggunakan segala cara untuk menang.

Masalah ketiga yang lebih parah adalah Fabrian. Iya, bule kampung itu. Beberapa puluh menit yang lalu ia melamarku dan aku mengutuk dengan keras perbuatannya itu sehingga terjadi adu mulut yang nggak penting, kami jadi saling emosi ujung-ujungnya. Huff..

“Aku ingin menikahimu, pasti kamu kaget dan menerimaku…” katanya dengan pede saat itu, padahal waktu itu aku sedang menyuci di pinggiran sungai ditengah kota Lugano yang romantis itu.

“Hah, apa-apaan ini?! jangan main-main ah, malas”

“Kalau begitu tidak main-main, jangan malas, ayo kita menikah sekarang..”

“Apaan sih Fab, aku ini kan nggak menaruh perasaan apa-apa sama kamu, kita ini sekedar teman saja.” sambil mengucek baju cucian dengan lebih kencang dan keras, aku mulai jengkel.

“Tapi aku menaruh perasaan, dan kita bukan sekedar teman saja”

“Kita ini nggak cocok Fab..”

“Mari kita cocok kan”

“Aku ini beda dengan kamu, kamu bule”

“Baiklah aku akan operasi plastik kayak maikel jeksen untuk menjadi orang Indonesia”

“Aku ini makan suka yang pedas dan kamu malah suka makan yang bau-bau, itu aja beda kan?”

“Baiklah aku akan juga makan yang pedas-pedas dan bau”

“Aku ini benci bule”

“Akan kubunuh semua bule…eh??! eh, i-iya, akan kubunuh semua bule selain aku..”

“Aku ini ada penyakit yang kalo kumat suka makan kuping kelinci”

“Iya sama, aku juga suka kuping meski kasihan si kelinci kehilangan kuping”

“Aku tak mencintaimu Fab..”

“Maka cintailah aku”

“Aku benci kamu”

“Benci itu jangan, tak baik, bencilah koruptor”

“Kamu bau busuk jarang mandi”

“Iya, kran air di rumah sering rusak”

“Ah kau membuatku sakit kepala, Fab!!”

“Oleskan balsem panas”

“Arrrrrgghh..plis deh Fab!!!” aku tak tahan, berang, sambil berdiri dan menghempaskan cucian dengan keras ke lantai. Jengkel sudah berada pada titik puncak. Aku berdiri di hadapannya.

“Gini aja Fab, aku ini sedang nyuci!! Pake otak kalo mau ngelamar anak orang!! Apa nggak pernah diajarin, heh?! Kau cuma nurutin moncong monyongmu saja!!” aku mulai kehabisan stok sabar dan lupa dengan kata-kata sopan.

“Emang ngelamar anak orang gimana?? Tahun lalu aku melamar anak orang di acara penguburan orang tuanya, eh juga kena dampraat, jadi yang benar itu bagaimana??”

“Apa ada otak kau, Faab??!!!

“Ada”

“Aaarggghhh…!!” aku betul-betul mendidih, super muntab! Kutendang-tendang cucian ke sungai dengan keras saking dongkolnya. Meski setelah itu aku segera lompat terjun ke dalam sungai lagi untuk mengutip baju itu cepat-cepat biar nggak hanyut. Dan Fabrian cuma melihat santai aku yang berenang kesana-kemari mengutip pakaian tadi. Aarrgghh Fabrian oh Fabrian oh. Segera kutinggalkan Fabrian disitu sendiri, dipinggir sungai itu, yang dia-nya sedang menunaikan hajatnya di dalam jamban dengan tentram tanpa rasa bersalah. Ingin sekali kusiram jamban yang sedang dihuni Fabrian itu dengan bensin dan segera membakarnya berserta isi didalamnya. Tapi untunglah masih ada setetes sabar didalam sanubari yang terdalamku oh.

Dan kini di Hotel, aku segera mengambil keputusan untuk kembali ke kampung halaman. Aku semakin tak tahan dengan situasi yang membuat aku stres dan tertekan ini. Aku bereskan semua barang-barangku ke dalam koper, termasuk cucian yang masih basah tadi. Aku langsung menuju bandara. Selagi menunggu taxi tiba kuambil kartu pos bekas di Hotel dan kutuliskan sesuatu setiba di bandara Zurich International Airport.

Dear Fabrian,
Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Ingatkan aku untuk kembali ke Lugano suatu hari nanti.

Kupandangi kartu pos berisi tulisan tanganku itu dengan dada bergemuruh sebelum menyelipkannya ke dalam kotak surat. Segera sesudahnya, aku gegas melangkah masuk ke ruang tunggu Zurich International Airport. Dalam waktu setengah jam ke depan, pesawat yang kutumpangi akan mengudara menuju tanah airku, meninggalkan Fabrian dan sepenggal harapan yang dititipkannya padaku.



beberapa poto sudut kota Lugano....=))









Affif Herman, Gp Pineung Maret 2011

Minggu, 10 April 2011

Tips Menjadi Lelaki Tidak Bahagia Super...

Menarik saya melihat banyak hal yang menarik sewaktu itu saya bikin diri jalan-jalan ke toko buku sambil saya bikin istri juga ikut. Ada hal yang membikin saya tersenyum seperti biasanya, manis. Hehe. Itulah itu karena mata anugerah Allah saya ini melihat begitu banyak judul buku, judul buku yang membuat saya senyum-senyum berpikir-pikir macam-macam seolah-olah saya telah menjadi seorang pemikir yang suka berpikir, padahal tidak. Yaitu yang bikin saya senyum itu bahwa banyak sekali buku yang judulnya menawarkan “kebahagiaan” kepada para pembacanya. Judulnya-pun beragam, ada yang sederhana, yang norak, yang bertabur-tabur, yang super, dan lain-lain, macam pelangi begitulah jadinya. Oh bagusnya.

Menarik juga lagi saya ketika mereka bikin menawarkan beragam cara dengan judul yang lucu dan unik untuk mendapatkan ‘kebahagiaan’ itu. Banyak judul ini-itu misalnya yang mirip begini; “Cara Super untuk Bahagia”, “Bahagia dalam 1 jam”, “Menjadi suami bahagia”, “Bahagia dengan gaji kecil”, “Bahagia Dashyat dimasa Muda”, “Jalan Mudah menuju Kebahagian dan sukses sebagai pengusaha” dan lain-lain yang banyak sekali itu. Semuanya menjual ‘Kebahagiaan’. Sehingga apa? Sehingga saya tersenyum bahagia begini “hehehe”. Oh iya, tak lupa mereka itu mendesain sampul alias cover buku yang sangat memikat hingga ke sanubari hati para pembacanya. Oh bagusnya.

Sehingga oleh karena itu saya coba-coba diri bikin coretan tandingan yang jauh tiada bermutu ini. Hehe. Coretan yang semoga saja tidak bermanfaat bagi yang tidak mau ambil manfaat. Sengaja ditulis dengan kata-kata motivasi yang tidak super untuk kalian yang seolah-olah ingin menjadi pribadi super yang entahlah bagaimana itu bentuknya. Yang membuat kalian menjadi jarang untuk tersenyum bercengkrama bersama keluarga dirumah oleh karena sibuk mencari ‘sesuatu’ biar nanti dinilai super oleh umat manusia di dunia. Mengejar ‘sesuatu’ sehingga ecek-eceknya dipandang sebagai orang terpandang karena pribadi yang sudah menjadi super. Oh seolah-olah menjadi ‘pribadi super’ yang ‘wah’ itu lebih penting daripada memijit punggung dan kaki ibunda di rumah. Ow ow ow sesungguhnya kasihan mereka yang tertipu dengan orang yang rapi ber-jas menawan dengan omongan segede langit tapi tanpa mengetahui kualitas akhlaknya pada Tuhan, pada ibundanya dan manusia. Oh mudah-mudahan saya masih selalu tidak mau patuh pada orang yang saya ketahui shalat shubuh berjamaahnya tidak jelas, apalagi sampai kiranya saya mau mempercayakan atau mendengar takzim tentang cita-cita hidup pada mereka-mereka itu. Oh entahlah, hanya Allah yang Maha Mengetahui segala urusan.

Oh sepertinya kita sudah saya bikin tersesat dari topik karena bicara ini itu, tapi biar-lah, toh saya yang tukang coret sehingga kalian janganlah banyak protes, diam sajalah. Hehe.

Maka marilah segera kita saksikan, inilah motivasi pribadi super Tips-Tips Untuk Menjadi Lelaki Tidak Bahagia dimanapun dan kapanpun Anda berada. Cekidot...Cekjidat…cek-ini-itu… *hei..hei..apa-apaan ini, heh?! Hehe.





href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-9LnHXuc343gS_RnmNsgL9pzuSdRaVZQ4vxy5dq1EG-uwal6JZbA1n1Ul3_fx58cydP8gi7pOiexyUo7vpsvY87RYYBfgwBXmmZ6SJXKOwB6luYWpmOX8ZgT9h0bu09YjAWK5eil5HTY4/s1600/1.jpg">



Beberapa poin yang harus Anda pahami jika ingin kebahagiaan tidak datang adalah sebagai berikut, antara lain, yaitu:

1. Jadikanlah diri Anda orang yang paling tidak bersyukur. Lihatlah kelebihan-kelebihan orang lain terutama pada hal-hal yang tidak begitu penting. Perhatikan mengapa dia ada mobil dan Anda tidak, perhatikan pakaiannya, kagumilah rumahnya dan cacilah rumah Anda sendiri. Mulailah perbanyak mengeluh dan mengeluh, sehingga Anda mengeluh pada setiap waktu, setiap tempat dan pada semua orang. Hidupkanlah karakter mengeluh dalam diri Anda sekuat mungkin. Latihlah dengan mengeluh pada hal-hal kecil terlebih dahulu dan biasakanlah dalam kehidupan Anda sehari-hari. Insya Allah Anda akan lupa bersyukur dengan apa yang ada, sehingga rasa tidak bahagiapun datang dengan menawan. Wow, inilah tips pertama yang amazing sekali dari saya, bukan?.

2. Tumbuhkan dan peliharalah iri-dengki kepada saudara, tetangga dan teman. Dengkilah melihat kebahagiaan saudara se-iman, kawan satu kost atau kawan se-kampus atau yang lainnya. Usahakanlah agar hati melahirkan rasa benci dan muak ketika melihat saudara atau kawan sendiri mendapatkan kebahagiaan atau kesenangan.

Bersikaplah ketus, sensitif dan acuh tak acuhlah pada mereka yang mungkin diberi sedikit rejeki oleh Allah, usahakanlah agar Anda bisa benci hingga ke ubun-ubun kepala. Ingat-ingat dan hafal-lah pepatah, “rumput tetangga selalu lebih hijau”. Ulang-ulang pepatah itu minimal 100 kali sehari dan rasakanlah sensasi iri-dengki yang masuk ke setiap aliran pembulu darah dan membuat Anda tidak bisa tidur tidak bahagia karena terus-menerus memikirkan nikmat yang ada pada orang lain.

Note: lebih bagus lagi jika anda sampai memutuskan ukhuwah, sehingga insya Allah Anda akan tidak bahagia total…

3. Jangan sekali-kali peduli apalagi sampai menjaga kesehatan diri Anda sendiri. Perbanyak konsumsi obat-obat berbahaya seperti narkoba atau sejenisnya selagi umur masih muda, termasuk yang paling sederhana mohon perbanyaklah merokok, terutama pake ganja, dimana saja dan kapan saja. Lakukanlah perbuatan itu terus menerus hingga tubuh Anda hancur, kurus, mata ceking, pikiran semakin uringan, hingga paru-paru anda bocor disana-sini, lakukanlah dengan super dan bersemangat saudaraku, bersemangatlah!.

Tips ini termasuk sangat manjur dan telah digunakan ratusan tahun oleh para pendahulu pencari ketidakbahagiaan di dunia dan akhirat. Insya Allah ketika tubuh sudah terbaring mau KO di rumah sakit maka Anda akan merasakan ketidakbahagiaan serta penyesalan yang luar biasa super. Bersemangatlah mencoba poin ke-tiga ini..!!

4. Hindari bersedekah dan saling berbagi, menjadi pelit is the best way. Bersedekah dan berbagi hanya akan mengurangi harta alias pundi-pundi rupiah Anda, maka perbuatan ini sangat harus dihindari. Biarlah orang lain yang menyisakan hartanya untuk orang lain yang membutuhkan, sedangkan kamu cukup jadi penonton saja. Kalau perlu kamu juga turut aktif mengambil bahkan meminta-minta harta yang disedekahkan oleh orang lain itu. Niscaya jika poin keempat ini Anda kerjakan dengan teratur maka hati Anda dijamin akan semakin tak terpuaskan oleh harta dan Anda akan menjadi semakin tidak tentram dalam hidup, jelas ini akan memuluskan perjalanan hidup Anda ke jalan ketidakbahagiaan. Ingat pesan Nabi bahwa manusia ini jika diberi segunung emas dia tetap tidak akan puas hingga mulutnya di sumpal dengan tanah. Selamat berusaha tidak bahagia rekan-rekan super sekalian!!

5. Ukurlah segala sesuatu itu dengan materi. Kesuksesan adalah uang banyak dan kebahagiaan adalah mobil ini-itu atau rumah sebesar ini-itu. InsyaAllah dengan begitu akan timbul ketidakpuasan dalam diri atas kondisi diri sendiri. Selanjutnya hal ini akan semakin menguatkan angan-angan Anda dan melupakan Anda pada syukur dengan apa yang ada pada Anda saat ini. Angan-angan ini akan membuat anda terus-terus menerus berpikir benda ini-itu, terus berpikir keras dengan apa-apa yang belum ada, terus mengejar-ngejar dengan bernafsu sesuatu yang jauh semacam anjing mengejar tulang dan meninggalkan/melupakan apa yang dekat. Insya Allah karakter rakus anda akan terbentuk kuat dan semakin membuat anda haus dan bingung dengan kebahagiaan sehingga anda akan menjadi pribadi yang tidak bahagia super. Mantraapp!!

6. Carilah pujian sanjungan. Buatlah diri Anda seolah-olah orang yang pantas untuk disanjung meski sebenarnya tidak. Jika ada yang tidak memuji Anda maka tegurlah mereka dengan sopan santun dan ajarkanlah dengan sabar kepada mereka-mereka cara memuji Anda. Pamerkanlah semua prestasi ini-itu Anda pada masyarakat sehingga masyarakat Anda bikin terkagum-kagum dan memuji-muji Anda.

Tapi jika berhadapan dengan orang yang lebih tinggi dari Anda maka pandai-pandailah menjilat agar Anda juga disanjungnya. Nah, insya Allah amalan ini akan membuat Anda semakin gila puji dan sanjung sehingga Anda tidak nyaman tidur jika belum ada yang memuji setiap hari. Sehingga apa? Sehingga Anda tiap hari bisa sibuk mengumpulkan ini-itu, pamer ini-itu agar dapat jatah stok puji-sanjung setiap hari. Oh sungguh hal ini akan membuat Anda semakin tidak bahagia. Insya Allah oh.

Ehem, mungkin itulah yang sempat terpikir oleh saya sang Motivator ‘Ketidakbahagiaan’ super ini, semoga membuat Anda semakin bergairah untuk tidak bahagia hidup di dunia yang sekejap ini. Selamat mencoba…hehe. Salam Minyak Goreng Bimoli Super!!.

(Dikutip dari kitab yang tidak kuno, tidak terkenal dan memang tidak dikenal berjudul “Ar-Risalah Lelaki: Sebuah perjalanan tidak rohani” karangan saya yang belum terbit karena memang belum terbit dan entah kapan terbit karena saya belum punya alasan untuk bikin kitab ini terbit kecuali karena kuatir menjadi best seller jika dia terbit. Demikian.)



Affif Herman bin Herman Hanif bin Hanifuddin Ali bin Teuku Muhammad Ali bin Teuku Muhammad Din bin Teuku Loen bin Teuku Lampou-u bin Teuku Bentara Balee bin Teuku Bentara Sumbrang.

Gp. Pineung, Banda Aceh, 04 April 2011, di hari yang Allah bikin sore sehingga bagus sekali langit saat ini, ah seandainya kalian sedang bersamaku disini melihatnya…

Istri, Penjelasan Ini-itu...

Kamu, iya kamu, yang dipanggil-panggil Muna itu. Dari sekian godaanku, belum pernah aku menggunakan panggilan ‘bidadari’ kepadamu kan? Iya kan? Kan? Iya, memang aku ini bikin sengaja seperti itu. Sengaja memang begitu aku ini kepadamu. Mudah-mudahan kamu tidak minder hati, tidak hilangkan senyum senang, tidak juga berniat hati melompat dari jembatan Lamnyong untuk mandi sebagai bentuk protas-protes padaku. Oh mudah-mudahan tidak.

Oh bukannya aku tak mau bikin rayu begitu-begitu. Bukan oh bukan begitu Muna. Bukan juga aku tak bisa bikin rayu-rayu karena kamu tahu aku bisa bikin banyak rayu-rayu norak. Bahkan dulu itu ketika aku minta kamu sama Allah, Rabb kita Yang Maha Penyayang itu, di bumi ini aku tak meminta untuk menikah dengan bidadari yang terkenal dengan cantiknya yang sempurna itu, tidak. Aku meminta menikahi manusia sepertiku yang berwujud perempuan bukan laki-laki, yang hidup berjuang mempertahankan iman yang lemah begini, yang juga mencita-citakan kehidupan akhirat yang baik, yang berusaha mendirikan shalat, yang juga bisa tidur kalau ngantuk, yang tidak bisa melihat matahari di malam hari, yang bisa ketawa-ketawa juga, yang bisa menangis juga, juga yang bisa makan yang pedas ini-itu, dan lain-lain begini-begitu.

Oh Muna. Iya, kamu, yang bernama lengkap Munawwarah itu. Begini, konon suamimu, iya aku, berpikir-pikir tak merayu kamu seperti itu karena tak ingin memberatkan perasaanmu saja. Karena apa? Oh karena oh kamu apapun itu adalah manusia bukan bidadari. Sehingga nanti dalam perjalanan hubungan kita ini kamu marah boleh, sakit hati boleh, boleh tak suka, boleh capek, boleh menangis mengadu, sakit boleh, boleh cemburu, boleh salah, rindu boleh, bosan boleh, baik juga boleh, boleh ketawa, dan juga boleh senyum-senyum biar manis. Kamu bukan bidadari dan tak perlu memaksa diri menjadi bidadari yang terlepas dari sifat-sifat manusiawi tadi. Sehingga apa? Sehingga kamu bebas suka-suka menggunakan perasaaanmu secara manusiawi, dan mohonkan saja doa kepada Allah agar aku ditolong bisa selalu bersyukur dan bersabar untuk semua itu ya Muna.

Eh tahukah kamu, setahu-tahu suamimu yang berilmu sangat sedikit tahu ini bahwa Nabi kita pun tak pernah rasanya memanggil istri-istrinya dengan sebutan ‘bidadari’. Mengapa begitu? Oh aku tak tahu mengapa, namun jika-lah ada riwayat dari Nabi yang sampai padaku maka tak perlu kamu minta-minta, maka aku akan bikin rayu rayu kamu dengan kata ‘bidadari’ itu berapa kalipun kamu mau. Oh begitulah.

Ah Ingat-kan kamu, ketika ‘Aisyah cemburu besar dan melemparkan sepiring makanan di depan Nabi dan sahabat-sahabatnya? Atau ingatkah bagaimana Umar bin Khattab dimarahi berat oleh istrinya dan Umar malah tak marah sedikitpun, atau masih ingatkah Fathimatuz Zahra yang mengadu kepada Nabi akibat kelelahan bekerja melayani suami dan anak-anaknya? Lagi, bukankah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal itu juga pernah bertengkar hebat dengan istri tercintanya akibat masalah harta istrinya sesaat setelah Umar diangkat menjadi khalifah? Dan bukankah itu pertanda bahwa mereka-bahkan istri seorang Rasul- juga manusia biasa yang kadang tidak bisa mengendalikan perasaan cemburu, marah atau lelahnya? Mereka bukan bidadari kan? Kan? Iya, memang bukan.

Dan jika saja kamu ‘bidadari’ maka sesungguhnya kamu telah akan sangat meminderkan suamimu ini. Karena apa? Karena suamimu, iya, aku ini, bukan orang yang hidup tanpa cela. Bukan lelaki tegar beriman kuat yang seperti di cerita novel-novel relijius fiktif yang sering kita baca-baca. Jika saja kamu ‘bidadari’ tentu kamu tahu bagaimana perasaanku yang lelaki biasa beriman rapuh ini seolah merasa kecil hati dan dipandang tak sekufu denganmu yang bidadari. Sungguh juga tak enak membawamu makan rujak buah, makan mie pangsit atau makan nasi gurih di kaki lima sambil ketawa-ketawi menikmati hidup sambil lihatin langit yang bagus itu. Dan juga akan aneh sekali jika ada bidadari makannya di warung kaki lima, padahal bukankah bidadari itu di surga tapi ini kok malah terdampar di bumi.…hehe.

Hmm…trus, jikapun kamu kupanggil ‘bidadari’ malah seolah-olah bisa juga suamimu, iya, aku ini, seolah menjadi merendahkan atau meremehkan kamu pula. Karena Nabi kita bilang bahwa wanita-wanita di bumi itu jauh lebih utama dari bidadari yang bermata jeli, kan? Kan? Yang di-akibatkan karena mereka menegakkan shalat, melaksanakan puasa dan ibadah kepada Allah, sehingga Allah letakkan cahaya pada wajah mereka (1). Ah tak terbayang hancurnya hatimu jika kamu cukup kupanggil sebatas ‘bidadari’ padahal sedangkan kamu bisa menjadi lebih utama dari ‘bidadari’ itu, iya kan? Kan? InsyaAllah iya.

Hm...yah, demikian saja-lah ya, wahai kamu seorang muslimah, istri dari seorang lelaki yang tak seberapalahmana ini. Segala puji hanya untuk Allah, Yang Maha Penyayang, Yang Maha Pengasih itu. Berbicara tentangmu adalah berbicara tentang Kekuasaan, Kasihsayang dan Kemahapemurahan Allah. Yang telah menjadikan kamu melalui orangtuamu, Yang menjadikan bumi sebagai tempat kita bertemu sambil berpijak beratap langit yang bagus sekali itu, dan yang telah menjadikan kamu sebagai tempat terbaik untuk kujatuhi hati dengan benar. Oh Alhamdulillah.

Dan karena aku adalah manusia yang setiap hari menjadi tempat salah dan lupa maka mohon kamu bersabarlah. Sehingga berharap aku ini kebaikan dan kemuliaan yang besar dari Allah untukmu di suatu hari nanti, ditempat dimana kemenangan yang besar itu diperlihatkan…aamiin.

Jika,

Jika saja engkau melihat aku sekarang disini,

Sedang menuliskan ini untukmu,

Ah lihatlah itu aku yang sedang merasa seakan-akan hanya aku saja di bumi,

Yang lagi senang karena engkau,

Ya, yang sedang senang sekali…




Gp. Pineung-Meulaboh, Maret-April 2011
Affif Herman bin Herman Hanif bin Hanifuddin Ali



(1) Dari Imam Ath-Thabrany mengisahkan dalam sebuah hadist yang panjang,
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, yang bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”

Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”

Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”

Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’.”